DP 1

Dingin. Air laut begitu dingin. Penyakit ku baru saja kambuh. Kalau begini, bisa semakin parah.

Dunia begitu gelap. Cahaya bulan samar-samar terlihat. Suara kembang api samar-samar terdengar. Semua nya samar. Semakin dalam aku tenggelam. Itu, akan semakin baik.

Bukan kah lebih baik jika aku tidak ada. Karena sudah terlanjur ada, sebaiknya aku enyah sekarang.

Semua yang ku lihat dan kudengar mulai memudar. Rasa nyeri menyerang seluruh tubuh ku. Terutama punggung dan kaki. Aku tak bisa bernafas. Rongga dada ku penuh dengan air. Dan saat perlahan air itu masuk, rasanya sakit sekali.

Ada, sesuatu yang mendekat. Seperti, seorang manusia. Perlahan namun pasti, tangan orang itu menggapai ku. Menjatuhkan ku dalam pelukannya. Dan kami berdua berada di permukaan.

"Aarkh,hhah,hhah." Aku masih sadar. Dalam pelukannya, aku merasakan sesuatu yang tak pernah ku rasakan. Hangat, namun menyakitkan.

"Kita menepi." Dia berenang dengan posisi terlentang. Aku ada di atasnya. Beberapa menit kemudian, kami sampai di tepian.

Karena aku sudah terlalu lama dalam posisi tengkurap, air yang mengisi rongga dada ku mulai keluar melalui hidung dan mulut. Saat aku pada posisi duduk, aku terbatuk mengeluarkan semua sisa air laut yang tertelan.

"Kau baik-baik saja?" Padahal, tadi aku sudah hampir tak mendengar suara ini.

"Apa yang kau lakukan?" Dengan nafas yang masih terengah, ku coba untuk bertanya.

"Seharusnya aku yang tanyakan itu pada mu. Apa yang kau lakukan? Kau mau bunuh diri? Berfikir lah dengan jernih! Jangan mengambil keputusan yang tergesa-gesa. Kau pikir dengan melompat dari tebing akan menyelesaikan masalah, hah?!" Doni sedikit membentak ku.

Aku menangis dalam diam. Di iringi cucuran air laut yang mengalir di pipi ku, air mata ini tak mau berhenti. Hingga, sepertinya Doni menyadarinya.

"Laila, dengarkan aku. Kita bisa bicara baik-baik. Kan?" Jemari Doni mengusap jejak air mata ku.

"Doni!" Ada yang memanggil Doni dari daratan yang lebih luas.

Dia berlari ke arah kami. Seorang wanita. Apa dia, Mona.

"Apa yang kau lakukan di sini? Aku kan sudah menyuruh mu pulang." Doni berdiri. Aku juga ikut berdiri. Sempat ada perselisihan kecil antara mereka.

Semakin larut, laut semakin pasang. Air yang ada di sekitar kaki ku sudah naik se lutut. Lagi-lagi, aku melangkah mundur. Tubuh ku kaku. Berhenti, saat air laut sudah sampai sepinggang.

Aku jatuh begitu saja. Sekarang, tubuh ku terombang-ambing oleh ombak laut. Mungkin begini lebih baik. Akan ku sampai kan pesan untuk mu, Doni, saat fajar, dari laut ini.

~~

Gelap

Hening

Gelap

Hening

Apa tak ada yang lain?

Kosong

Hampa

Di sini begitu sepi

Hanya ada jeritan kesepian

Kenapa

Aku

Ada

Di

Sini

~~

Berisik. Suara gemuruh apa ini. Seperti ada orang banyak. Tapi aku tak melihat siapa pun. Tak ada apa pun.

"Laila? Apa kau sudah sadar?" Siapa? Suara siapa?

"Kalau sakit, tak perlu di paksa." Siapa? Ada apa?

Cairan bening mengalir tanpa ku sadari. Mata ku tertutup. Tapi airnya tak tertahankan. Aku bisa merasakan hembusan nafas yang hangat di telinga ku. Aku bisa mendengar suara lembut yang membantu ku.

Aku di mana? Kenapa begitu sulit hanya untuk mengenal diri ku sendiri? Kenapa begitu sakit? Aku tak dapat melihat apa pun. Aku hanya bisa mendengar. Apa ini, aku buta?

"Bagaimana kondisinya?"

"Pasien baik-baik saja. Dia hanya koma terjaga. Kondisinya stabil." Apa mereka membicarakan ku?

"Terima kasih dok. Saya berhutang banyak pada pak dokter."

"Ah, tidak. Kalau saja pasien terlambat di bawa ke RS, nyawanya tak bisa terselamatkan. Dalam masa kritis yang lalu, proses penyembuhannya termasuk cepat. Beberapa saluran nadi dan arterinya sempat beku. Begitu juga jantungnya. Tapi, kita beruntung pasien masih bisa bertahan."

Aku masih hidup? Kenapa? Kenapa begitu menyakitkan? Saat aku hidup, terasa sakit. Saat mati pun, rasanya sakit.

~~

Different Time : Slice

Aku bersyukur Laila baik-baik saja. Tapi cobaan yang di alaminya terlalu berat. Dan itu, karena aku.

Flashback ON

Di jalanan begitu ramai. Aku dan Mona mencari tempat yang nyaman. Tak begitu ramai, dan juga tak begitu sepi. Aku tak mau jika hanya berduaan.

"Doni, kamu mau nyalain kembang apinya sekarang?" Wajah Mona terlihat lebih manis ketika malam hari. Di kota ini, wajahnya terlihat bersinar. Secerah bulan purnama malam ini.

"Nanti aja. Tunggu yang lain. Biar bareng." Aku menolak tawaran Mona. Aku bahagia. Tapi rasanya, ada yang lupa. Seperti, aku sudah membuat sebuah kesalahan yang ku lakukan dua kali. Tapi apa. Aku tak tahu.

Cdaaarr ... Kembang api pertama yang di luncurkan. Aku tak tahu siapa yang melakukannya. Padahal ini belum ada jam dua belas pas.

"Waah~ Indah!" Suara Mona memekakan telinga ku. Ku pandang wajahnya lekat. Cahaya kembang api membuatnya semakin cantik. Aku diam-diam mencuri pandang darinya yang sedang menatap kembang api.

Kembang api selanjutnya. Mona semakin terlihat mempesona. Semakin dalam pandangan ku terhadap nya, semakin aku melihat sesuatu yang berbeda. Ada, wajah lain. Berbeda, namun sama teduh. Bahkan lebih teduh.

Tidak. Ini bukan wajah yang teduh. Tapi juga, terlihat pucat. Aku yang melihatnya semakin bingung. Ku kerutkan kening ku. Ku perhatikan lebih dekat. Itu, wajah Laila. Laila! Aku ada janji dengannya.

"Doni, mau menyalakan kembang api sekarang?" Laila sedang sakit kan.

"Mona, aku harus pergi." Aku segera mengambil langkah pergi. Tapi Mona memegangi lengan ku.

"Mona lepaskan. Aku harus pergi." Ku coba lepaskan genggamannya.

"Kau mau ke mana?"

"Aku mau pergi. Kau tak perlu tahu." Susah sekali. Untuk melepaskan diri dari seorang gadis pun rasanya sulit sekali.

"Kau pasti mau pergi ke gadis itu kan?! Ya kan?!" Ada apa dengan Mona. Dia menjadi sosok yang berbeda.

"Kenapa?! Kenapa kau lebih memilihnya dari pada aku? Aku pacar mu Doni!" Benar. Mona sangat berbeda.

"Kenapa kau berfikiran begitu?"

"Kau lupa. Kau lupa kan siapa aku?!" Apa maksudnya.

"Aku Mona teman masa kecil mu!" Teman masa kecil? Teman SD.

"Aku suka kamu sejak dulu. Sejak kamu menyelamatkan aku saat itu. Aku pindah sekolah karena aku ingin dekat dengan mu!"

"Tapi, kau malah memilih gadis itu. Siapa, Laila ya? Kenapa sih kau tak pernah berubah?! Apa sih specialnya gadis itu?!" Jadi ini alasannya.

"Apa?! Jadi kamu cuma mau balas dendam?!"

"Tidak! Tapi sebagian ya."

"Cih, dasar *** !!" Aku melepaskan tangan ku paksa. Dan berjalan secepat mungkin. Ke mana lagi, kalau bukan ke pantai itu.

Setelah itu, saat aku sampai di jembatannya ku lihat seorang gadis berdiri dengan headset menempel di telinganya. Aku sudah tahu siapa dia.

"Laila!" Benar. Dia hanya sendiri. Di tempat yang luas seperti ini, dia hanya sendiri. Tak bisa ku bayangkan bagaimana kesepian yang dia rasakan.

Aku berlari mendekat. Dia kelihatan tak sehat. Mungkin, setelah bicara sebentar, aku akan langsung mengajaknya pulang.

TBC...(masih flashback)

~~~

Nb : yg jdulnya DP itu Doni pov ya. Stengahan ma Laila nggak apapa lah ^-^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top