DP 2
Gan, ni cerita masih dalam flashback ya..
~~
Kami bertatapan sekarang. Pandangan sayu milik Laila membuat ku cemas. Apa ada sesuatu yang terjadi sebelum aku ke sini.
"Laila. Kamu ngapain di sini?" Laila, hanya diam. Jadi, ku putuskan untuk lebih dekat.
"Laila," Satu langkah.
"Jangan mendekat!" Dia berhasil menghentikan langkah ku. Tapi kenapa. Apa yang terjadi
"Ada apa?" Aku semakin bingung. Laila tak biasanya begini.
Tak sabar dengan kebisuan Laila, aku kembali melangakah.
"Aku bilang jangan mendekat!" Laila malah mundur. Aku tak mengerti. Apa yang di pikirkan olehnya.
"Laila, apa maksud mu?! Kenapa kau begini?" Aku tetap berjalan mendekat. Laila terlihat kedinginan dan ketakutan. Aku tak mungkin membiarkannya terus begitu kan. Jadi aku mempercepat langkah ku. Tapi dia terus mundur.
"Laila berhenti!" Laila semakin cepat. Begitu juga aku.
"Laila aku bilang berhenti!"
"Hiks, hiks." Kenapa Laila menangis. Kenapa dia begitu. Aku terus berusaha menggapainya. Tapi terlambat. Hingga,
"Laila!!"
Laila terjatuh. Aku segera melompat dari tebing itu. Tebing ini cukup tinggi. Dan puncaknya menuju langsung ke tengah laut. Aku semakin khawatir. Apa Laila berniat untuk bunuh diri.
Lima senti lagi. Tapi, aku terlambat. Byuuuuurrr.... Laila terjatuh. Aku juga menyusul. Namun jarak kami semakin jauh. Wajah ku terasa sakit. Kepala ku seperti terbentu batu yang keras. Tangan kanan ku yang berusaha menggapai Laila terasa patah.
Sakit sekali. Tapi aku tetap tak peduli. Aku hanya ingin menyelamatkan Laila. Lagi, air laut ini terlalu dingin. Hipotermia Laila bisa lebih parah dari sebelumnya. Aku khawatir. Aku takut. Laila ku mohon. Jangan pergi.
Hup... Aku berhasil menjangkau tangan Laila. Ku tarik dia ke dalam pelukan ku. Kulitnya sedingin es. Ku gerakkan kaki ku untuk berenang ke atas.
Kami berhasil keluar. Tapi rasa nyeri itu masih ada.
"Kita menepi." Kata ku seraya menenangkan Laila. Aku berenang pada posisi terlentang. Karena aku tak ingin Laila merasakan dinginnya air laut lagi.
Sampai di tepian, aku langsung mendudukkannya. Dia terbatuk dan mengeluarkan air laut yang tadi sempat dia telan.
"Kau baik-baik saja?"
"Apa yang kau lakukan?" Laila masih kelihatan lelah. Nafasnya masih terengah.
"Seharusnya aku yang tanyakan itu pada mu. Apa yang kau lakukan? Kau mau bunuh diri? Berfikir lah dengan jernih! Jangan mengambil keputusan yang tergesa-gesa. Kau pikir dengan melompat dari tebing akan menyelesaikan masalah, hah?!" Mungkin aku terlalu terbawa emosi.
Seperti tadi, Laila hanya diam. Dia menunduk. Entah sedang berusaha mengeluarkan sisa air laut di dalam tubuhnya, atau takut karena tadi aku membentaknya. Lama-lama, aku melihat sebuah cairan bening mengalir di pipinya. Ku kira itu air laut. Tapi setelah ku telisik lagi, Laila menangis.
"Laila, dengarkan aku. Kita bisa bicara baik-baik. Kan?" Jemari ku mengusap jejak air mata Laila. Aku jadi tak tega padanya.
"Doni!" Ada yang memanggil ku dari daratan yang lebih luas.
Dia berlari ke arah kami. Seorang wanita. Dia, Mona.
"Apa yang kau lakukan di sini? Aku kan sudah menyuruh mu pulang." Aku berdiri. Sempat ada perselisihan kecil antara aku dan Mona.
Desir ombak di laut semakin besar. Kami bertiga memang berada di tepi. Tapi pasang pun, air laut bisa sampai daratan.
Aku dan Mona melanjutkan perdebatan kami yang sempat terpotong.
"Doni, aku pacar kamu. Kenapa kamu malah lebih peduli padanya sih!" Mona benar-benar sudah tak waras.
"Laila itu teman ku. Aku punya kewajiban untuk melindunginya." Dia membuat ku tenggelam dalam emosi.
Ya, perdebatan ini tak kunjung selesai. Beberapa kali aku membentaknya. Tapi dia tetap tak goyah.
Tanpa ku sadari, hari semakin larut. Air laut yang pasang sudah sampai se lutut. Tapi aku belum tahu, kalau Laila,
"Pulanglah Mona. Aku tak mu berurusan dengan mu lagi." Ku tenangkan diri ku. Tapi yang ku dapat dari Mona, adalah sebuah seringai.
"Apa yang ku tertawakan?"
"Lihatlah! Gadis kesayangan mu itu sudah lenyap!" Senyuman kejam nya terlihat.
Aku menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika ku sadari bahwa Laila lenyap dari pandangan ku.
Tanpa ragu aku berlari dan menyelam. Walau perih, ini semua adalah wujud penyesalan ku. Laila, aku mencintai mu.
Semakin dalam aku menyelam, semakin kabur pandangan ku. Namun tetap ku paksa. Hingga akhirnya ku temukan Laila yang hampir hilang di telan gelapnya lautan.
Kali ini, aku tak menarik tangannya. Ku percepat berenang ku. Hingga bisa ku jatuhkan Laila dalam pelukan ku. Aksi penyelamatan kali ini lebih menegangkan
Ganasnya ombak malam menghanyutkan ku lebih jauh. Aku tak tahu apa yang di lakukan si Mona sialan itu. Tapi dia bahkan tak berteriak histeris. Jadi sudah pasti dia tak peduli sama sekali.
Mati-matian aku melawan ombak laut ini. Telinga ku seakan tuli. Mata ku seakan buta. Laila sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya bahkan sangat sulit untuk di gerakkan. Aku semakin takut.
Beberapa kali aku menabrak karang-karang lautan. Darah, sudah pasti keluar. Tapi aku tak kan rela jika Laila yang terluka. Cukup sudah derita yang ku berikan untuknya. Aku ingin Laila segera sembuh.
Pelukan ku semakin erat. Aku sungguh-sungguh tak ingin berpisah dengannya. Air mata ini terbawa derasnya ombak. Aku yang hanya bisa meringis kesakitan, tak akan pernah menjadi pahlawan.
Jika aku tersesat dalam lautan, Laila tak kan selamat. Jadi aku harus bertahan. Pasang seperti ini tak mungkin ada kapal nelayan. Aku harua berusaha lebih keras jika aku bersungguh-sungguh.
Perih sekali rasanya. Luka ku cukup dalam. Air laut itu mengandung garam. Tak perlu pakai perumpamaan bagai luka yang di taburi air garam. Karena luka ku di aliri oleh air laut.
Aku berusaha keras. Hingga aku pun tak yakin kalau aku masih hidup. Tapi akhirnya, aku berhasil. Kami menepi. Dengan semua luka, aku coba membawa Laila dengan sepeda yang di bawanya.
"Aku, hhah, hhah, akan ku lakukan apa pun, hhah, hhah, hhah, untuk mu Laila." Ku kayuh dengan sisa tenaga yang ku miliki. Ku dudukkan Laila pada pangkuan ku. Posisinya memang sulit, tapi hanya ini yang ku bisa.
Aku membawa Laila ke RS terdekat. Ternyata, tak hanya kami. Di sana banyak korban kecelakaan lalu lintas. Saat aku sampai di depan RS, ku banting sepeda itu. Anggap saja memarkirkan kendaraan sekenanya.
"Dokter, suster, siapa pun, tolong!" Darah ku mengotori lantai. Tapi aku lebih khawatir pada keadaan Laila. Karena separah apa pun luka ku, penyakit Laila lebih berbahaya.
Dengan cepat, para penghuni RS ini bertindak. Laila dan aku di bawa ke ruang UGD. Ranjang kami hanya terpisah oleh tirai berwarna hijau. Sebelum aku di tidurkan di ranjang itu, ku jelaskan sedikit tentang penyakit Laila.
"Dengar pak dokter, pasien ini punya riwayat penyakit hipotermia sejak kecil. Dan dia baru saja masuk ke laut. Ku mohon selamatkan dia." Aku jadi sedikit panik.
"Baik tuan. Tapi tuan juga butuh perawatan."
"Aku tak apa. Gadis ini dalam bahaya."
"Iya tuan, kami tahu. Tapi tuan juga membutuhkan perawatan pada luka-luka tuan."
"Kalau begitu izinkan aku tetap di dekatnya." Pinta ku pada dokter ngeyel ini.
"Baiklah." Dokter ini terlihat sedikit keberatan.
Aku dan Laila di beri alat bantu bernafas. Detak jantung Laila tak stabil. Aku tahu dari alat detektor detak jantung. Aku menangis saat itu juga.
Beberapa saat kemudian, alat bantu bernafas ku boleh di lepas. Laila sudah di bawa ke ruang ICU. Aku tak ikut karena sepertinya aku baik-baik saja. Aku tak tidur, karena aku menolak keras obat tidur yang hendak di suntikkan pada ku. Sekarang, permintaan ke dua ku pada sang dokter.
"Dokter, bagaimana keadaannya?"
"..." dokter itu hanya diam.
"Dokter jawab aku!" Ku cengkeram kerah jas dokter miliknya.
"Pasien, mengalami kritis. Kondisinya jauh dari kata stabil." Dokter itu tak berbohong. Dia kelihatan sedih. Tentu saja, dokter mana yang tak sedih jika gagal. Tapi aku, lebih dari sedih.
"Apa maksud mu?"
"Jantung dan pembuluh darah pasien sempat membeku."
"Hah, kau pikir aku percaya dengan omong kosong mu itu?" Aku membohongi diri ku dengan senyuman pahit.
"Tuan, seorang penderita hipotermia berat, bisa mati karenanya. Jantungnya bisa saja berhenti karena beku. Dan itu adalah kemungkinan terburuk."
"Saat ini, pasien sedang dlam keadaan kritis, karena jantung dan pembuluh darahnya sempat membeku. Kami sudah berusaha se bisa kami. Dalam proses pencairan es di bagian tubuh pasien, akan membutuhkan waktu yang lama." Jelas dokter.
"Jadi, Laila benar-benar dalam keadaan yang buruk?" Aku setengah tak percaya mendengar ucapan ku sendiri.
"Maaf tuan, tapi hanya inilah batasan kami. Selebihnya, kita serahkan pada pasien."
"Eh? Apa maksudnya?"
"Jika pasien mampu bertahan selama proses pencairan es, pasien akan baik-baik saja. Tapi jika pasien tidak sanggup, nyawa taruhannya."
Hari ku semakin hancur mendengarnya. Ini salah ku. Seharusnya waktu itu aku tak lengah. Atau mungkin dari awal, aku tak perlu membuat janji dengannya. Atau seharusnya, aku tak perlu menyukai gadis tak waras bernama Mona itu.
"Sudahlah dokter. Aku tak mau mendengar lebih lagi." Aku putus asa. Seakan dunia ini berhenti berputar. Seolah waktu telah berhenti berjalan. Kepala ku terasa melayang. Dan, semua gelap.
TBC...(masih flashback)
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top