Such You
Entah sudah berapa hari aku tak berkomunikasi dengan Doni. Aku masih takut jika harus berbicara dengannya.
Di rumah, di sekolah,di lingkungan. Sebisa mungkin ku jauhi dia. Untuk sementara aku tak ingin bertemu dengannya.
Alasannya mungkin konyol. Apa lagi mengingat yang salah adalah Doni. Tapi aku tak peduli. Aku masih ragu untuk berhadapan langsung dengannya.
Setiap pesan, panggilan. Ku abaikan semua. Terkadang aku muak sendiri. Saat aku sedang melakukan hal penting dia malah menyela.
Kira-kira sudah seribu seratus tiga pesan yang dia kirim. Panggilan sudah sekitar dua ratus lima puluh dua. Tapi aku tetap mengabaikannya.
Aku juga tak tahu harus sampai kapan aku begini. Di samping itu, aku juga masih ragu menceritakan apa yang terjadi pada Mama dan Papa.
Aku takut mereka terlampau cemas hingga tak sempat memikirkan diri mereka sendiri. Aku tak mau keadaannya jadi lebih buruk dari sekarang.
Kkkrrrriiiiingng.......... Panggilan masuk. Aku ragu untuk melihatnya. Tapi setelah ku lihat aku lega. Ternyata yang menelpon Shinta.
"Halo?"
"Halo La ini aku Shinta. Kamu gimana? Udah minum obat?"
"Udah. Aku baik."
"Oh, syukurlah. La, besok berangkat bareng yuk. Aku di anter Ayah."
"Loh, kok tumben sih."
"Iya. Kata Bunda aku juga harus ajak kamu. Pulangnya Ayah dan Bunda akan jemput. Kamu tau kan lusa hari apa..."
"Iya, iya aku tahu. Sebelum itu, selamat ya."
"Eh, kan lusa bukan sekarang."
"Nggak apapa. Special buat kamu. Hari ini sampai lusa aku akan mengucapkannya untukmu."
"Aku yang pertama?"
"Ng-nggak sih. Maaf Shin."
"OK nggak apapa. Yang sudah terjadi biarkan saja."
"Iya."
Obrolan kami berlanjut. Sampai waktu makan malam kami berhenti. Aku membantu Mama memasak di dapur. Saat itu, aku hampir kehilangan kesadaranku.
"Laila tolong bantu Mama masak yang ini ya. Mama mau keluar sebentar."
"Iya Ma."
Aku mulai memasak. Ku potong kecil-kecil sayur yang diberikan Mama. Ku bilas, dan ku tumis.
(Bumbunya lewat aja lah)
Aromanya menggugah selera. Tapi, lama kelamaan pandangan ku kabur. Kepala ku terasa sedikit pusing. Panas dari kompor gas ini membuatku berkeringat tak wajar.
Sebenarnya itu bukan penyebab utama. Tapi hanya memberikan efek lebih. Aku terhuyung ke belakang. Tapi satu kaki ku segera menjaga keseimbangan ku.
Aku mundur. Dan menuju kulkas. Ku ambil satu botol air putih. Ku tuang ke gelas dan ku minum. Ku minta salah satu maid yang ada di dapur untuk melanjutkan masakanku.
Sementara aku segera ke kamar untuk minum obat. Fungsi obat itu hampir sama dengan obat penenang. Jadi aku tiduran dulu, yang akhirnya tidur sungguhan.
~~
"Laila, ayo berangkat nak."
"Iya Ma. Eh, aku lupa. Hari ini aku berangkat sama Shinta.
"Kok baru kasih tau sekarang sih."
"Maaf, Ma. Laila baru inget."
"Hm, ya sudah. Sana keluar. Nanti Shinta malah nunggu lama lagi."
"Iya Ma. Laila berangkat dul.."
"Laila!! Kau sudah siap?!" Tanya seseorang. Masih pagi, tapi sudah teriak-teriak. Siapa lagi kalau bukan Shinta. Suaranya yang khas itu membuat aku dan Mama terdiam sebentar.
"Eh, panjang umur. Shinta udah dateng aja tuh di luar." Mama tertawa kecil.
"Iya Ma. Duluan ya Ma. Daah~"
"Daah~ Hati-hati di jalan ya."
"Iya Ma." Suara ku terdengar lirih. Karena aku sudah di ambang pintu. Dan melihat sesosok gadis sebaya yang sudah rapi tengah menunggu ku.
"Lama banget La." Sapa nya.
"Kamu aja baru sampe."
"Hehe~ Iya sih. Ayo cepetan. Ntar keburu masuk."
"Iya."
Di mobil, Ayah Shinta sudah menunggu. Dalam perjalanan kami banyak bercerita. Terutama tentang pengalaman kami saat study tour. Shinta lebih banyak bicara dari aku atau pun ayahnya. Ya, karena dia cakap.
Beberapa meter dari halte, ayah Shinta melambatkan laju mobilnya.
"Eh, itu bukannya Doni. Kok dia sendirian sih." Mata Ayah Shinta menatap Doni yang tengah berdiri di halte menunggu bus.
"Oh," jawab Shinta singkat.
"Kenapa sendiri ya. Bareng aja ah. Mumpung masih lega." Mobil yang kami kendarai segera mendekat ke arah Doni.
"Eh, Yah. Kok gitu sih. Kan rencananya cuma aku sama Laila." Cegah Shinta. Tapi terlambat. Mobil ini sudah berhenti tepat di depan Doni.
"Tapi Doni kan teman kalian juga. Bahkan sejak SD kan. Masa pilih kasih gitu." Ucap ayah Shinta sambil membuka kaca pintu mobilnya.
"Ayo nak Doni kita sekalian aja." Ajak ayah Doni.
Entah apa yang membuat semangat Doni hilang. Mungkin dia melihatku sedang duduk dengan Shinta.
"Nggak usah Om. Aku naik bus aja." Tolak Doni.
Aku hanya bisa memalingkan wajah ku melihat ke arah lain. Sedangkan Shinta pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Kok nggak mau sih. Kali nggak mau Om paksa kamu. Om tarik nih ya." Ayah Shinta hampir membuka pintu mobilnya.
"Eeh, iya, iya deh. Iya aku ikut. Tapi, ada syaratnya."
"Apa lagi nih bocah. Mau malu?" Ancam ayah Shinta sambil sekali lagi berpura-pura mau membuka pintu mobilnya.
"I-iya, iya Om."
"Ayo cepat. Duduk samping Om." Ajak ayah Shinta.
Doni menurut. Dia duduk di samping ayah Shinta. Saat hendak masuk, dia melirik ku sejenak. Menyadarinya, aku segera menggulirkan bola mata ku menuju arah lain.
Dia duduk di samping ayah Shinta, dan tepat di depan ku. Kami melanjutkan perjalanan. Yang mengisi ruang hampa suara ini hanyalah obrolan ayah dan anak. Siapa lagi kalau bukan Shinta dan ayahnya.
Mereka bersenda gurau. Sedangkan aku dan Doni malah terlihat kaku. Sesekali aku ikut tertawa. Tapi tentu saja terlihat canggung.
Beberapa kali Doni ketahuan sedang memperhatikan ku. Saat aku sedang melihat ke arah luar kaca mobil depan, tak sengaja aku melihat ke arah kaca yang di gunakan untuk melihat ke arah belakang oleh pengemudi. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu.
Tapi Doni cepat kalah. Saat aku menatapnya, matanya segera bergulir ke arah lain. Ku rasa, ada yang ingin dia sampaikan. Tapi pasti terasa sulit. Karena kami, tak berdua.
Aku tau persis siapa Doni. Dia tipe orang yang tak ingin masalahnya diketahui orang lain. Bisa di bilang dia adalah penjaga rahasia yang tepat.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, mobil berhenti. Kami bertiga keluar. Dan alhasil, aku ada pada jarak yang dekat dengan Doni. Tanpa penghalang. Mata ku tak sanggup menatapnya. Aku tak tahu dia melihat ku atau tidak.
"Ayo La." Ajak Shinta sambil menarik tanganku menjauhi Doni.
Doni berjalan di belakang kami. Entah sudah berapa langkah dia bertahan.
"Laila," Panggil Doni yang sedari tadi di belakang kami.
Aku semakin erat menggenggam tangan Shinta. Rasanya aku ingin jatuhkan air mata, bahkan tubuh ku sendiri. Aku terlalu takut untuk menghadapnya.
Shinta adalah termasuk orang yang peka. Dia tahu betul apa yang ku rasakan. Dia segera membuat alasan agar kami semakin jauh dari Doni.
"Oh iya La. PR yang kemarin aku kurang satu. Ajarin ya. Ayo kita ke kelas." Shinta berjalan semakin cepat.
Ku rasa Doni sudah tak mengikuti kami lagi. Saat sudah di kelas dan duduk, aku baru buka mulut.
"Makasih ya Shin."
"Apaan sih. Orang PR ku emang kurang satu kok."
"Baguslah kalau begitu."
"Kok bagus sih. Aku nggak bisa ngerjainnya. Kok malah kamu bilang bagus." Dengus Shinta.
Aku tertawa geli mendengar tingkah Shinta yang ke kanak-kanakkan. Tak habis pikir. Dia tak pernah berubah sedikit pun.
"Baiklah akan ku ajari caranya."
Aku mengajari Shinta mengerjakan soal terakhirnya. Dia langsung bisa. Padahal soal itu baru diterangkan kemarin. Kami juga sedikit bercanda hingga bel masuk.
Entah kapan aku punya keberanian untuk menghadap mu. Sekali pun kau telah menyadari kesalahan mu dan berniat memperbaikinya, aku tetap rapuh. Karena aku, tak banyak mengalami perubahan. Seperti dirimu.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top