42. Janji

Esok paginya, Talia berangkat ke Akademi seperti biasa. Ia sarapan bersama Susan dan berusaha sekeras mungkin untuk menghindari Kyle. Sayangnya mereka tetap harus bertemu karena Kyle duduk di sebelahnya selama kelas berlangsung. Talia sama sekali tidak mencoba mengajak Kyle untuk mengobrol. Alih-alih gadis itu sama sekali tidak menghiraukan Kye sedikit pun.

Kyle juga tidak berusaha untuk mengajak bicara Talia. Meski begitu, jelas sekali Kyle tengah memperhatikannya. Sepanjang pelajaran, Talia beberapa kali menangkap basah Kyle menatapnya begitu intens. Rasanya wajah Talia bisa berlubang jika Kyle terus-terusan melihatnya seperti itu.

"Apa masalahmu?" celetuk Talia setelah pelajaran keempat selesai.

Kyle mengangkat bahu dengan santai. "Tidak ada. Memangnya kenapa?" ujarnya balas bertanya.

"Kau terus mengamatiku seharian. Seharusnya kau fokus pada pelajaran," gerutu gadis itu memprotes.

Kyle menghela napas berat. Lalu mengalihkan pandangannya yang muram ke arah Profesor Li yang baru saja masuk ke kelas mereka. "Entahlah. Aku masih merasa kau mencurigakan," gumamnya pendek.

"Aku tidak melakukan apa-apa padamu," sahut Talia masih menggerutu.

Kyle tidak menjawab lagi. Ia hanya kembali berpura-pura memperhatikan pelajaran. Namun Talia tetap saja menangkap basah Kyle saat tengah memperhatikannya tanpa sadar.

Hal serupa terjadi ketika jam makan. Kyle terus memperhatikan Talia dari kejauhan, membuat gadis itu begitu risih dan terganggu. Bahkan Susan pun lambat laun menyadarinya.

"Apa kau dekat dengan Kyle Gothe?" tanya Susan setelah beberapa hari kemudian.

Talia menggeleng pelan, lantas melirik ke arah Kyle yang duduk bersama Leo di ujung meja makan. "Kami duduk sebangku di kelas. Tapi selain itu, kami tidak dekat," jawab Talia jujur.

"Dia memperhatikanmu sejak kemarin, dan kemarinnya lagi. Setiap hari dia mencuri pandang ke arahmu. Kau yakin kalian tidak berteman? Atau jangan-jangan ada masalah di antara kalian?" selidik Susan mulai tertarik.

"Tidak ada, Susan. Sama sekali tidak ada. Dia hanya teman sekelas yang kebetulan duduk sebangku denganku," kilah Talia tegas.

Talia tidak bisa melakukan apa-apa lagi dengan sikap Kyle yang mencurigakan. Entah kenapa ia juga tidak ingin Kyle mengacuhkannya. Sekali waktu Talia begitu ingin memberi tahu Kyle tentang kehidupan mereka yang sebelumnya. Akan tetapi Talia menahan dirinya. Ia tetap merasa pilihan terbaik adalah untuk tidak berteman dengan Kyle lagi.

Demi menghindari Kyle, Talia biasanya kabur ke perpustakaan. Selain karena Kyle tidak suka berada di tempat itu, juga karena Talia ingin mencari tahu tentang kekuatannya yang hilang. Beberapa buku tentang sihir ramalan sudah dibaca Talia, tetapi ia belum menemukan penyebab hilangnya kekuatan melihat masa depan miliknya itu. Meskipun ia juga sedikit bersyukur karena kini ia bisa menyentuh orang lain dengan leluasa.

Hingga akhirnya suatu ketika ia menemukan sebuah buku berjudul Penyihir dan Ramalan: Sejarah Ramalan Dunia Sihir. Sebuah artikel menarik minatnya saat membaca buku itu. Bab itu berada di halaman-halaman terakhir yang mengisahkan tentang seorang oracle kuno yang tiba-tiba kehilangan kemampuannya meramal.

Derrick Oswald, oracle tersohor yang telah meramalkan perang Basilk kedua, akhirnya kehilangan kemampuannya sesaat setelah meramalkan kematiannya sendiri. Derrick melihat masa depannya saat harus mati di tangan Raja Adlard dalam pembakaran penyihir besar-besaran di era itu. Melalui ramalan terakhirnya itu, Derrick berhasil menyelamatkan diri dari eksekusinya, dan hidup hingga usia delapan puluh tahun. Namun sebagai ganti dari penglihatan itu, Derrick terpaksa kehilangan kemampuan meramal untuk selamanya.

"Jadi karena itu aku tidak bisa melihat masa depan lagi. Karena aku sudah melihat kematianku?" gumam Talia pada dirinya sendiri.

Talia menghela napas panjang sembari menyadarkan punggungnya ke belakang. Selama ini ia sudah terbiasa dengan kemampuannya melihat masa depan. Kalau memang kehidupannya yang lalu hanya sebuah ramalan panjang tentang kematiannya, itu artinya Talia harus menghindari semua pemicunya. Apakah dengan begitu Kyle tidak akan menjadi penjahat lagi? Entahlah. Talia sudah terlalu pusing untuk berpikir.

"Kita bertemu lagi, Lady Ortega." Sekonyong-konyong sebuah suara menyapa Talia.

Ia pun mendongak dan mendapati Ludwig sudah berdiri di hadapannya. Talia buru-buru menegakkan punggungnya. Ludwig kini sudah duduk di hadapannya tanpa beban.

"Kau sudah tahu namaku," celetuk Talia kemudian.

Ludwig tersenyum. "Ada beberapa cara untuk mengetahuinya. Tapi belakangan kau cukup terkenal karena adikku terus memperhatikanmu. Semua anak jadi membicarakanmu. Kau tahu, keluarga kami memang memancing banyak gosip," ujar Ludwig ringan.

Jantung Talia mencelos lagi. Jadi karena itu Ludwig mulai memperhatikan dirinya lagi. Padahal Talia sudah mati-matian menghindari Kyle. Apakah pada akhirnya ia tetap akan menjadi target Ludwig lagi?

"Aku cuma penasaran kenapa adikku menjadi begitu tertarik padamu. Tapi sepertinya tidak ada yang special darimu, Lady Ortega," lanjut Ludwig sembari memperhatikan Talia dari atas ke bawah.

Talia berdehem canggung. "Memang tidak. Aku tidak dekat dengan Kyle. Kami hanya kebetulan duduk sebangku. Selain itu kami tidak pernah akrab," ujarnya meyakinkan.

"Tapi barusan kau menyebut nama adikku dengan akrab."

Talia tersentak kecil. Ia terbiasa memanggil Kyle dengan nama itu sementara orang lain yang tidak terlalu dekat biasanya memanggilnya dengan nama belakangnya saja, atau nama lengkapnya.

"I, itu karena kami sekelas. Biasanya aku memanggil semua teman sekelas dengan nama depan mereka," timpal Talia beralasan.

Ludwig hanya tertawa hambar menanggapi. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya kau memang tidak dekat dengan adikku, Lady Ortega. Ah, atau boleh kupanggil Talia saja? Bukankah kau suka memanggil orang lain dengan akrab," ujar pemuda itu sembari mencondongkan wajahnya mendekat pada Talia.

Sontak Talia mundur hingga punggungnya menabrak sandaran kursi. Ia nyaris terjungkal kalau saja Ludwig tidak meraih pergelangan tangannya.

"Te, terima kasih," ucap Talia buru-buru melepaskan diri.

"Aku hanya ingin berteman denganmu, Talia. Apa kau merasakan hal yang sama? Karena kalau diingat-ingat lagi, kau sudah memperhatikanku saat kita pertama bertemu di sini dulu," ucap Ludwig sembari tersenyum mencurigakan.

"Itu salah paham. Aku hanya sedang melamun, jadi tanpa sadar pandanganku mengarah padamu," kilah Talia cepat-cepat.

Ludwig mengangguk-angguk paham. "Kalau begitu kita berteman karena sering bertemu di sini. Oke?" ujar Ludwig sembari bangkit berdiri.

Talia belum sempat menjawab, tetapi pemuda itu sudah pergi meninggalkannya sendiri tanpa sempat menolak ajakan Ludwig. Gadis itu hanya bisa menghela napas lelah. Berhadapan dengan Ludwig membuat adrenalinnya terus terpacu. Ingatan akan monster-monster yang menyerangnya kembali datang dan membuat Talia begitu tidak nyaman.

"Sepertinya, aku tetap harus bersiap-siap melawan orang itu. Dia mungkin akan mengirimiku monster kalau bosan. Dan sekarang tidak ada Kyle yang bisa melindungiku," gumam Talia sembari menyandarkan kepalanya ke atas meja.

Ia harus bisa memanggil Smoke lagi. Dan kalau beruntung, Talia ingin mencoba menguasai tiga elemen lainnya selain api. Ia harus menjadi lebih kuat di kehidupan ini. Talia tidak ingin menjadi gadis penakut seperti sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top