Masa Kita

Bel pulang bunyi. Langkah ku gontai dalam perjalanan pulang. Keluar dari sekolah bersama Shinta. Tubuhku lemas sekali. Pelajaran penjas yang dimulai siang hari membuat seluruh siswa kehilangan banyak energi. Karena pelajaran terakhir, aku pulang dengan selimut kai berbentuk seragan olahraga. Kami keluar lebih lambat dari lainnya untuk menghindari berdesak-desakkan dengan siswa lain. Gerbang sekolah sangat luas untuk kami berdua.
"Lemes banget La."
"Iya nih."
"Materinya apa?"
"Kebugaran jasmani. Kelas gue disuruh lari 5 kali keliling lapangan sepak bola."
"Waah, keren banget lo bisa lari sejauh itu."
"Bukan gue. Gue mah kagak lari sejauh itu. Cuma 4 1/2 putaran doang. Soalnya kata guru penjas selesai nggak selesai pulang."
Haha~ Tawa kami mengiringi perjalanan pulang. Sekali lagi, gerbangnya luas. Dan hanya kami berdua. Sampai tepat di gerbang.
"Laila!!!"
Suara itu, Doni.
"Pulang bareng yuk." Mengambil langkah cepat mendekat.
"Enak aja. Laila pulang bareng gue. Lo nggak liat kita lagi mau pulang bareng. Lagian kan gue duluan."
"Nggak. Laila bakal pulang bareng gue." Tangan ku ditarik mendekat oleh Doni.
"Nggak bisa. Lan gue udah bilang. Gue duluan yang ngajak Laila pulang bareng. Siapa cepat dia dapat." Cegah Shinta sambil menarik satu tanganku yang bebas.
Mereka berdebat lagi. Apa aku harus menghentikan mereka. Aku harus. Tapi tubuhku lemas. Tambah lagi tadi tubuhku digoncang-goncang. Kalau aku yang tak menghentikan mereka, apa mungkin mereka bisa diam. Apa ada salah satu dari mereka mau mengalah. Rasanya tak mungkin. Mereka berdua ahli debat. Tapi...
"..... Aku udah ada janji sama Laila. Gue janji sama Laila bakal pulang bareng."
Deg-, apa yang dia katakan? Doni bilang apa? Janji? Kenapa janji? Kata-katanya membuat ku terhempas. Apa maksudnya.
"Bener La? Kalian udah punya janji?"
"A-aku..."
"Iya. Pergi sana. Jangan ganggu. Hush... hush...."
"*wee*" lidah Shinta dijulurkan ke arah Doni. Dia pergi begitu saja.
"Shinta tunggu. Aku..."
"Udah biarin aja." Doni menarikku semakin dekat dengannya.
"Tapi, kita kan..."
"Iya tau. Maaf aku bohong. Tapi mau gimana lagi. Nggak ada cara lain selain bilang ke Shinta kalo kita ada janji. Kalo nggak kita nggak akan bisa pulang bareng."
"Emang ada apa sih. Tumben minta pulang bareng."
"Kok tumben sih?!"
Aku hanya menjawab dengan mengangkat sebelah alis. Dengan maksud meminta penjelasan.
"OK sekarang kita jadi jarang pulang bareng. Tapi nggak berarti kita nggak boleh pulang bareng kan?"
Aku terdiam. Dengan wajah bingungku, aku diam seribu bahasa. Doni terus mencoba meyakinkanku dengan kata-katanya itu. Apa dia tak sadar senggangnya hubungan kami?
"Udahlah jangan ambil pusing. Daripada ntar ketinggalan bis mendingan kita jalan sekarang. Yuk." Doni berjalan sambil menggandeng tangan kiri ku.
Aku hanya bisa menurut. Lagi pula jarang sekali bisa seperti ini 'lagi'. Ku tatap tanganku yang tengah di genggam tangan Doni. Rasanya hangat. Tetap sama seperti dulu. Ocehan basi pemecah keheningannya juga. Meskipun dia crewet, tapi aku tak pernah bosan menjadi pendengar setianya. Apa mungkin, karena aku merindukan Doni yang dulu? Yang selalu menggandeng tanganku saat kami jalan berdua. Yang selalu bicara sok akrab saat kami tak punya topik penting. Yang selalu ada bahkan saat keberadaannya bisa dibilang mengganggu. Apa aku merindukannya?
"Sampai. Eh, dari tadi kamu diem mulu. Kenapa?"
"Nggak apapa."
"Duduk yuk."
Dengan posisi tangan yang masih sama, Doni duduk fi sebelahku.
"Aku punya kejutan loh buat kamu."
"Kejutan? Apa?" Dengan nada datar.
"Rahasia. Kalo aku katakan sekarang namanya bukan kejutan dong."
"Haha~ iya."
-Hening- Tak ada obrolan lagi. Mungkin Doni memang berubah. Dia lebih banyak diam dari pada bicara. Meskipun tadi dia telah banyak bicara.
"La, aku mau tanya sama kamu." Tangannya semakin erat menggenggam tanganku.
"Tanya apa?"
"Menurutmu, aku, maksudku apa pendapatmu tentang, aku, maksudku hubunganku dengan Mona?"
-Jits- Aku baru sadar kalau Doni sudah punya pacar. Segera ku lepaskan genggamannya. Kutarik tanganku hingga bebas. Jadi canggung. Lagi pula kenapa Doni harus membicarakannya.
"Ada apa?" Wajahnya tampak cemas.
"Maaf aku lupa. Seharunya aku sadar dari tadi. Menurutku, kau cocok dengannya. Oh ya, kau tak menjemputnya?"
"Tidak. Mona sedang ada ekstra. Jadi aku jemputnya nanti agak sore sedikit."
"Oh,"
"Laila."
"Hm?"
"Apa kau, membenci ku?"
Deg- apa yang dia katakan. Kenapa dia tanyakan itu.
"Kenapa, kau tanyakan hal seperti itu?"
"Aku hanya, merasa jarak kita semakin jauh. Aku merasa kalau kau semakin jauh dariku. Kau jadi jarang bertamu ke rumah ku. Apa kau tahu, ibuku mencemaskanmu."
"Oh, aku. Aku tak membencimu. Hanya saja aku belakangan ini banyak tugas. Jadi aku tak bisa sering-sering ke rumah mu. Maaf."
"Ah, sudahlah itu tak penting. Terimakasih sudah memberi penjelasan. Sekarang aku jadi tak begitu kelu saat bertemu denganmu."
-Hening-
"Laila."
"Hm?"
Pandangan kami bertemu. Wajah Doni yang tanpa ekspresi membuatku menerka-nerka apa yang ingin dia sampaikan.
"Kau, aku benar-benar,"
A-apa yang....
"Aku benar-benar takjub padamu."
Fuuh~ Apa-apaan tadi.
"K-kenapa?"
"Kau hebat. Aku tak berfikir kalau ada orang seperti dirimu. Kau orang yang baik. Terimakasih untuk segalanya." Doni tersenyum kaku di hadapanku.
"I-iya, sama-sama." Ku balas senyumnya.
"Eh, bis nya dateng."
"Hm, iya."
Kami berdiri. Bis datang di depan kami. Kami naik bis, dan sampai di halte. Kami berjalan menyusuri jalanan yang cukup kosong. Bercerita tentang pengalaman masing-masing. Aku tak ingat persis bagaimana. Tapi itu masa-masa yang indah. Masa lalu, yang ingin ku alami lagi. Masa kini yang aku sendiri tak ingin kehilangan lagi. Masa depan, yang ingin selalu ada lagi.
~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top