12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?

Dari mana dia tahu, itu sama sekali tidak penting. Saat ini, Dimas hanya menginginkan sebuah kepastian. Dari raut bingung yang tergambar jelas di wajah papanya, sepertinya Dimas dapat menebak jawaban apa yang akan diberikan pria paruh baya itu selanjutnya.

Ternyata memang benar ada seorang anak kecil yang selamat waktu itu. Tetapi mengapa beritanya tidak dimuat koran?

Letnan Samsurilah yang telah menyelamatkan anak itu.

Dan artinya, hubungan transmisi antara dirinya dan Letnan Samsuri memang benar-benar terjadi.

Namun, masalahnya hanya Dimas yang bisa mengingat kasus kerangka tersebut. Hal itu pulalah yang membuatnya menjadi seperti setengah gila. Dimas sempat mempertanyakan kewarasannya belakangan ini. Kini, dia bisa tersenyum lega setelah membuktikan bahwa syaraf otaknya masih berfungsi dengan baik. Apa yang telah terjadi bukan hanya sekadar ilusi semata. Soal mimpinya, juga soal Letnan itu, memang benar-benar nyata, bukan hanya sebuah rekayasa mimpi.

Rasanya Dimas masih tidak bisa mempercayai ini semua. Dikaji berulang kali pun, ini semua sangat tidak masuk akal. Akan tetapi, yang membuat Dimas merasa sangat penasaran adalah: mengapa semua ini bisa terjadi padanya? Mungkinkah ada suatu alasan tertentu yang membuatnya harus berkomunikasi dengan Letnan Samsuri di masa lalu? Apa kira-kira?

Dimas sama sekali tidak bisa menebak maksud takdir, tetapi yang jelas, berkat hubungan transmisi tersebut, Dimas dan Letnan Samsuri berhasil menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Tidak ada yang lebih penting daripada itu. Dimas yakin, dengan HT tua itu, mereka berdua bisa mengubah masa lalu.

"Apa Papa tau identitas anak itu?"

"Anak itu ...?" Agus Sinar bergumam. Dia mencoba mengulik kembali ingatannya. "Kalau tidak salah namanya ... em ... Rianda Guntur ...?"

_______________

"Rianda Bumi. Lahir 31 Desember 1994. Dia tinggal di sebuah rusun dekat Distrik Nagoya."

"Kau yakin? Bukan Rianda Guntur?"

Terdengar helaan napas dari seberang. Dimas menduga Aryan pasti sebal mendegarnya menanyakan hal yang sama berulang-ulang.

"Tidak ada Rianda Guntur, Topan, Badai, atau Angin Puting Beliung, Inspektur. Yang ada Rianda Bumi." Aryan mempertegas kembali ucapannya.

"Baiklah. Terima kasih."

Sambungan terputus.

Dimas sudah berada di kawasan Nagoya saat ini. Namun, dia tidak tahu di mana letak rusun itu. Selama beberapa menit berputar-putar, yang dia dapati hanyalah deretan pub dan bar yang terdapat di hampir setiap sudut. Kawasan ini memang merupakan pusat hiburan malam di kota Batam. Tidak heran tempat ini dijuluki surga bagi kaum penikmat dunia malam. Pada jam-jam di mana semua orang harusnya meringkuk di atas tempat tidur, kawasan ini justru tidak pernah mati dari kerlap-kerlip lampu diskotik. Red House milik Raihana yang kerap Dimas kunjungi juga ada di kawasan ini.

Selain merupakan wilayah komersial untuk bisnis perdagangan dan pusat lifestyle, Distrik Nagoya juga menjadi salah satu kawasan hunian terkenal di Batam. Banyak gedung apartemen serta hotel yang dibangun di tempat ini. Dan, setahu Dimas, tidak ada rusun kumuh semacam itu di Distrik Nagoya.

"Di mana rusun itu sebenarnya?"

Setelah cukup lama mengemudi, Dimas akhirnya sampai di daerah yang dia tidak tahu namanya. Plang penunjuk jalan juga tidak terlihat di depan. Daerah itu cukup padat pemukiman. Dimas menyipitkan mata. Dari kejauhan tampak sebuah bangunan mirip gedung sarang walet berdiri di antara banyaknya gedung-gedung tinggi lainnya. Aryan bilang posisi bangunan rusun itu memang tertutup. Banyaknya kos-kosan yang dibangun bertingkat di sekitarnya, membuat Rusun Gdo, tempat Rianda Bumi tinggal, jadi tersamarkan.

Jalan masuk ke dalam terlihat sangat sempit dan diperkirakan sama sekali tidak bisa dilalui oleh kendaraan beroda empat. Usai menimbang keadaan, akhirnya Dimas pun terpaksa turun dari mobil. Dia memarkirkan mercedez hitam-nya sembarang di dekat mulut gang, kemudian menjejakkan kakinya di atas jalanan becek tersebut.

Setelah melangkah lumayan jauh ke dalam, Dimas akhirnya sampai di Rusun Gdo. Menurutnya, gedung besar bertingkat dengan cat hijau pucat mengelupas di hadapannya lebih cocok dihuni makhluk halus ketimbang manusia. Di sekitaran rusun itu ada banyak papan pemberitahuan yang terpasang, mempromosikan jasa sedot tinja juga jasa panti pijat ekstra plus-plus lengkap beserta nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktu-waktu. Tong sampah beserta isinya bergelimpangan di dekat gerbang rusun, menjadi ladang untuk para lalat hijau mencari makan.

Dimas kembali menghubungi Aryan.

"Berapa nomor rumahnya? Lantai tiga?"

"Iya, Inspektur." Aryan merasa penasaran. "Memang siapa Rianda Bumi itu, Inspektur?"

"Percuma saya memberitahumu," jawab Dimas sembari menaiki tangga menuju lantai tiga.

Dimas sendiri juga tidak kenal dengan lelaki bernama Rianda Bumi itu. Dimas datang ke mari sebab dia sangat ingin menemui anak yang selamat dari peristiwa pembunuhan di Karang Sari. Benarkah dia memang masih hidup sampai saat ini?

Rusun itu terlihat sepi, seperti tidak berpenghuni. Pintu yang menjajari dinding di tiap lantainya tertutup rapat-rapat. Suasana sekitar juga terdengar terlalu tenang, sampai-sampai Dimas merasakan suara langkahnya seolah ditelan oleh kesunyian. Entah ke mana perginya orang-orang. Dimas menebak mereka mungkin sudah terlelap. Namun mustahil, sebab jam yang melingkar di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 8 malam.

"Nomor tiga ratus lima."

305.

Usai memastikan tulisan pada pelat yang dipasang di depan pintu sesuai dengan informasi dari Aryan, Dimas langsung mengetuk berulang kali, namun tidak ada jawaban.

"Rianda Bumi?" panggil Dimas, namun tetap tidak ada sahutan dari dalam. Lampu rumah juga tidak dihidupkan. Jendela yang tertutup oleh horden membuat Dimas makin kesulitan mengintip ke dalam. Sepertinya Dimas salah memilih waktu untuk bertamu.

Dimas memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Namun, tepat saat dia hendak berpaling, dia justru mendapati seorang lelaki dewasa, dengan tinggi yang hampir menyamai tinggi badannya, sedang memperhatikannya dari ujung koridor.

Lelaki itu berjalan kian mendekat. Memberi tatapan penuh curiga padanya.

"Tuan Armed?"

Alis Dimas terangkat tinggi-tinggi. Hanya orang-orang di Red House yang biasa memanggilnya dengan julukan itu.

Ah, Dimas baru ingat sekarang. Bartender itu .... Seingatnya, Raihana memang mempekerjakan seorang bartender baru di tempatnya.

"Kenapa Anda berdiri di depan rumah saya?"

"Kamu ... Rianda Bumi?" tanya Dimas memastikan.

Lelaki itu mengangguk.

Dimas langsung menunjukkan lencananya. Dia bertanya sekali lagi, "Benarkah kamu Rianda Bumi—anak yang selamat dalam tragedi pembunuhan di Karang Sari?"

Lelaki itu sontak terkejut sampai-sampai plastik berlanjaan yang dibawanya jatuh ke lantai. Tomat serta buah jeruk menggelinding dari dalamnya hingga sampai di bawah kaki Dimas.

Dimas sempat merasa tidak percaya; anak yang dia lihat dalam mimpinya, kini berdiri persis di hadapannya. Kalau diperhatikan dengan saksama garis wajahnya memang sangat mirip. Bocah yang dulunya masih sangat kecil itu sekarang sudah tumbuh dewasa. Mungkin usianya saat ini sekitar dua puluh lima atau dua puluh enam.

Anak itu benar-benar selamat, Letnan, ucap Dimas dalam hatinya.

Dimas tersenyum menatapnya, sementara Rianda Bumi hanya bisa mematung dengan raut wajah yang sulit ditebak. Lelaki itu tidak memberi kesempatan pada Dimas untuk bertanya lagi. Dengan terburu-buru, dia langsung masuk ke dalam rumah, mengabaikan Dimas yang kebingungan dengan tingkah lakunya.

"Rianda Bumi! Tunggu! Ada yang ingin saya bicarakan padamu!" kata Dimas menegaskan.

Sayangnya terlambat. Daun pintu telanjur menutup rapat.

"Rianda Bumi!"

"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" Teriakan lelaki itu terdengar dari balik pintu.

Dimas menggedor pintu berulang kali, tetapi yang dia dapati hanya kata-kata kejam dari lelaki itu.

"Pergilah dari sini!"

_________________

"Tragedi pembunuhan satu keluarga itu sudah lama berlalu. Dua puluh tahun sudah, hampir tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."

Dimas tahu itu.

"Kenapa kau mengungkitnya? Rianda tidak masuk kerja dan ini semua gara-gara kau, Dimas," keluh Raihana dari balik meja bar.

"Kenapa memangnya? Aku hanya ingin menanyakan—"

"Kenapa, katamu? Kau adalah seorang polisi, Dimas. Seharusnya kau yang paling tahu kalau topik semacam itu dapat membangkitkan kembali trauma bagi korban yang pernah mengalaminya."

"Tapi kejadian itu sudah lama sekali," kilah Dimas cepat. Sedari tadi dia hanya memutar-mutar gelas martininya tanpa berminat menenggak minuman itu.

"Dia yang mengalaminya, bukan kau. Astaga!"

"Apa yang kau tahu soal Rianda Bumi?"

Raihana mendengus. Tentu saja dia tahu banyak. Tidak mungkin dia sembarangan menerima orang tanpa melakukan interview terlebih dulu.

"Hidup yang dia jalani selama ini sangatlah berat, Dimas. Dia berjuang seorang diri untuk bisa melanjutkan hidup. Sangat sulit mencari pekerjaan dengan latar belakang pendidikan seperti itu sekarang ini. Dia memohon padaku untuk bisa dipekerjakan di sini."

Raihana yang merasa sangat kasihan pun langsung menerimanya.

Takdir yang kejam telah merenggut seluruh anggota keluarganya. Hanya dia seorang yang tersisa. Raihana mengerti mengapa Rianda sampai sebegitu menderitanya. Orang yang sudah mati pergi tanpa perlu membawa ingatan kelam itu, sebab begitu nyawa mereka dicabut, hidup mereka pun berhenti di saat itu juga, sementara Rianda Bumi, dia harus tetap melanjutkan hidup—sekalipun kubangan ingatan itu akan menenggelamkannya dalam kesengsaraan.

"Aku melihat banyak sayatan di pergelangan tangannya, Dimas. Kurasa ... berulang kali dia berusaha bunuh diri."

"Aku tidak mengerti, Raihana," kata Dimas pahit. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kalau memang rasa ingin tahunya hanya akan membangkitkan luka, maka Dimas akan berhenti mengusik Rianda Bumi.

"Katakan pada Rianda Bumi, aku tidak akan datang lagi mencarinya."

Tanpa menunggu balasan dari Raihana, Dimas berjalan keluar menuju mobilnya. Dia berkendara dalam sunyi, sementara kata-kata Raihana terus terngiang dalam kepalanya.

Aku melihat banyak sayatan di pergelangan tangannya, Dimas. Kurasa berulang kali dia berusaha bunuh diri.

Kenapa? Dimas sama sekali tidak mengerti. Apakah melanjutkan hidup memang seberat itu? Alih-alih bahagia, Rianda Bumi justru sangat menderita. Apakah sedari awal kematian memang lebih baik untuknya? Padahal, Dimas pikir dengan HT tua itu dia bisa mengubah masa lalu, tetapi kenyataannya justru seperti ini. Mungkin memang tidak seharusnya Dimas mencoba mengubah takdir yang sudah Tuhan gariskan untuk umatnya.

Dimas menghentikan laju mobilnya. HT tua yang dia letakkan di car holder mendadak bersuara. Selama ini dia hanya menerima transmisi dari Letnan Samsuri. Dimas merasa sangat bimbang. Haruskah dia menerima panggilan tersebut atau ... membiarkannya?

"Letnan Samsuri ... melapor masuk ...."

Dimas masih bergeming. Dipandanginya HT tua itu dengan penuh keragu-raguan.

"Anak itu berhasil diselamatkan. Keadaannya cukup memprihatikan. Dia mengalami trauma ...."

Letnan Samsuri mengucapkan 'ganti' berulang kali, tetapi tak kunjung direspon oleh Dimas.

"Ada hal yang sangat ingin saya tanyakan. Dari mana Anda bisa tahu kalau ada seorang anak kecil di dalam ruang bawah tanah itu?"

"Letnan," sahut Dimas tiba-tiba. "Sebenarnya apa yang sudah kita lakukan? Apakah menyelamatkan anak itu merupakan sebuah tindakan yang benar, Letnan?"

"Maksudnya ... bagaimana ...?" Letnan Samsuri tampaknya tidak mengerti dengan ucapan Dimas.

"Kita telah mengubah masa lalu, Letnan. Anak yang seharusnya mati, hidup di masa sekarang. Saya sudah menemuinya; dia terlihat sangat ... menderita."

"Ap—"

"Saya hidup di tahun 2020," potong Dimas cepat. Namun, tampaknya Letnan itu tidak percaya pada kalimat yang Dimas katakan barusan. Dimas sempat mendengarnya tersedak, meski samar.

Memang tidak akan semudah itu untuk percaya pada apa yang Dimas katakan. Dimas menceritakan sedikit soal dirinya, di mana dia bertugas, juga tempat tinggalnya.

"Apa? Tidak ada yang namanya Polresta Barelang di sini!"

"Memang," lirih Dimas pelan. "Polda Kepulauan Riau bahkan baru dibentuk tahun 2005."

Di tahun 2000 Batam masih tergabung dalam wilayah Provinsi Riau. Dimas memberitahu akan terjadi banyak pemekaran nantinya, baik di tingkat kabupaten, maupun provinsi. Jumlah provinsi di Indonesia akan bertambah, yang semula hanya 27 menjadi 34. Ibu kota Kepulauan Riau akan dipindahkan ke Batam. Tentang siapa presiden selanjutnya, juga soal pemisahan Polri dari ABRI.

Dimas juga memberitahu Letnan Samsuri mengenai sistem kepangkatan yang nantinya berlaku di kepolisian.

Belum selesai Dimas bicara, cahaya menyala dari HT tua digenggaman tangannya mendadak redup. Sambungan terputus. Mulut Dimas terkatup rapat-rapat. Padahal dia belum mendengar jawaban apapun dari Letnan itu. Setidaknya Dimas ingin diyakinkan, walau hanya lewat kata-kata, bahwa apa yang telah mereka lakukan sejauh ini tidaklah salah.

__________________

Note:

*foto di sebuah sudut Distrik Nagoya, Batam

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top