52. Ruang Kesehatan
Esok paginya Talia terserang flu. Ia bangun dengan badan panas dan hidung meler yang mengganggu. “Ini semua gara-gara manusia gila itu,” rutuknya sembari menghangatkan air mandinya dengan bantuan smoke.
Talia lantas berendam sejenak di dalam bak berisi air yang hangat-hangat kuku. Tubuhnya terasa lemas dan pusing. Meski begitu ia memutuskan untuk tetap berangkat sekolah. Toh walaupun ia tetap berada di asrama, tidak akan ada yang merawatnya. Mungkin demamnya justru akan semakin parah kalau ia terlalu banyak tidur. Entah datang dari mana gagasan itu.
Susan langsung menyadari kondisi Talia saat keduanya bertemu di ruang rekreasi asrama mereka. Talia dan Susan memang selalu berangkat ke Akademi bersama-sama. Mereka harus datang lebih pagi agar bisa mendapat tempat untuk sarapan sebelum pelajaran dimulai.
“Talia, kau sakit! Wajahmu pucat sekali. Kenapa tidak beristirahat di kamar saja?” tanya Susan tampak cemas.
Talia menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Susan. Lagipula kalau aku tetap berada di asrama, mungkin keadaanku akan lebih parah. Sebaiknya aku banyak bergerak agar cepat membaik,” jawab gadis itu lantas mulai bersin-bersin.
Susan mengernyit gelisah melihat sahabatnya menderita seperti itu. “Siapa yang bilang kalau banyak bergerak bisa menyembuhkan flu?” tanyanya kemudian.
“Hah?” Talia balas bertanya dengan wajah bingung. Ia mengusap wajahnya dengan salah satu sapu tangan yang sudah dia sediakan banyak-banyak di dalam ranselnya.
“Sudahlah. Ayo kita berangkat saja. Kalau tetap di asrama mungkin justru tidak ada yang merawatmu. Sebaiknya kita ke ruang kesehatan saja,” ajak Susan kemudian.
Talia menolak ketika Susan mencoba menyeretnya ke ruang kesehatan. Karena kekeraskepalaan Talia itu, mereka berdua pun berakhir dengan duduk di ruang makan untuk menyantap sarapan. Talia masih bersin-bersin dan mulai menggigil kedinginan ketika Kyle dan Leo muncul dan duduk bersama mereka.
Susan masih belum terbiasa dengan dua orang anak laki-laki yang tiba-tiba bergabung dengan mereka. Ia menatap kedua anak itu dengan pandangan tidak suka, tanpa berkata apa-apa. Meski begitu, Talia justru lebih terbiasa dengan kehadiran Kyle. Rasanya seperti kembali ke masa lalu saat mereka berempat bersahabat dengan akrab.
“Kau sakit?” tanya Kyle menatap Talia dengan cemas.
Talia melambaikan tangannya sambil lalu sembari mengusap hidungnya lagi. “Hanya sedikit tidak enak badan,” jawabnya lalu mulai menyantap sup labunya lagi. Sup hangat tersebut benar-benar membantu meredakan pilek Talia.
“Separah itu kau bilang sedikit? Setelah ini pergilah ke ruang kesehatan,” sergah Kyle terdengar memaksa.
“Kenapa? Aku baik-baik saja, sungguh,” sahut Talia memaksakan diri.
“Jangan rewel dan menurut saja,” sahut Kyle tak terbantahkan.
“Aku sudah bilang padanya untuk pergi ke ruang kesehatan. Tapi anak ini benar-benar keras kepala,” timpal Susan berkomentar.
Talia menoleh ke arah Susan yang untuk pertama kalinya mau membuka mulut untuk berbicara dengan Kyle. Tampaknya sahabatnya itu sudah mulai membuka hatinya pada Kyle dan Leo. Namun Kyle justru menghela napas setelah mendengar kata-kata Susan. Pemuda itu kembali menatap Talia dengan alis berkerut.
“Aku mengatakan ini bukan untukmu, Talia. Kau juga harus memikirkan orang-orang disekitarmu. Bagaimana kalau penyakitmu menulari orang lain? Setidaknya kau harus bisa merawat dirimu sendiri agar tidak merugikan siapa pun,” kata Kyle berubah serius.
Talia tertegun sejenak. Ia tidak bisa melawan kata-kata Kyle tersebut. Semua yang diucapkan Kyle tepat mengenai sasaran dan membuat Talia pun akhirnya menyerah.
“Baiklah,” desahnya kalah telak.
Seusai sarapan, akhirnya Kyle-lah yang diputuskan untuk mengantar Talia ke ruang kesehatan. Susan harus datang ke kelas pertamanya pagi itu karena ada pelajaran praktek penting yang tidak bisa dilewatkan. Sementara Leo belum terlalu dekat dengan Talia.
Alhasil Kyle yang kemudian bersukarela untuk membawa Talia ke ruang kesehatan. Sekalipun Talia sudah berkali-kali mengatakan kalau dia bisa pergi sendiri, tetapi Kyle tetap bersikeras. Keduanya pun berjalan bersama diiringi suara bersin dan pilek Talia.
Sesampainya di tempat yang dituju, sang petugas kesehatan pun buru-buru membuka satu bilik untuk Talia berisitirahat. Petugas wanita itu pun memberinya beberapa ramuan dalam ampul-ampul kecil yang berwarna kuning dan hijau. Talia segera menenggaknya lantas berbaring.
“Kau tidak kembali ke kelas, Kyle?” tanya Talia ketika melihat Kyle justru duduk di sebelah ranjangnya.
“Aku akan menjagamu,” jawab Kyle justru melipat tangan dan menatap Talia lekat-lekat.
Talia menghela napas dengan mulutnya. “Aku sudah dijaga oleh petugas kesehatan. Aku juga sudah minum obat, Kyle. Mungkin sebentar lagi aku akan tidur karena efek obat. Sebaiknya kau kembali ke kelas sebelum terlambat,” bujuk gadis itu tak bertenaga.
Kyle tampak sedang mempertimbangkan usulan tersebut. Ia akhirnya membuat keputusan setelah berpikir selama beberapa saat. “Baiklah kalau begitu. Aku akan datang saat jam makan siang,” kata pemuda itu sembari bangkit berdiri.
Talia hanya mengangguk pelan. Tubuhnya sudah sangat mengantuk. Sepertinya efek ramuan yang dia minum tadi sudah mulai bekerja. Gadis itu pun terlelap begitu Kyle meninggalkannya.
Talia tidur dengan lelap. Ia tidak bermimpi apa-apa. Hanya saja, di antara keadaan sadar dan tidak, ia merasa ada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Orang itu meletakkan tangannya yang lembut ke dahi Talia. Sentuhan tangan itu terasa sangat nyaman. Talia nyaris terlelap lagi. Namun ia terlalu penasaran pada orang tersebut.
Gadis itu pun mencoba melawan rasa kantuk dan mulai membuka matanya perlahan-lahan. Sosok di sebelahnya mulai terlihat. Wajahnya seperti seseorang yang dia kenal. Talia mencoba mengerjap beberapa kali.
“Lud … wig?” gumamnya pelan.
Pemuda itu mengusap kening Talia dengan lembut lantas meletakkan tangannya yang besar untuk menutup mata gadis itu. “Tidurlah lagi,” ujarnya.
Bak terhipnotis, Talia pun kembali terlelap begitu saja.
Talia baru benar-benar terbangun ketika Susan muncul saat jam makan siang. Disusul Kyle dan Leo yang datang tak lama sesudahnya. Mereka membawa beberapa makanan untuk dimakan bersama di ruang kesehatan. Talia mendapat makan siang yang diantar ke kamarnya. Semangkuk sup jamur dan bubur hangat.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Susan sembari duduk di sebelah Talia. Sahabatnya itu lantas memegang kening Talia untuk mengecek suhu. “Demamnya sudah turun,” lanjutnya memberi info.
Talia mengangguk pelan. Kini ia sudah duduk di atas ranjang dengan sebuah bantal mengganjal punggungnya. Susan lantas mengambil bubur milik Talia dan mulai menyuapi Talia untuk makan siang.
“Tetaplah di sini sampai benar-benar sembuh,” timpal Kyle.
“Baiklah,” ucap Talia lemas karena baru bangun tidur.
“Apa ini?” celetuk Leo tiba-tiba sembari mengangkat sebuah perkamen kecil yang ditinggalkan di atas meja sebelah ranjang Talia.
Gadis itu menoleh dan mendapati ekspresi Kyle yang berubah marah setelah membaca perkamen di tangan Leo. Ia pun mengulurkan tangan untuk meminta perkamen tersebut dari Leo.
Aku meninggalkan beberapa ramuan vitalitas untukmu. Minumlah setiap hari agar tubuhmu tidak mejadi selemah ini. Kita hanya menghirup udara malam sebentar tapi kau langsung terkena flu. Tubuhmu perlu banyak dilatih.
Tulis surat tersebut. Tidak ada nama pengirim yang tertera di perkamen itu. Namun Talia langsung tahu siapa yang sudah mengirimkannya. Gadis itu kembali menoleh ke atas mejanya dan mendapati sebuah wadah kayu berisi enam ampul berwarna ungu. Kyle mengambil salah satu ampul tersebut latas bergumam kesal.
“Ramuan ini hanya diproduksi untuk keluarga Gothe,” ujarnya gusar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top