63. Jawaban
“Sebenarnya pikiran bodoh macam apa yang terlintas dalam kepala kecilmu itu?” tanya Ludwig dengan raut wajah berkerut. Tampaknya itu bukan tebakan yang tepat.
“Lalu apa alasannya? Kenapa kau terobsesi untuk membuat Kyle kesepian dan tidak punya teman?” tanya Talia kemudian. “Apa kau sebegitu khawatirnya kalau dia merebut posisimu sebagai pewaris?”
Ludwig mendengkus pelan. “Kau pikir aku peduli soal itu. Aku tidak perlu bertindak sejauh itu kalau hanya tentang hak waris. Tanpa aku melakukan apa-apa, gelar Duke sudah pasti akan menjadi milikku. Aku kan putra pertama, sementara dia hanya anak dari selir,” sahut pemuda itu tanpa banyak berpikir.
“Jadi apa alasannya? Aku tidak mau melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas,” desak Talia pantang menyerah.
Kyle kembali menarik napas panjang. “Dia orang yang berbahaya,” jawabnya pendek.
Talia benar-benar tidak habis pikir. Atas dasar apa seorang Ludwig Gothe mengklaim kalau adiknya sendiri berbahaya. “Kau juga berbahaya. Tapi aku tetap bergaul denganmu. Sejak awal aku penasaran alasanmu memilihku untuk mengikuti perkumpulan. Aku sudah bersusah payah menghindari seluruh keturunan Gothe, termasuk kau dan Kyle. Tapi kalian berdua yang selalu membuatku berada dalam masalah,” protes Talia kemudian.
Ludwig hanya tersenyum simpul. “Itu karena kau terus memata-mataiku di perpustakaan. Kupikir kau tertarik padaku,” sahutnya ringan.
“Kepalamu berisi hal-hal yang tidak masuk akal,” balas Talia sarkastik.
“Memang hanya itu alasanku.” Ludwig menjawab sembari mengangkat bahu.
Talia berdecak pelan. Tidak ada gunanya bicara dengan orang ini. Ia tidak pernah memberi jawaban yang memuaskan.
“Kupikir dulu kau dekat dengan Kyle. Kenapa mendadak menjadi begitu membencinya?” tanya Talia kemudian.
“Apa dia berkata seperti itu?”
“Begitulah yang kudengar.”
Ludwig menatap langit-langit kamarnya seolah sedang mengenang memori masa lalu yang menyakitkan. “Kekuatan gelap ayah menurun pada Kyle. Ia tidak akan bisa bertahan dari kekuatan itu jika memiliki jiwa yang lemah. Kegelapan bisa memangsanya,” ujar pemuda itu nanar.
“Lantas apa hubungannya dengan kau yang selalu mencoba menjauhkan Kyle dari teman-temannya? Kau takut kami terluka? Kyle bukan orang yang seperti itu. Dan jauh lebih aneh lagi membayangkanmu peduli pada orang lain.”
Dengan lirikan tajam Ludwig menatap Talia. “Kau pikir aku ini orang yang seperti apa?” ujarnya tak percaya.
Talia hanya mengangkat alisnya sembari menyahut. “Tidak ada orang normal yang mengirim monster puma bertentakel untuk menyerang seorang anak tingkat pertama.”
Ludwig menghela napas pelan. “Aku tidak sedang berusaha membunuh siapa pun. Kalau kau ingin berteman dengan adikku, setidaknya kau harus bisa mengalahkan monster lemah semacam itu. Lebih dari itu, Kyle harus bisa menghadapi kegelapannya. Semakin banyak ia berinteraksi dengan orang lain, semakin rapuh jiwanya. Ia akan mulai bergantung pada teman-temannya, lalu jika seseorang mengkhianatinya, maka ia bisa tenggelam dalam emosinya. Itu akan membuat kegelapan menelannya,” terang pemuda itu panjang lebar.
Talia tertegun sejenak. Akhirnya ia mendapat jawaban dari benang merah yang kemarin ia pikirkan. Ludwig memang peduli pada Kyle. Meskipun kepeduliannya ditunjukkan dengan cara yang aneh.
“Tidak ada yang bisa dipercayai di dunia ini. Sebagai pemilik kekuatan gelap, Kyle harus bisa bertahan dengan mempercayai dirinya sendiri,” lanjut Ludwig menutup penjelasannya.
Talia masih terdiam. Semua teka-tekinya seolah terjawab. Kata-kata Ludwig memang benar. Pada satu titik, ketika Kyle mengalami emosi yang begitu kuat, kegelapan menguasai pemuda itu. Talia sudah melihatnya sendiri ketika berada di masa depan Kyle. Apakah karena itu Ludwig selalu membuat Kyle tidak memiliki teman? Apakah cara itu memang benar? Betapa kesepiannya hidup seseorang jika ia tidak memiliki siapa pun sebagai tempat bersandar?
“Rupanya kau memang sangat mempedulikan adikmu. Tapi kurasa caramu itu tidak benar, Ludwig. Tidak seharusnya kau membuat Kyle menderita hanya karena ia memiliki kekuatan kegelapan. Dia juga manusia, sama sepertimu. Kyle punya hak untuk menikmati hidupnya bersama orang lain,” timpal Talia tajam.
“Lalu bagaimana kalau orang itu justru mengkhianatinya? Tidak ada hubungan yang bertahan selamanya, Ortega. Baik itu pertemanan, atau bahkan keluarga. Kekuatan Kyle begitu besar hingga ia mungkin bisa menghancurkan seluruh kerajaan ini. Itu adalah takdirnya, untuk hidup sendirian,” tandas Ludwig serius.
“Bagaimana kalau orang itu tidak mengkhianati Kyle? Bisa saja dia memiliki teman yang tulus. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk membuatnya terluka,” sahut Talia keras kepala.
Ludwig mendengkus sembari tersenyum simpul. “Bukan hanya pengkhianatan yang menyakitkan. Rasa kehilangan jauh lebih berbahaya. Mungkin kematian.”
Talia kembali kehilangan kata-kata. Ludwig menebak dengan benar. Di kehidupan yang sebelumnya, kematian Talia telah membuat Kyle kehilangan kewarasannya. Ia dikendalikan oleh kegelapan hingga menghancurkan kerajaan. Haruskah ia menuruti permintaan Ludwig untuk menjauhi Kyle? Talia benar-benar lelah memikirkan hal tersebut. Sejak awal, kenapa ia harus berurusan dengan keluarga rumit ini. Gadis itu hanya bisa mendesah pelan tanpa bicara apa-apa lagi.
Akhirnya Talia pun dikirim kembali ke kamarnya menggunakan Kristal teleportasi dari Ludwig. Kepalanya berat karena memikirkan hal-hal di luar jangkauannya. Karena itu, begitu merebah di ranjangnya, Talia pun langsung terlelap.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan lambat. Sejak pertemuanya dengan Ludwig, Talia tanpa sadar menjadi menjaga jarak dengan Kyle. Ia tidak lagi banyak megobrol dengan Kyle dan hanya bicara seperlunya. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menghindari Kyle dengan berbagai upaya.
Terkadang ia kabur bersama Susan untuk makan berdua saja di asrama, atau pergi mengunjungi rumah kaca untuk membantu Profesor Debora, Kepala Perawatan Kebun, memanen mandrake yang sudah dewasa. Teriakan-teriakan mandrake itu anehnya membuat Talia merasa tenang. Setidaknya kepalanya menjadi sibuk dengan suara-suara melengking itu hingga tidak sempat memikirkan apa pun.
“Apa kau sedang ada masalah dengan Kyle?” tanya Susan suatu ketika. Mereka sudah separuh jalan menuju Akademi setelah sepanjang siang mencabuti mandrake yang berlumur tanah. Jubah seragam Talia pun kotor karena lumpur. Namun gadis itu bisa membersihkan seluruh tubuhnya dengan memanggil Undine.
“Entahlah, Susan. Aku sedang sulit memutuskan sesuatu. Apa yang harus kau lakukan jika mengetahui bahwa dirimu akan berpengaruh buruk pada temanmu? Apa kau tetap akan berhubungan dengannya?” tanya Talia terus terang. Sepertinya Susan menggunakan sihir manipulasinya karena Talia menjadi begitu enteng membahas hal tersebut.
“Apa itu yang terjadi padamu dan Kyle? Kenapa kau merasa kalau kau membawa pengaruh buruk? Itu mungkin hanya pikiranmu saja. Sebagai teman, tentu saja aku akan mencoba memberikan yang terbaik untuk sahabatku. Aku akan membuatnya menjadi lebih baik setelah berteman denganku. Itu adalah hal yang bisa diupayakan,” jawab Susan penuh keyakinan.
“Tapi tidak selamanya kita bisa berteman. Suatu ketika kita mungkin akan berpisah. Entah karena keadaan atau bahkan mungkin kematian,” ujar Talia muram.
Susan segera menghentikan langkahnya dan segera berdiri di hadapan Talia dengan sorot mata yang tegas. “Itu manusiawi jika kau merasa sedih ketika kehilangan teman. Tapi bukan berarti kau harus berhenti untuk mencari teman, Talia. Yang harus kau ajarkan pada temanmu adalah pemahaman bahwa hidup ini akan terus berputar. Pertemuan dan perpisahan adalah hal yang wajar terjadi. Jadi kau harus memastikan kalau dirimu, atau siapa pun temanmu nanti, menikmati waktu-waktu ini hingga tiba saatnya kita akan berpisah. Entah karena alasan apa pun.”
Talia tertegun sejenak. Sepertinya nasehat Susan ini adalah jawaban yang ia cari-cari. Terlalu banyak kekhawatiran justru membuatnya hanya bergerak di tempat. Talia tahu sekarang, bahwa untuk melindungi Kyle, ia tidak harus membuat pemuda itu kesepian. Alih-alih, Talia harus membuat Kyle memahami emosinya hingga jiwanya tak tergoyahkan lagi akibat kejadian-kejadian yang menyakitkan.
“Terima kasih, Susan. Kau benar-benar telah membuatku menemukan jawabannya,” gumam Talia dengan seulas senyum yang lembut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top