Rencana
Hari ini, setelah sekian lama aku absen, sekolah terasa asing. Tapi, ya, setidaknya aku sudah menghirup udara segar.
"Laila, gimana kabar kamu? Baik kan?" Shinta terlihat cemas. Padahal kemarin malam kami sudah telpon. Sepertinya dia tak kan percaya dengan 'kata-kata'.
"Sudah. Aku sudah lebih baik." Kembali pada kepribadian ku yang polos dan kebanyakan senyum. Ku harap itu tak terdengar sebagai lelucon.
"Aku dengar. Kau di bawa ke RS saat malam setelah aku main ke rumah mu. Apa itu benar?"
"Iya. Aku pingsan di kamar." Aku tak ingin membuka lebih lebar lagi.
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Entahlah. Sadar, sadar aku sudah di RS." Jadi kaku. Berbohong memang bukan keahlian ku.
"Saat kau akan pingsan apa yang kau rasakan? Bagaimana kondisi fisik mu? Saat kau pingsan, apa yang kau pikirkan? Jawab aku Laila," Shinta jadi terbawa emosi.
"Pertanyaan mu terlalu banyak. Tapi, hanya satu jawaban dari semua pertanyaan mu." Thriller dalam diri ku mulai keluar.
"Apa?" Aku berhasil membuat Shinta penasaran.
"Entahlah. Aku tak tahu." Drop Shinta mendengarnya. Hihi~ Ku rasa dia berharap lebih.
"Apaan sih kamu. Masa cuma gitu?" Jangan, semua akan tetap baik selama aku menyimpannya.
"I-iya. Aku kan, ya, kau tahu sendiri lah. Aku terlalu biasa dengan hal seperti ini hinggan aku melupakannya begitu saja." Ku harap tak lebih buruk dari biasanya.
"Hm, baiklah. Aku percaya. Tapi tetap saja. Jika kau butuh sesuatu, katakan saja. Semua orang akan selalu ada untuk mu. Percayalah." Senyum yang sangat meyakinkan. Dia memang sahabat terbaik ku.
Aku mengangguk mengiyakan. Selama sekolah, tak ada hal menarik yang bisa di ceritakan.
~~
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa, ujian nasional sudah lewat. Hasilnya pun sudah di publikasikan. Jangan tanya nilai ujian ku. Tak begitu bagus, tapi lumayan lah.
"La, mau daftar di fakultas mana?" Shinta terlihat antusias.
"Entahlah. Kamu?"
"Aku, juga belum kepikiran. Udah ada target sih, tapi ya hasilnya pasrah aja." Malu rasanya jika kita mengatakan itu.
"Bareng yuk?"
"Kamu mau ambil apa?"
"Desain. Kamu mau apa?"
"Sedapetnya aja lah."
"Lah kok gitu?" Shinta semakin aneh.
"Ntar aja tanya ma ortu."
"OK."
Posisi kami, sedang jalan ke halte. Kami bukan anak manja yang anter jemput sama supir pribadi. Apa lagi sekarang. Harus sudah lebih mandiri.
"Laila!" Suara ini lagi. Aku berbalik. Doni berlari ke arah kami.
"Hhahh, hhah, kamu, hhah, mau," Nafas Doni terengah-engah.
"Atur pernafasan dulu Don. Baru bicara." Nada bicara Shinta levbih merujuk ke meledek.
"Iya Don. Tambah capek kan kalo kaya gitu." Aku dan Shinta tertawa kecil.
"Kalian mau daftar ke mana?" Doni mulai tenang
"Ke fakultas khusus putri. Biar nggak di ganggu cowok hidung belang!" Candaan Shinta selalu membuat kami tertawa.
"Haha~ Kenapa nggak mau? Sama abang mau nggak?" Doni langsung aja nyambung. Kami tertawa bersama sepanjang jalan. Rasanya, seperti terombang-ambing di antara sekarang, dan dulu. Tapi aku menikmatinya.
~~
Pandaftaran kuliah selesai. Hari pertama, hari kedua, minggu pertama, bulan kedua. Terasa cepat sekali. Aku, Shinta dan Doni akhir-akhir ini sering bertemu. Dan seperti biasa, kebiasaan terlambat Doni lumayan mengganggu. Tapi setidaknya, kami bisa bersama.
"Bentar lagi tahun baru. Mau rayain bareng nggak?" Ucap Shinta di sela-sela obrolan kami.
"Hm, boleh. Tapi, apa kamu nggak mau ke rumah nenek mu?" Tanya ku. Doni hanya diam. Dari ekspresinya, dia kelihatan bingung dan gelisah.
"Aku akan menolak untuk pergi." Percaya diri terpancar dari wajah Shinta.
"Masa gitu sih? Nenek kamu pasti udah nggak sabaran ingin lihat cucu kesayangannya yang sudah dewasa." Goda ku pada Shinta. Aku dan Shinta larut dalam obrolan. Tapi Doni, dia hanya diam seribu bahasa.
"Mungkin, akan ku pikirkan lagi deh. Udah sore nih. Pulang yuk." Kami segera merespon ajakan Shinta. Rumah kami tak selamanya satu jalan. Ada wakru dan tempat di mana kami harus berpisah.
"Sampai sini dulu ya? Daah~" Shinta yang pergi paling dulu. Dia harus jalan sendiri, karena rumah Shinta sangat terpisah dari kompleks kami. Kami? Kami? Kami hanya berdua!
Euh, canggung.
Aura aneh menyelimuti tubuh ku. Aku duluan, atau dia duluan. Satu kata saja cukup kan.
"A-aku..." / "Kamu..." *ngomong bareng.
Tambah aneh!!
"Ah-haha..." Kayanya Doni juga merasakan hal yang sama. Aku jadi nggak enak.
"Kamu mau ngomong apa?" Akhirnya Doni bicara. Tapi kenapa pertanyaan itu?
"Ah, a-aku, aku m-mau bi-b-bilang..." Gagap lagi. Euh, menyebalkan. Aku bahkan tak bisa menatap wajah Doni sedikit pun.
"Hm, aku duluan ya?" Aku mendongak. Senyum percaya diri khas Doni terpampang. Aku mengangguk tanda setuju.
"Eum, kamu, tahun baru ini ada acara?" Kelihatan banget kalau Doni sedang tegang dan ragu.
"A-aku, t-tidak. T-tidak ada." Nafas ku terengah. Rasanya mau pingsan.
"Oh," Hening. Sudah berapa jauh sih kami berjalan sekarang. Rasanya lama sekali. Setiap detik begitu terasa sehari. Tidak, setahun. Lama sekali.
"Malam tahun baru nanti, kita akan merayakannya bersama!" Teriak Doni yang sontak membuat ku terkejut. Cengiran khasnya itu, selalu membuat ragu. Aku hanya menatap kosong ke arah nya. Tapi kami tetap berjalan.
"A-apa?" Nada suara ku rendah. Tapi tetap bisa di asumsi sebagai pertanyaan.
"Iya. Besok malam, aku akan menjemput mu. Mumpung nggak ada Shinta." Ku rasa, Doni benar-benar menganggap Shinta sebagai pengganggu. Itu terlalu kejam. Tapi, memikirlannya saja, aku jadi geli sendiri.
"Hihi~ Kau kejam sekali Doni."
"Eh? Kenapa? Aku kejam?" Doni terlihat lucu saat sedang bingung seperti ini.
"Kau menganggap Shinta sebagai pengganggu ya?! Dasar kejam. Hihi~" Ku tutup mulut ku dengan satu tangan. Candaan ini benar-benar menggelitik ku.
"Heeh, hehe, hahaha, bwahahaha! Lucu! Lucu sekali! Hahaha~" Apa Doni sakit?
"Kau kenapa?" Tanya ku ragu.
"Haha~ Ya, begitu lah."
"Apa maksud mu?"
"Maksud ku? Ya, haha~ Iya. Shinta pengganggu. Bukan kah memang begitu? Hahaha~" Apa aku yang salah bicara.*author nggak salah nulis. Aku tak salah bicara kan tadi. Kenapa keadaannya jadi begini.
"Haha, hah, ya ampun. Kau bisa ngelawak ya Laila." Apa sih yang sebenarnya terjadi. Aku hanya diam di buatnya. Memang nya apa yang bisa ku katakan.
"La, besok malam, kita ke tebing di pantai itu. Ya?" Doni mulai serius.
"P-pantai?" Aku masih ternganga.
"Iya. Pantai yang, waktu itu. Di sana, kembang apinya pasti lebih indah. Aku yakin." Pantai yang waktu itu? Jangan-jangan.
"A-aku...."
"Aku yakin kau bisa. Pakai sepeda ya? Daah~" Doni berjalan cepat meninggalkan ku. Aku menatap penuh keheranan pada punggung Doni. Sadar, sadar aku sudah tepat di depan rumah.
Doni pergi begitu saja. Seakan dia ingin, aku membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Mungkin aku saja yang berlebihan. Tapi tetap saja. Manusia mana sih yang nggak mau mengulang masa-masa indah nya bersama seseorang.
Aku yakin tak ada. Hal-hal indah yang berlalu itu hilang begitu cepat. Tapi hal-hal yang begitu buruk. Bahkan tak pernah, pudar sekali pun.
Entah kenapa, malam ini aku tak bisa tidur. Padahal, stamina ku harus full untuk besok malam. Semoga saja, semua berjalan sesuai rencana.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top