1. HT Tua

30

29

28

27

TIN! TIN!

Dimas ikut-ikutan menekan klakson. Perempatan kayu besar memang selalu jadi langganan kemacetan di sore hari. Betapa sialnya dia. Usai dicekoki rutinitas padat yang bagai tiada akhir, kini dia harus rela terjebak di tengah-tengah kemacetan panjang, hanya untuk bisa merebahkan diri di atas kasur empuknya.

Kata orang, pulang ke rumah adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Tidak ada tempat terbaik di dunia ini selain rumah sendiri. Home sweet home. Senyaman apapun tempat kerjamu, rumah tetap jadi pilihan terbaik—tempat di mana kau bisa jadi dirimu sendiri, makan bersama, berkumpul, dan saling bertukar cerita bersama orang-orang yang kita sebut 'keluarga'. Namun, bagi Dimas, tempat seperti itu rasanya sudah tidak ada lagi di hidupnya. Semua berubah sejak Papa menikah lagi dengan perempuan asing yang kini harus dia panggil 'Bunda'. Perempuan asing itu bahkan membawa serta anak laki-laki dari suami sebelumnya ke rumah, juga hadirnya seorang anak kecil lain yang amat berisik—yang lahir dari hasil pernikahan Papa dan Bunda—membuat suasana rumah jadi makin runyam saja.

Dimas tidak yakin bisa mendapatkan kedamaian di rumah itu—rumah yang bagai neraka itu. Di dunia ini, mungkin, hanya dialah satu-satunya oranya yang tidak punya tempat untuk pulang. Bar dan kelab-kelab malam kerap kali dia jadikan tempat persinggahannya di kala penat.

Jadi, begitu lampu rambu-rambu lalu lintas di depan berubah warna, Dimas memutuskan bertolak ke Distrik Nagoya untuk mengunjungi bar langganannya. Pulang ke rumah adalah pilihan terakhir baginya.

Mercedez hitamnya melaju dengan kecepatan sedang. Lampu jalanan yang berbaris di sisi kanan dan kiri ikut bergerak dinamis seiring ban mobil yang terus berputar menggilas aspal.

Dimas melirik sekilas saat ponsel yang dia letakkan di car holder tiba-tiba bergetar.

'Rumah'

Bukannya menjawab, Dimas malah menambah kecepatan mobil hingga di atas rata-rata. Dia melaju dengan cepat di atas aspal mulus, tidak peduli pada 'Rumah' yang terus memanggil hingga meninggalkan jejak 4 missed call di layar ponsel.

Dimas mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di roda stir. Kembali melirik, saat ID pemanggil yang sama muncul pada layar. Dia mulai merasakan firasat buruk. Kenapa 'Rumah' terus menghubunginya? Apakah terjadi sesuatu? Perasaan khawatir yang mendadak menyergapnya, membuat Dimas lantas buru-buru menyambar handsfree bluetooh di atas dashbor dan menyentak kuat, "Hallo?!"

"Emmaashhh ...! Hiks ...."

"Kenapa kamu nangis?"
Dimas buru-buru menepikan mobil dan mematikan mesin. Isak tangis Mika, adiknya, di seberang sana, membuatnya makin dikerubungi rasa khawatir.

"Eja ... Emashh ..., jatuh ... mati ...."

Mika berbicara sambil terisak, makanya jadi tidak jelas. Perasaan Dimas tiba-tiba jadi tidak enak. Entah mengapa kali ini dia tidak lagi bisa abai seperti sebelum-sebelumnya. Dia merasa harus pulang untuk melihat apa yang terjadi di rumah.

Setelah memastikan jalanan cukup lengang, Dimas pun buru-buru memutar arah. Dia mengemudi seperti setan. Menyerobot sana-sini, seolah jalanan besar itu milik nenek moyangnya sendiri. Sekitar lima belas menit kemudian, dia sampai di sebuah perkarangan dengan rumah bergaya Eropa yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia berjalan dengan terburu-buru, menjeblak daun pintu berukir kuat-kuat hingga terdengar bunyi 'brak' yang cukup keras.

Dimas disambut oleh lagu opening kartun Spongebob Squarepants yang keluar dari televisi—dengan volume yang seolah sengaja di-stel keras-keras. Ruang tamu sudah seperti kapal pecah, mulai dari mobil-mobilan sampai robot bongkar pasang milik Mika berserak di atas karpet beludru. Dimas sempat memaki saat tanpa sengaja kakinya menginjak sesuatu yang cukup tajam. Kemudian, dia langsung menghambur ke lantai dua.

"Mika!" teriaknya keras.

"Emash!" Mika yang baru saja keluar dari kamar Eja langsung memeluk erat pinggangnya. Bocah berusia lima tahun itu menangis senggugukan. Dimas bertanya, kenapa? Tetapi tak digubris oleh Mika. Dimas lantas menarik tangan bocah itu dengan kasar, menuntunnya masuk ke dalam kamar Eja.

"Eja!" pekik Dimas kaget. Kedua matanya terpentang lebar sewaktu mendapati tubuh Eja tergeletak di lantai tidak berdaya. Genggaman tangan Mika pun kontan lepas darinya.

Mika terduduk di lantai. Dia mengguncang-guncang tubuh Eja yang tengah menggigil hebat. "Eja ..., bangun ...," rengeknya dengan suara bergetar.

"Apa yang terjadi? Kamu kenapa, Ja?" Dimas menyibak rambut depan Eja, kemudian memeriksa dahinya yang terasa panas.

Eja mengusap hidungnya yang berair. Dia mendongak menatap Dimas, komat-kamit tak jelas, lalu terkekeh. Tubuhnya makin menggigil. Matanya terlihat sayu dan berair.

Dimas segera mengangkat tubuh Eja yang penuh peluh ke atas tempat tidur. Melihat Eja terus-menerus mengusap hidungnya, dia mulai merasa curiga. Kenapa gejala persis seperti orang sakaw?

"Eja, apa ini?!" bentak Dimas sekuatnya. Tanpa sengaja matanya mendapati titik-titik hitam—seperti bekas suntikan—mengintip malu-malu di balik kaos yang menutupi lengan adik tirinya itu. Dimas pun langsung menyingkap lengan kaos Eja hingga tanda itu terlihat jelas olehnya. "Jangan bilang kamu make? Iya?!"

Eja tidak menjawab. Dia malah menangis menggerung-gerung seperti anak kecil.

Dimas merasa sangat geram, marah, juga kecewa tentunya. Semua perasaan itu bercampuk aduk, hingga rasanya akan meledak sampai ke ubun-ubun. "Dasar, tidak tahu diri!"

"Mika, keluar! Keluar, Abang bilang!" Dimas melotot saat Mika masih bergeming di tempatnya. Dia berteriak sekali lagi, tetapi malah raungan keras yang dia dapat dari Mika. Bocah kecil itu merasa tidak terima dimarahi.

"Emash, jahat! Lepas!"

"Keluar!" Dimas menyeretnya keluar, kemudian mengunci pintu kamar Eja. Di luar, Mika menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Tangisannya pecah dan bising sampai ke mana-mana.

"Jadi, ini yang kamu lakuin selama ini! Make barang haram! Memang dasar tidak tahu diri!"

Bunda baru saja pulang dari pasar saat mendengar teriakan itu. Dia langsung berlari masuk, menuju lantai dua. Meninggalkan semua belanjaannya di bawah untuk memastikan apa yang terjadi dengan anak-anaknya. Suara Dimas terdengar sampai pintu keluar. Bunda bertanya-tanya, mengapa Dimas bisa sampai semarah seperti itu.

"Kurang baik apa papaku padamu, ha? Uang yang dikasih Papa, kenapa malah kamu pake buat beli narkoba? Jangan-jangan kamu jual motor yang baru dibeliin Papa kemaren. Jawab!"

Bunda jatuh terduduk di lantai sambil menutup mulutnya tidak percaya. Apa? Eja pakai narkoba? Kenapa bisa begitu? Apa selama ini Bunda salah mendidiknya, hingga dia jadi begini—pecandu narkoba?

"Eja, Bunda ...." Mika, yang sedari tadi berjinjit menyentak kenop pintu, ditarik oleh Bunda ke dalam pelukannya. Dia masih menyerukan nama Eja dengan suara pilu.

Sementara di dalam kamar, Dimas terlihat sedang melepas tali pinggangnya, bersiap melecutkannya ke tubuh Eja. Satu kali, dua kali, sampai berkali-kali. Tidak terhitung lagi banyaknya sabetan yang dia layangkan. Eja merintih kesakitan di bawahnya, berguling-guling tidak keruan di atas tempat tidur.

"Akh! Akh!"

Hati Bunda ikut tersayat mendengar rintihan anaknya, anak dari suami pertamanya. "Dimas, cukup! Jangan pukuli Eja lagi," lirihnya sambil terisak.

Apalah daya, dia hanya seorang ibu. Seburuk apapun Eja, anak itu tetap darah dagingnya, yang lahir dari rahimnya. Dia tidak sanggup membayangkan Eja dipukuli oleh Dimas. Ya Tuhan, lebih baik aku saja yang menerima pukulan itu!

"Abang gak pernah sayang sama Eja!"

Dimas langsung berhenti mencambuki Eja saat mendengar kalimat tersebut. "Apa ...?" lirihnya, tidak yakin. Apa yang baru saja dia dengar tadi?

"Abang cuma sayang sama Mika, kan! Kenapa, Bang? Kenapa? Apa karena Ayah Eja beda? Iya?! Gak ada yang sayang sama Eja di sini. Ayah ... Ayah ... Eja mau ikut Ayah aja. Ayah ...!"

Eja mulai meracau seperti orang yang depresi. Dia menangis tersedak-sedak dengan emosi tidak stabil.

"Ayah ...."

Sungguh, Eja sebenarnya hanya ingin diterima, sama seperti Mika. Dia iri. Kenapa cuma Mika? Kenapa dia tidak? Apa alasan Dimas sampai sebegitu bencinya padanya? Selama ini Dimas seolah tidak pernah menganggapnya ada. Eja tidak ingin uang atau motor baru, dia hanya ingin dianggap sebagai adik oleh Dimas, sama seperti Mika. Dia ingin diperlakukan dengan baik. Sikap Dimas yang dingin pada Eja selama ini membuatnya merasa tersisihkan. Eja merasa seperti duri, yang hanya akan mengganjal keluarga ini untuk bahagia. Tidak ada yang menerimanya. Bahkan, Bunda pun mulai melupakannya sejak Mika hadir di dunia ini.

"Gak usah nyalahin Abang, kamu! Bisanya cuma buat malu!"

"Ayah ... Ayah ...."

"Gak waras ...!" desis Dimas. Lecutan terakhir dia layangkan sebelum turun dari tempat tidur. Dimas melempar tali pinggangnya ke lantai, kemudian melangkah menuju pintu. Bunda langsung masuk begitu pintu kamar Eja dibuka dari dalam.

"Eja! Ya, Tuhan!" teriak Bunda histeris—menyaksikan bagaimana pisau buah yang ada di atas meja kecil berpindah ke tangan anaknya. Dengan gemetar, Eja menyayat pergelangan tangannya sendiri sambil menangis terisak-isak.

Bunda segera merebut pisau tajam itu, namun dia gagal menghentikan Eja yang nekat menggigit pergelangan tangannya sendiri. Ah ... Setiap teguk darah yang dia isap masuk ke dalam kerongkongan, membuatnya serasa terbang dan sejenak melupakan apa yang baru saja terjadi padanya.

______________

Dua hari kemudian

Petir menggelegar hebat di langit. Sudah sejak setengah jam yang lalu hujan belum berhenti mengguyur Batam. Malam tampak tak bersahabat, sama seperti perasaan Dimas. Sebenarnya ada banyak hal yang dia khawatirkan. Hal itu tergambar jelas di raut wajahnya yang tampak kusut. Dimas tidak bisa tidur nyenyak selama dua hari ini. Tentu saja, bagaimana bisa melakukan itu, saat dia tahu bahwa Eja sedang dalam keadaan kritis di rumah sakit. Dimas mengemudikan Mercedes hitamnya sambil setengah melamun.

Abang nggak pernah sayang sama Eja!

Abang cuma sayang sama Mika!

Kenapa, Bang?

Apa karena ayahnya Eja beda?

Gak ada yang sayang sama Eja di sini.

"Mas, kamu denger Papa, kan?" suara di seberang telepon kembali menariknya dari lamunan.

Dimas menghela napas. "Denger, Pa," katanya sembari mengangguk. Pada akhirnya bayangan itu muncul lagi. Kepala Dimas serasa mau pecah. Teriakan memilukan Eja terus bergaung-gaung memenuhi otaknya. Kedua tangannya yang bergetar hebat mencengkram kemudi kuat-kuat. Dimas sadar dia sudah teramat kejam dan sadis. Bagaimana bisa dia mencambuki Eja sampai sedemikian membabi butanya. Tubuh kurus anak itu kini penuh luka dan berdarah-darah. Papa bilang, Eja sampai masuk rumah sakit. Karena tidak tahan dengan semua beban yang dipendamnya, Eja mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya sendiri.

Abang nggak pernah sayang sama Eja!

Soal Eja yang kecanduan heroin, sedikit banyak memang membebani pikirannya.

Rupanya anak itu hanya ingin disayang, dihargai, juga dianggap. Namun, ego dan harga diri Dimas yang melebihi langit tetap tak mau membuatnya mengalah. Rasa benci dan sakit hatinya sudah mengakar. Sampai kapan pun rasanya Dimas tidak akan bisa menerima seluruh anggota keluarga barunya itu.

"Ini salah Papa."

"Pa!" sergah Dimas cepat. "Papa kan bukan ayah kandungnya, jadi buat apa merasa bersalah? Toh, Eja pake narkoba karena keinginannya sendiri, buka dorongan dari Papa atau Dimas."

"Seharusnya Papa lebih sering di rumah dan memperhatikan anak-anak itu."

Anak-anak itu?! Sentak Dimas marah dalam hati. Apa hanya anak-anak itu saja yang dipikirkan Papa? Kadang, Dimas merasa Papa terlalu membela Eja dan Mika, tanpa mau menimbang bagaimana perasaan Dimas. Dimas bukan merasa iri. Lagipula, apa masih pantas dia merasa iri? Tahun ini usianya akan genap dua puluh tujuh tahun. Dimas terlalu tua untuk itu.

"Jenguklah Eja di rumah sakit."

Dimas mendengus. "Nggak bisa, lah, Pah. Dimas banyak kerjaan."

"Ya udah kalo gitu. Papa cuma mau bilang, nanti setelah Eja keluar dari rumah sakit, rencanya Papa mau masukin dia ke panti rehabilitasi sampe dia sembuh total. Bunda juga udah setuju. Tolong kamu carikan tempat yang bagus untuk dia, ya?"

Dimas diam. Dia tidak bisa menolak, apalagi mengiyakan. UN sudah di depan mata. Kalau Eja direhab sekarang, itu berarti dia tidak akan bisa mengikuti ujian dan terpaksa mengulang lagi tahun depan. Apa tanggapan teman-temannya nanti? Begitu kembali, Eja mungkin akan dikucilkan, bahkan tersisihkan dari lingkungan sekitar.

Panggilan akhirnya terputus, tepat saat moncong mobil Dimas memasuki gerbang Polresta Barelang. Lampu utama di gedung bertingkat itu tampaknya memang tidak pernah padam meski di malam hari. Dimas menyapa petugas polisi yang berjaga di sekitaran pos depan dengan membunyikan klakson, kemudian menekan gas, berbelok menuju pelataran parkir.

Dimas turun dari mobil sambil menyandang tas ransel besarnya. Hujan hanya tinggal rintik-rintik saja sekarang. Dimas melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul Sembilan lima belas.

Krsskk ... krskkk ...

Dimas mengernyit. Samar-samar terdengar olehnya suara berisik khas yang keluar dari HT. Dimas langsung memeriksa HT-nya yang ada di bagian depan ransel. Namun, HT miliknya sama sekali tidak berbunyi. Tak ingin ambil pusing, Dimas kembali berjalan. Belum juga beberapa meter, langkahnya kembali terhenti saat mendengar suara berisik itu. Lagi. Kali ini malah makin jelas.

Suara itu ... dari mana asalnya? Dimas sibuk mencari. Dia sontak menoleh saat suara berisik itu makin terdengar jelas begitu dia sampai di tempat pemusnahan barang bukti. Merasa penasaran, Dimas pun mendekati tempat yang mirip ruang pembakaran itu. Di antara tumpukan barang bukti yang hangus termakan jelaga, Dimas mendapati sebuah benda mirip HT—hanya saja desainnya terlihat sangat jadul, tidak seperti HT yang digunakan kepolisian sekarang ini—dengan layar yang tengah menyala-nyala.

"Lapor ...."

Sesegera mungkin Dimas memungut HT tersebut. Mendekatkannya ke mulut. "Masuk, ganti," katanya menyambut operator yang berbicara di seberang.

"Letnan Samsuri melaporkan dari TKP. Minta dukungan personil medis, telah terjadi pembunuhan satu keluarga di daerah Karang Sari, ganti."

"APA?!" Dimas memekik. PEMBUNUHAN?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top