Takut

Seperti yang dijanjikan, sepulang sekolah aku dan Shinta akan pergi ke dokter langgananku. Padahal, baru saja aku sembuh. Kira-kira dua minggu yang lalu. Tapi sekarang, aku harus merasakan jarum suntik menembus kulit ku setiap sekian jam sekali, lagi.

Kami sengaja pulang terlambat. Maksudku menunggu kelas sampai sepi lalu pulang. Tidak. Kami tak langsung pulang. Kami mampir dulu ke sebuah rumah sakit swasta yang cukup besar.

Perjalanan dari sekolah sampai di RS itu kami lalui dengan menggunakan bus. Kami sempat menunggu lama di bus. Namu tak sia-sia.

"La, kita naik taksi aja ya. Lama nih. Panas."

"Nggak. Aku nggak mau. Dari pada buat bayar taksi, mendingan buat beli obat."

"Ya ampun La. Kan bisa utang dulu. Lagian kita mau ke dokter langganan kan. Pasti dapet diskon." Tangan Shinta tak berhenti ia kibaskan.

"Kalo iya dapet diskon, berarti kita bisa berhemat ďong. Masukin celengan aja duitnya."

"Tapi La..."

"Eh itu dateng bus nya." Ku acungkan jari ku ke arah bus yanģ mendekat.

Bus nya berhenti teoat di depan kami. Sebenarnya di sana kami tak hanya berdua. Ada orang lain. Dan cukup banyak.

Doni

Aku mengikuti mereka. Sejak dari kelas mereka, aku tahu ada sesuatu yang mereka rencanakan. Ternyata benar.

Ku ikuti mereka di halte, bus, dan pada akhirnya, rumah sakit.

BTS : Laila

Kami sampai. Rumah sakit ini sesak dengan orang-orang. Baik yang sakit, perawat, dokter, bahkan yang hanya besuk saja.

Ku cari. Ku telusuri satu per satu ruang periksa yang berjejer. Hingga ku temukan apa yang ku cari. Sebuah ruangan yang bersih. Dengan papan di atas pintunya yang bertuliska,

[dr.Alin]

Krrriiieett..... Ku buka pintunya pelan. Dengan pelan juga, ku langkahkan kaki penuh keraguan ini. Di dalam, dokter yang diketahui bernama Alin itu tersenyum padaku.

"Mari duduk." Tawar dr.Alin

Àku dan Shinta duduk di kursi yang telah disediakan..

"Lama tak bertemu ya nona Laila. Bagaimana kondisimu? Jauh lebih baik bukan?"

"I-iya. Tapi,..." aku kembali ragu untuk menceritakannya.

"Ada apa? Apa kau menderita sakit lain? Atau kau masih sedikit pusing? Atau kau... Jangan-jangan, kau..."

"Iya dr.Alin. Penyakitku yang baru dua minggu ini sembuh, kambuh lagi."

"Apa? Bagaimana bisa?" dr.Alin terlihat sangat terkejut.

"Apa ada yang salah dengan hasil analisisku. Tapi aku sudah memeriksanya kembali. Lalu kenapa. Seharusnya kau sudah sembuh total. Tapi, jangan-jangan kau melanggar apa yang ku larang. Iya kan?"

"Maaf dr. Tapi saat itu ada kejadian yang sangat mendesak."

"Apanya yang mendesak. Aku sudah melarang mu berulang kali agar jangan sampai kelelahan. Tapi kenapa kau terus melakukan hal yang ku laramg seolah aku menyuruhmu secara langsung." dr.Alin memegang keningnya sambil menggelengkan kepala.

Aku menunduk. Mungkin aku sedikit menyesal dengan apa yang ku lakukan. Apa lagi mengingat bagaimana hasilnya.

"Baiklah. Apa gejalanya?"

"Aku hanya sedikit pusing, dan merasa lelah. Lalu kemudian...." aku berhenti.

"Kemudian apa?"

"Kamudian, aku, .... , mimisan."

"Apa?! Bagaimana bisa. Gejalanya lebih besar dari perkiraan. Bisà-bisà kau harus rawat inap la..."

"Jangan!" Cegah ku. Shinta dan dr.Alin menatap ku heran.

"Aku mohon jangan. Aku takut. Rasa sakit itu. Sakit sekali. Aku takut. Aku tak mau mengulangi rasa sakit itu lagi. Aku mohon." Pintaku sambil meneteskan air mata.

Shinta dan dr.Alin merendahkan pandangan merekà. Mereka jadi terlihat bersedih, atau lebih tepatnya kasihan kepada ku.

"Baiklah. Tapi kau harus tetap minum obat. Kau mengerti?" Aku mengangguk.

"Apa orang tuamu mengetahui tntang ini?"

"Tidak. Aku tak berencana memberi tahu mereka."

"Aku mengerti. Tapi kau harus tahu. Cepat atau lambat keluargamu akan tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Iya, aku tahu. Aku sudah siap menanggung semua resiko dari segala kemungkinan yan bisa saja terjadi. Aku siap."

"OK, ini resep obatmu. Jangan lakukan hal konyol saat masa pemulihañ. Kau mengerti?" dr.Alin memberikan selembar kertas. Kata terakhirnya tadi terdengar lebih ada mengancam.

Doni

Lagi. Aku jadi seperti seorang stalker sekarang. Aku menguping pembicaraan mereka. Kali ini aku sengaja.

Aku berdiri setengah menyandar pada dinding di antara pintu dan jendela ruang periksa. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, gaya stay cool berjalañ sukses. Tak ada yang mencurigaiku.

Sekarang, aku punya bukti yang jelas. Jadi, kecerobohan ku membawa petaka besar bagi Laila. Aku memang salah.

Mereka akan keluar. Aku bergegas pergi dari tempat mengupingku tadi. Mencari tempat aman untuk sembunyi. Tak perlu repot-repot.

Karena di RS ini ramai, aku bisa bersembunyi dengan baik. Hanya sedikit menempel pada dindiñg, aku tak mudah terlihat.

BTS : Laila

Pada akhirnya, aku dan Shinta tetap pulang dengàn bus. Aku kira kami akan langsung pulang. Tapi ternyata aku di paksa menemaninya jalan-jalan.

Sekitar pukul tiga sore, kami baru sampai kompleks perumahan yang kami tinggali.

Sampai di perempatan utama, aku dan Shinta jalan menurut arah masing-masing. Tentu karena kami beda blok.

Aku jalan sendirian. Jalanan sepi. Aku merasa ada orang lain. Orang lain yang berjalan di belakangku. Tapi, setiap kali aku menoleh, selalu saja sunyi.

"Aneh. Mungkin ini salah satu efek dari obat yang ku minum tadi. Tapi, memangnya ada obat dengan efek halusinasi?"

Aku jadi bergumam sendiri. Ku teruskan perjalananku. Sampai di rumah, rasanya sedikit canggung.

Aku tak biàsa menyembunyikan sesuatu dari orang tuaku. Jadi terasa sedikit aneh.

Ku putuskan untuk tetap berdiam diri ďi kamar. Aku tak kuasa jika harus berbohong secara terang-terangan pada Mama dan Papa.

'Ping..' SMS masuk. Ku pikir pesan dari Shinta. Jadi ku biarkan saja. Ponselku ada di meja kecil dekat ranjang. Sedangkan aku sedang duduk santai sambil membolak-balikkan buku di meja belajar.

5 minuets later.

'Ping..' SMS lagi. Ku abàikan lagi.

3 minuets later

'Ping..' Lagi. Ku ulangi lagi apa yang tadi ku lakukan.

2 minuets later

'Ping..'

'Ping..'

'Ping..'

"Aarkh... kenapa bunyi terus sih." Dengus ku.

Aku berjalan dengan kesal menuju meja dekat ranjang. Ku ambil ponselku dengan penuh amarah. Ku lihat layarnya. Tulisan itu mengejutkanku.

'6 message from Doni'

Aku terkejut bagai disambar petir. Bagaimana tidak. Aku kira Doni sudah tak peduli lagi padaku. Bahkan kemarin, ... , benar. Aku langsung pulang tanpa melihat ke arah Doni. Tapi,..

'Ping..'

Ku buka percakapannya. Ku baca satu per satu pesan itu.

'Sore Laila. Bagaimana kabarmu?'

'Laila? Kau di sana?'

'La, aku minta maaf.'

'Maaf Laila.'

'Maaf ya La. Aku menyesal.'

'Aku harap penyakitmu tak separah waktu itu.'

'Laila, aku tak apa. Maksudku, jika kau tak memaafkanku aķu tak apa. Tapi setidaknya balas SMS ku. Ku mohon Laila.'

Pesan ini, aku kira dia tidak tahu tentang penyakitku yang kambuh laģi. Ku coba balas pesan Doni.

'Iya Doni. Aku memaafka...'

Krrriinng... kkrrriingng....

Ada panggilan masuk. Hal itu membataĺkan niat ku untuk membalas pesan Doni. Tapi, yang menelpon, ....,

'Call from Doni'

Doni menelponku. Tapi aku belum siap. Untuk membalas pesannya saja tanganku gemetar tak karuan. Apa lagi harus mendeñgar dan bicàra dengannya. Meski tidak secara langsung, tapi tetap saja.

Jadi, denģan terpaksa ķu reject panggilan Ďoni. Saking bingungnya, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.

"Hhh~ Apa yang ku lakukan. Tak seharusnya ku lakukan itu. Doni pasti tersinggung. Tapi, aku tak bisa...."

Kkrrriiiiiinng..... kkrrriiinngng....

Ku reject lagi. Air mata ku sampai di pelipis. Ku hapus segera. Ĺangkah terakhir, ku nonaktifkan ponselku. Dan coba menenangkan diri di ranjang, menutupi kepala ku dengan bantal.

Menangis sejadi-jadinya di kamarku. Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di luar kamar. Aku tak peduli.
~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top