50. Sumpah Sihir

Kyle rupanya bersungguh-sungguh atas ucapannya di perpustakaan. Selepas mereka menerima hukuman keluar kelas, Kyle terus-terusan mengekor Talia kemana pun gadis itu pergi. Bahkan saat jam makan malam di ruang makan, dengan santainya Kyle duduk di hadapan Talia yang saat itu sedang berbincang dengan Susan. Sontak kedua gadis itu terpaku melihat Kyle yang tanpa rasa canggung duduk bersama mereka.

Ekspresi serupa ditunjukkan oleh Leo yang mengernyit bingung karena sahabatnya yang terkenal penyendiri kini duduk di depan dua gadis asing. Meski begitu Leo tetap mengikuti Kyle dan duduk di sebelahnya.

Susan menyikut lengan Talia sembari masih menatap heran ke arah Kyle. Talia hanya mengangkat bahu untuk menanggapi. Ia sama bingungnya dengan Susan maupun Leo. Tingkah laku Kyle benar-benar tidak bisa ditebak.

“Mmm … sejak kapan kalian berteman?” ujar Leo membuka percakapan.

“Kami tidak berteman. Dia ada di bawah pengawasanku karena suatu hal,” sahut Kyle tanpa menatap Talia sama sekali. Ia justru fokus memilih makanan yang akan dia taruh di piringnya sendiri.

Talia hanya mendengkus pelan dan berusaha untuk tidak peduli.

“Oh …  begitu. Aku tidak tahu apa masalah kalian, tapi sejak Kyle memutuskan untuk duduk di sini, tidak ada salahnya kita bergaul dengan akrab. Aku Dean Leopold. Panggil saja Leo,” kata Leo mencoba mencairkan suasana. Leo memang tidak berubah. Ia tetap ceria apa pun situasinya.

“Tunggu dulu, sepertinya kita pernah bertemu, Nona,” lanjut Leo sembari mengamati Talia.

Jantung Talia rasanya seperti akan berhenti. Apa Leo mengingat kehidupan masa lalu mereka?

“Kau gadis yang menabrak Kyle saat upacara penerimaan siswa baru.” Leo mencoba mengonfirmasi.

Talia mendesah lega. Rupanya itu adalah saat yang diingat Leo. Dengan senyum masam, Talia membalas ucapan Leo tersebut. Leo mengangguk-angguk puas kaerna ingatannya yang tajam. Pemuda itu lantas menoleh ke arah Susan yang masih tercengang-cengang.

“Dan kau, siswi yang tak kalah terkenal. Senang akhirnya bisa mengobrol denganmu, Lady Muela. Semoga kita tidak perlu berbicara empat mata setelah ini.” Leo berkelakar sembari menatap Susan.

Sayangnya candaan Leo tidak ditanggapi dengan positif oleh Susan. Alih-alih gadis itu justru menatap sinis pada Leo. “Tidak semua orang cukup penting untuk bicara empat mata denganku,” sahutnya ketus.

Talia tersenyum kecut. Mungkin sekarang Leo memang bukan siapa-siapa bagi Susan. Namun beberapa hari lagi insiden Dirlagraun akan menimpa pemuda itu. Saat itu Susan mungkin akan mengejar berita mengenai Leo secara gila-gilaan.

Ingatan itu membuat selera makan Talia lenyap. Haruskah ia menjadi dekat dengan Leo sekarang? Rasanya berat jika harus kembali menyaksikan Leo yang terluka parah akibat serangan Dirlagraun.

“Kenapa kau tidak makan? Kau tidak suka aku berada di sini?” Kyle tiba-tiba bicara pada Talia sembari mengetuk-ketukkan sendoknya di piring gadis itu.

Talia mengernyit sebal. “Selera makanku hilang gara-gara seseorang.” Ketus, gadis itu menjawab.

Kyle mendengkus pelan. “Sebaiknya kau membiasakan diri, karena aku sama sekali tidak berniat untuk berhenti mengawasimu.”

“Dasar konyol.”

Selama sisa makan malam yang canggung itu, keempat anak tersebut tidak lagi banyak bicara. Mereka baru bertemu hari itu dan tidak tahu harus membiacarakan apa. Suasana juga tidak kondusif karena sejak awal kedatangan Kyle tidaklah dalam niat baik. Belum lagi candaan Leo yang menyinggung Susan pada pertemuan pertama mereka.

Talia rasanya tidak bisa mencerna makan malamnya dengan baik. Ia hanya ingin segera kembali ke asaramanya dan beristirahat. Ada banyak alasan yang membuatnya sangat lelah hari ini. Salah satunya adalah sikap Kyle yang tidak bisa diprediksi.

Meski dalam hati ia juga ingin mereka berempat berteman seperti dulu, tetapi bayangan Ludwig yang akan membunuhnya terus menghantui Talia.

Tapi bukankah orang itu sudah bersumpah akan menjagaku sebagai penyihir senior? Sumpah dari perkumpulan. pikir Talia dalam hati.

“Sebenarnya seberapa kuat sumpah itu mengikat para anggota?” Tanpa sadar Talia membisikkan pikirannya.

“Apa kau membicarakan perkumpulan?” Tiba-tiba Kyle menimpali.

Kedua teman mereka yang lain, Susan dan Leo pun buru-buru menguping dengan antusias. Menurut insting mereka berdua, drama prahara akan segera dimulai.

“Ke, kenapa kau menguping orang lain,” protes Talia setengah terkejut. Ia tak menyangka kalau mulutnya sudah mengkhianatinya. Kenapa ia harus mengucapkan apa yang dia pikirkan?

“Aku tidak menguping. Jelas-jelas kau bergumam sendiri,” sahut Kyle tak terima.

“Itu adalah gumaman untuk diri sendiri. Kau tidak perlu ikut campur.”

Kyle mendengkus lagi. “Sekarang kau sudah mengakui kalau kau adalah anggo … .”

Kata-kata Kyle terputus karena Talia buru-buru menutup mulut pemuda itu dengan kedua tangannya. Ia tidak boleh ketahuan oleh siapa pun kalau sudah menjadi anggota Perkumpulan Taleodore. Sama sekali tidak boleh ketahuan, terutama oleh Susan, sang penggiat berita yang gemar berburu gosip.

“Ki, kita bicara di tempat lain,” kata Talia sembari berkedip-kedip salah tingkah.

Sementara itu Kyle justru membeku karena sentuhan mendadak Talia ke wajahnya. Ia hanya terbelalak tanpa bisa berkata-kata. Menyadari kesalahannya, Talia segera menarik tangannya lagi, lantas menyeret Kyle pergi dari ruang makan.

“Apa kau gila? Kenapa kau membahas hal itu di meja makan?” omel Talia setelah mereka berdua sudah berada di koridor sepi.

“Memangnya kenapa? Kau sendiri yang mulai membicarakannya. Kupikir temanmu tahu kalau kau adalah anggota perkumpulan,” kilah Kyle tidak ingin disalahkan.

“Haaa … sudahlah. Memang sulit bicara dengan orang yang keras kepala sepertimu. Pokoknya lain kali jangan membahas masalah ini di tempat umum,” perintah Talia tegas.

“Jadi aku boleh membicarakannya kalau hanya ada kita berdua?”

Rasanya jantung Talia seperti akan berhenti berdetak. Kata-kata Kyle meluncur begitu saja sembari menatap Talia dengan begitu dalam.

“Apa yang kau bicarakan, dasar gila.” Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Talia.

Kyle tampaknya juga baru menyadari kalau kata-katanya sangat absurd. Pemuda itu pun segera membuang muka dan membungkam mulutnya dengan satu tangan. Sekilas Talia bisa melihat telinga Kyle yang memerah di bawah cahaya temaram koridor tersebut.

“Maksudku … kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang sumpah itu?” Kyle lantas berusaha mengubah topik pembicaraan.

Talia menghela napas pelan setelah kembali mengingat pikirannya tadi. “Yah, aku hanya penasaran, sumpah antara senior dan junior itu apakah memang harus dipatuhi? Seberapa kuat ikatan sumpah itu?” tanyanya setelah memutuskan untuk berdiskusi dengan Kyle. Biar bagaimanapun, saat ini hanya Kyle satu-satunya orang yang bisa dia ajak untuk membahas mengenai Perkumpulan.

“Sumpah itu adalah sumpah sihir yang akan berlaku selama kita menjadi siswa di Akademi. Sumpah sihir memiliki kekuatan mengikat yang sangat besar. Itu seperti kita menjaminkan kemampuan kita pada sumpah yang sudah diucapkan. Artinya, jika seseorang melanggar sumpah tersebut, kekuatannya akan dikunci selama masa berlaku sumpah itu,” terang Kyle panjang lebar.

“Di … kunci? Jadi kalau misalnya ada yang melanggar, dia akan kehilangan kemampuan sihirnya selama ada di Akademi?” tanya Talia memastikan.

Kyle mengangguk. “Kalau kau melanggar, kau akan berubah menjadi seperti manusia biasa selama tiga tahun.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top