Karma 2

Suhu udara nan dingin menusuk kulit ku. Aku tak tahan dengan itu. Sekuat tenaga ku kumpulkan kesadaran ku. Aku berhasil. Tapi tubuh ku tetap tak mau bergerak.

Aku tak kaget dengan pemandangan ini. Karena beberapa tahun lalu, aku mengalaminya berulang kali. Ranjang dan seisinya bagai di terpa badai darah. Semuanya basah oleh darah.

Hingga kekuatan ku cukup, aku bangkit dalam posisi duduk. Alarm yang ku nyalakan belum berbunyi. Itu artinya aku bangun lebih pagi. Jauh lebih pagi dari yang lainnya.

Pukul 1.00 WIB. Aku hanya tidur beberapa jam. Dan itu sudah lebih dari satu liter darah mengalir lewat hidung ku. Efeknya, ya tentu saja aku kehilangan banyak tenaga dan kesadaran.

Meski sudah pernah melihatnya, seakan mata tak pernah terbiasa. Air mata ini mengalir bersama darah. Tak ku sangka. Kejadian perih seperti ini terulang lagi. Mengingat belum ada satu bulan aku dinyatakan bisa hidup bebas.

"A-aku ha-h-harus seg-ge-ra me-m-membe-r-sih-kannya." Bahkan hanya untuk bicara pun, aku tak sanggup bertahan lama.

Sebisa mungkin aku bergerak cepat. Untuk apa lagi kalau bukan untuk membersihkan ranjang ku. Aku menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan hidung ku. Ku sumbat hidung ku 5-10 menit.

Setelah tak cukup deras alirannya, ku lanjutkan dengan mengganti seprai-kantung bantal, dan juga bed cover. Ku bawa semua yang berlumuran darah itu ke bawah. Ke ruang khusus mencuci. Bukan kamar mandi. Tapi ruang khusus untuk mencuci.

Di sini ada beberapa mesin cuci. Jadi aku tak perlu menunggu lama hanya untuk mencuci sesisi ranjang. Di kasur ku juga ada banyak darah. Tapi semua darah di kasur sudah ku bersihkan dengan air, dan mengeringkannya.

Air lagi. Terus menerus air. Saat air dan angin bertemu. Aku sudah tak bisa melawannya lagi. Aku sempat jatuh terduduk berulang kali. Tapi aku sadar kalau aku tak punya banyak waktu.

Sambil menunggu cucian, ku otak atik ponsel ku. Ku cari dengan seksama kontaknya. Dan berhenti pada kontak bertuliska 'dr. Alin' . Segera ku hubungi kontak itu.

Tuut, tuut, tuut, Nomor yang anda hubungi tidak menjawab. Cobalah... Tuuuuut. Langsung saja ku matikan.

Ku coba lagi. Tak ada jawaban lagi. Aku tahu, kemungkinan dia masih tidur memiliki peluang besar. Tapi dia seorang dr. Dia harus terjaga setiap jam saat pasiennya membutuhkannya. Ku coba terus menerus. Hingga kali ke 27, aku menyerah.

Aku hanya bisa pasrah. Tetesan darah ini kembali mengalir. Ku dongakkan kepala ku agar darah ku tak keluar. Tapi rasanya percuma. Darah itu memenuhi hidung ku. Hingga mengalir perhalan karena kepenuhan.

Drrrztt.... drrrztt... Ponsel bergetar. Ada yang menelpon. Dia, orang yang tadi ku telpon berulang kali. Ya, dr. Alin.

"Halo," suara ku lemas

"Halo, Laila ada apa?"

"Apa kau bisa membawa ku ke UGD sekarang?"

"Jangan konyol! Aku akan menjemput mu sekarang."

Tuuuuuutt.... Teleponnya mati. Semua cucian ku juga sudah selesai. Untuk sekarang, aku tak mungkin menjemurnya sendiri. Sudah ku bilang. Aku terlalu lemah.

Jadi hanya ku taruh di atas keranjang pakaian yang ada di depan mesin cuci. Ku harap salah satu maid di rumah ku mengerti.

Aku mengganti pakaian ku lagi. Kali ini, pakaian ku lebih rapat dan tebal. Paling hanya celana panjang dari bahan wol tapi tak begitu tebal dan kaos biasa dengan mantel di bagian luarnya. Aku sedikit takut. Dan bolak balik menatap ke luar jendela.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil warna hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah ku. Aku segera turun ke bawah. Dengan lari kecil nan pelan, ku harap tak ada yang dengar.

Saat keluar kamar, darah ku keluar lagi. Aku menyeka-nya dengan sapu tangan. Tapi aku merasa ada yang lolos. Ada beberapa tetes darah yang berhasil sampai ke lantai.

Aku tetap berjalan. Ku buka pintu dan gerbang dengan perlahan. Ku hampiri mobil berwarna hitam itu. Mengetahui aku yang datang, si pemilik mobil yang menyupiri dirinya sendiri membuka kaca mobilnya. Dan keluar.

"Laila, kau tak apa? Dia terlihat cemas.

"Kita mau ke mana?" Tanya ku berbisik.

"Ke kantor ku. Aku takkan membawa mu ke UGD. Kecuali kau benar-benar dalam keadaan bahaya."

"Lalu ada apa di kantor mu itu?"

"Aku punya banyak. Ayo." dr. Alin membantu ku memasuki mobil.

Aku tiduran di jok paling belakang. Sambil terus menyeka hidung ku, pandangan ku semakin kabur.

"Bertahanlah Laila. Kau akan baik-baik saja. Aku janji."

Janji? Lagi? Kenapa semua orang yang ada di dekat ku suka sekali mengatakan janji. Memang apa bagusnya kata itu. Jika pada akhirnya mereka mengingkarinya.

Cchiiitt.... dr. Alin memarkirkan mobilnya dengan kasar. Kami berhenti tepat di depan rumah sakit tempat dr. Alin bekerja. Dia membantu ku berdiri dan berjalan. Tak aa yang curiga dengan penampilan ku yang terkesan seperti hidup di kutub. Tambah lagi, sapu tangan merah ini menutupi sebagian hidung ku.

Sebenarnya sapu tangan ini berwarna putih. Warnanya berubah seiring dengan banyaknya darah yang keluar.

Krriieeeett... Kami masuk ke kantor dr. Alin. Aku kembali tiduran. Tapi kali ini di sofa. dr. Alin membawakan ku sebuah tiang penyangga kantong infus. Tapi yang tergantung bukanlah kantong infus. Tapi kantong darah.

Jarum yang tajam itu. Pasti untuk menusuk ku. Aku yakin. Dan rasanya pasti sakit.

"Berikan tangan kanan mu." Perintah dr. Alin

Aku menggerakkan tangan kanan ku ke arah dr. Alin. Dan ini yang paling ku benci. Tusukan yang amat sangat menyakitkan. Membuat air mata ku mengalir begitu saja. Aku juga mengerang.

Bukan karena aku cengeng. Tapi, bisa kah kau bayangkan bagaimana rasanya di tusuk jarum selama sepuluh tahun? Meski pun tak penuh, kau pasti akan bosan bukan? Bahkan aku, sampai pada tingkat trauma, dan phobia.

"Tak apa. Rasa sakitnya akan segera hilang."

dr. Alin mengambil sebuah suntikan. Aku tahu apa isinya. Pasti obat tidur. Sedikit lagi, dan jarum itu menembus kantong darah ku.

"Tidak. Aku tak mau tidur." Cegah ku.

"Tapi kalau kau tidur, rasa sakitnya akan berkurang."

"Kau tak perlu begitu. Aku harus terbiasa."

"Tidak. Aku akan tetap menyuntikkannya."

"Jangan! Aku mohon. Aku tahu kau takut jika kejadian itu terulang lagi kan? Aku tahu. Kali ini aku akan baik-baik saja. Aku, ...., akan ku usahakan."

Aku tak mau berjanji pada siapa pun lagi. Karena aku takut kalau aku tak dapat menepatinya.

Flashback ON

Kejadian sekitar 5 tahun lalu. Yaitu saat aku masih SMP. Saat itu, adalah puncak keparahan penyakit ku. Aku sudah pernah bilang. Aku sempat beberapa kali berada di ambang kematian.

Bahkan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya. Jantung ku sempat berhenti berdetak selama 20 menit. Meski sudah di kejut listrik. Tak ada kemajuan.

Hingga entah malaikat apa yang datang, jantung ku kembali berdetak. Nafas ku kembali berhembus.

Aku tak sadarkan diri selama 3 bulan. Dan setelah sadar pun aku masih tak boleh keluar rumah sakit. Setiap sekian jam sekali, jarum-jarum suntik itu menembus kulit ku.

"Ma, Laila takut Ma." Rintih ku.

"Nggak sakit kok sayang. Cuma sebentar. Habis itu Laila bisa pulang ke rumah lagi." Air mata Mama sudah sampai di pelipis.

"Tapi sakit Ma. Laila sakit."

...

"Aaaarkh..." aku menjerit keras. Air mata ku tumpah dalam dekapan Mama.

Rasanya sakit sekali. Di tambah rasa takut setelah mengetahui akibat dari banyaknya bekas suntikan pada tubuh. Apa lagi kalau hanya berpusat pada satu titik.

Bahkan, saat aku di nyatakan mengalami trauma dan phobia hebat pada jarum suntik. Suatu hari aku pernah melepas paksa infus ku. Bahkan aku melepaskannya sembarangan. Hingga beberapa ons daging ku hilang terbawa jarumnya.

Flashback OFF

"Kalau begitu, tenangkan diri mu. Jika ada sesuatu katakan saja pada ku. Aku akan tetap terjaga untuk mu." dr. Alin kembali ke tempat duduk nya.

Dia membolak-baikkan berkas yang ada di mejanya. Sesekali dia menatap ku dengan tatapan kasihan. Entah apa yang dia pikirkan. Tapi aku memang terlihat malang.

Kenapa aku yang menderita semua ini? Kenapa harus aku yang mengalaminya? Kenapa tak ada orang yang mengerti? Kenapa harus, semua ini kembali terjadi?

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top