44. Token Sihir

Talia tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya setelah mendapat surat misterius dari Perkumpulan Taleodore. Sepanjang hari ia terus mengawasi sekitarnya, menunggu petanda sekecil apa pun yang mungkin dikirimkan oleh anggota Taleodore untuknya.

“Ada apa denganmu?” Sekonyong-konyong Kyle mengajaknya bicara saat kelas Profesor Li sedang berlangsung.

Talia berpura-pura tidak mendengar dan kembali fokus pada sang profesor yang sedang menjelaskan tentang dasar-dasar elemen sihir.

Siku Kyle menyenggol lengan Talia yang sedang bertopang dagu. Sontak kepala gadis itu meluncur jatuh dan nyaris membentur meja. Talia menoleh dengan kesal dan menatap Kyle seperti melihat serangga pengganggu. Sayangnya ekspresi itu tidak bisa bertahan lama karena begitu melihat wajah Kyle, hati Talia kembali melembut.

“Kenapa?” desis Talia berusaha seketus mungkin.

“Kau yang kenapa. Tingkahmu tidak seperti biasa,” bisik Kyle sambil mendekatkan wajahnya.

Talia berdecak kesal lalu berusaha menjauh. “Tidak ada apa-apa. Lagipula apa pedulimu?” protes Talia sembari membuang muka. Ia harus menepis keinginan untuk kembali dekat dengan Kyle. Meski begitu Talia tidak menyangka kalau Kyle masih memperhatikannya walaupun mereka tidak berteman lagi.

“Kau pikir aku suka memperhatikanmu? Ini karena sihir yang kau tanamkan padaku. Sekarang pikiranku entah kenapa selalu mengarah padamu dan perhatianku juga tertuju padamu,” desah Kyle terdengar menyedihkan.

Talia menoleh lagi ke arah Kyle. Ucapan pemuda itu sukses membuat hati berdebar-debar. Padahal Kyle bukan bermaksud menyatakan perasaan, tetapi kata-katanya jelas terdengar seperti itu.

“Ka, Kau … .” Talia tergagap kehilangan kata-kata. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak tak beraturan. Kyle benar-benar sudah membuatnya gugup. “Berhenti bicara omong kosong. Dasar aneh,” kata Talia dengan wajah bersemu merah.

“Kenapa kau menjadi gugup? Itu karena kau memang sudah melakukan sesuatu padaku,” desak Kyle keras kepala.

Talia menghela napas tak sabar. “Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa padamu, Kyle. Satu-satunya yang kulakukan adalah tidak mempedulikanmu,” protes Talia.

Mata Kyle tiba-tiba membulat dan sekilas terlihat seperti sedang berbinar kegirangan. “Kau memanggilku apa?” tanyanya sambil menahan senyuman.

Kali ini Talia benar-benar kehilangan kata-kata. Gadis itu tertegun sejenak lantas menyadari kesalahannya. Setelah merutuk dalam hati ia pun kembali pada mode tak acuhnya, berpura-pura fokus pada pelajaran.

Kyle terus berusaha menarik perhatiannya dengan sengaja. Akan tetapi Talia sama sekali tidak peduli. Ia berusaha menjadi setenang mentimun.

Jam makan siang tiba tanpa terasa. Talia mendesah lega karena akhirnya ia tidak perlu menghadapi Kyle yang terus merongrongnya. Meski begitu Talia kini mulai gelisah karena ia belum juga mendapat pertanda dari Taleodore. Ia juga tidak bisa membicarakan hal itu dengan Susan atau siapa pun mengingat surat tersebut bersifat rahasia.

Talia jadi bertanya-tanya apa jangan-jangan surat undangan tersebut hanya ulah iseng seseorang padanya. Tapi siapa anak yang memiliki niat sebesar itu sampai harus masuk ke kamarnya dan meninggalkan surat sihir yang bisa terbakar setelah dibaca? Rasanya tidak masuk akal. Talia juga tidak memiliki musuh di sekolah menginat ia juga adalah anak baru.

“Kenapa kau terlihat gelisah? Pagi tadi sepertinya suasana hatimu bagus,” tanya Susan yang duduk di sebelahnya saat makan siang.

Talia menggeleng pelan. “Bukan apa-apa. Hanya pelajaran Profesor Li yang sedikit membingungkan,” kilahnya berbohong.

“Sepertinya kau benar-benar mengalami masa sulit dalam pelajaran sihir,” komentar Susan prihatin. “Apa ada yang bisa kubantu? Aku masih punya catatan saat tingkat pertama dulu. Mungkin kau bisa menggunakannya … .”

Talia menggeleng pelan dan berusaha menolak dengan halus. Faktanya Talia sebenarnya sudah menguasai seluruh pelajaran dasar sihir.

“Tidak perlu, Susan. Aku masih bisa mengikutinya, meski sedikit berat,” tolaknya sopan.

Susan menarik napas panjang lalu kembali mencacah salad sayurnya dengan garpu. “Kalau saja kau bisa ikut Perkumpulan Taleodore, kau pasti bisa meningkatkan kemampuanmu dengan cepat,” keluh Susan sembari menghela napas.

“Ngomong-ngomong, apa kau tahu kalau kabarnya minggu ini Perkumpulan itu sudah mulai merekrut anggota. Menurut sumber yang bisa dipercaya, katanya mereka akan mengadakan seleksi saat malam purnama di hutan terlarang. Kau harus membawa token pengenal yang dikirmkan ke anak-anak terpilih,” lanjut Susan sambil berbisik.

Talia mengerutkan keningnya. “Darimana kau tahu tentang itu?” tanyanya curiga.

Susan hanya mengangkat bahu. “Yah, aku kan anggota Klub Surat Kabar. Kami punya cara untuk mengumpulkan informasi paling rahasia sekalipun,” sahutnya ringan.

Talia tidak bertanya lagi, khawatir kalau Susan justru mencurigainya. Ia juga tidak yakin kalau Susan mengatakan alasannya dengan jujur. Apa selama ini Susan adalah anggota Perkumpulan Taleodore?

Akan tetapi, mengingat bagaimana di kehidupan sebelumnya Susan selalu menempel padanya, bahkan tidur di kamarnya, membuat Talia segera membuang jauh-jauh pemikiran tersebut. Mustahil ia tidak tahu kalau Susan bersikap mencurigakan. Talia pasti tahu kalau Susan adalah anggota perkumpulan rahasia di Akademi itu.

Meski begitu, saat kembali ke asrama pada malam harinya, Talia kembali mendapat kejutan kecil di meja belajarnya. Sebuah surat lagi dengan segel yang sama seperti sebelumnya: tiga simbol departemen sihir di akademi.

Pelan-pelan Talia membuka surat tersebut. Sebuah bros kecil berbentuk kelinci tersimpan rapi dalam amplop. Talia mengeluarkan bros berwarna emas itu dan melihat sebuah permata delima menghiasi mata kelinci tersebut.

“Apa ini token yang dimaksud Susan? Bagaimana dia bisa tahu tentang ritual ini?” gumam Talia sembari mengamati bros kecilnya.

“Dan kenapa kelinci? Apa maksudnya?” gumamnya lagi sembari berpikir.

Mendadak amplop tempat bros itu tersimpan kembali terbakar dengan sendirinya. Talia sedikit terkejut, tetapi segera melemparnya ke luar jendela. Tak lama kemudian amplop itu sudah berubah menjadi abu sebelum sempat menyentuh tanah. Kini Talia hanya memiliki bros kelinci emas bermata batu delima merah jambu.

“Besok adalah waktu yang sudah ditentukan. Sebaiknya aku menyimpan ini dan mengikuti saran Susan,” ucap Talia sembari mengambil sebuah kotak kayu kecil dari laci meja belajarnya. Talia menyimpan bros itu baik-baik.

Dalam kotak tersebut, Talia juga menyimpan Kristal merahnya yang sudah berubah hitam. Kini di liontin Talia hanya tinggal menggantung satu Kristal biru yang beguna untuk menghilangkan diri. Talia bersyukur karena Kristal itu bisa tetap bersamanya saat ia harus mengulang waktu. Talia yakin kalau benda ini akan berguna nantinya.

Setelah mempersiapkan semuanya untuk besok, Talia pun mengganti jubah seragamnya menjadi baju tidur. Hari itu tidak semelelahkan biasanya. Talia justru merasa lebih hidup dari sebelumnya. Kini ia bisa bersentuhan dengan orang lain secara bebas. Ia bisa merangkulkan tangannya ke lengan Susan dengan leluasa, seperti sahabat-sahabat pada umumnya. Talia juga tidak perlu khawatir jika tanpa sengaja bersenggolan dengan orang lain. Lebih dari itu, Talia bersyukur karena dia tidak perlu menjadi target Ludwig lagi seperti sebelumnya. Setidaknya begitulah menurut Talia. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top