41. Bertemu Sahabat
Talia memilih kabur dari Ludwig tanpa menjawab pertanyaannya. Gadis itu segera pergi menuju ruang makan untuk segera menyantap makan malam saja. Beberapa anak baru rupanya sudah membuat kelompok-kelompok mereka sendiri. Semua anak duduk bergerombol dengan teman-teman baru mereka atau yang sudah lama dikenal. Hanya Kyle yang terlihat duduk sendirian di ujung meja.
Saat pertama datang ke ruang makan, tanpa sadar Talia berjalan ke arah Kyle. Hal itu terjadi begitu saja secara otomatis. Beruntung ia segera sadar sebelum sampai di tujuan. Talia segera membelokkan langkahnya lalu duduk di sisi meja yang lain, jauh dari Kyle.
Pemuda itu terus menatap Talia dengan tajam, seperti predator yang melihat mangsanya. Talia mati-matian bersikap sealami mungkin agar tidak mearik perhatian Kyle lagi. Akan tetapi sia-sia. Kyle sudah memperhatikan Talia sejak pertama masuk ke ruang makan.
Tak lama kemudian, muncul Leo yang berjalan mendekat dari meja Departemen Alkimia. Leo menyapa Kyle lalu duduk di hadapan pemuda itu. Akhirnya Kyle tidak lagi memperhatian Talia karena sibuk mengobrol dengan Leo. Talia mendesah lega. Rasanya ia baru bisa bernapas dengan benar sekarang.
“Kau anak tingka pertama?” tanya sebuah suara mengejutkan Talia.
Gadis itu sontak menoleh. Ternyata di sebelahnya kini sudah duduk seorang anak yang juga sudah sangat dikenal Talia: Susan Muela. Talia mengedarkan pandangannya lantas menyadari bahwa ia duduk terlalu jauh dari teman-temannya di tingkat satu. Ia kini duduk di area senior tingkat dua dan tiga.
“Maaf, sudah duduk sembarangan di sini. Aku akan kembali ke barisan anak-anak tingkat pertama,” ucap Talia sembari bangkit berdiri.
“Tidak perlu begitu. Aku tidak bermaksud mengusirmu. Duduklah dengan nyaman,” ucap Susan sembari meraih pergelangan tangan Talia.
Talia reflek menepis tangan Susan yang mencengkeram pergelangannya. Susan tampak terkejut karena sikap kasar Talia itu. Akan tetapi anehnya, Talia sama sekali tiduak terlempar ke masa depan sekalipmun Susan sudah menyentuhnya. Dia masih berada di ruang makan, berdiri dengan canggung di hadapan Susan yang tampak shock.
“Ah, ma, maaf. Aku terkejut jadi tanpa sadar … ,” kilah Talia menyesali perbuatannya. Gadis itu kemudian kembali duduk di sebelah Susan, dan mengurungkan niatnya untuk pergi.
Susan tersenyum tipis dan mengangguk. “Tentu saja. Aku juga minta maaf karena tiba-tiba memegangmu sembarangan,” ucap Susan kemudian. “Ngomong-ngomong namaku Susan. Susan Muela. Aku senior tingkat tiga,” lanjutnya memperkenalkan diri.
“Talia. Talia Ortega. Aku di tingkat pertama. Maaf karena belum terbiasa dengan situasi Akademi dan justru duduk di sini sembarangan,” ungkap Talia.
Susan menggeleng beberapa kali menanggapi. “Tidak apa-apa. Semua anak boleh duduk di tempat yang disukainya. Tapi apa kau memang tidak punya teman di tingkat pertama?
Talia mengangguk kecil. “Belum ada,” jawabnya singkat.
Secara teknis Talia tidak berbohong. Meskipun ia sudah mengenal hampir semua anak di tingkat pertama, dan berkawan dengan beberapa, bahkan bersahabat dengan Kyle, tetapi semua itu terjadi di kehidupannya sebelum ini. Sementara untuk saat ini, memang belum ada anak yang mengenal Talia di tingkat pertama.
Susan akhirnya mengngguk sambil tersenyum. “Kalau begitu duduk saja dengan nyaman di sini. Aku juga tidak punya banyak teman,” ucapnya.
Talia tahu bahwa Susan memang tidak memiliki banyak teman gara-gara kemampuan manipulasinya itu. Namun Susan yang dikenal Talia sebelum ini tidak pernah menggunakan kekuatan itu pada temannya sendiri. Talia juga merasa tidak keberatan sama sekali kalau harus berteman dengan Susan dalam kehidupan kali ini. Susan adalah sahabat yang baik dan menyenangkan.
“Begitukah? Bagaimana kalau kita berteman saja,” celetuk Talia kemudian. Gadis itu pun secara sengaja mengulurkan tangannya pada Susan. Ia sekaligus ingin memastikan bahwa kekuatannya melihat masa depan memang sudah tidak berfungsi lagi.
Susan menatap uluran tangan Talia dengan ragu. “Karena kau adalah anak baru, mungkin kau belum tahu kekuatanku. Jadi bisa mengajakku berteman dengan mudah seperti ini,” ucapnya muram.
Talia menggeleng yakin. “Aku ingin berteman denganmu, terlepas dari kekuatan apa pun itu. Kau anak yang baik dan menyenangkan. Aku bisa merasakannya meski baru pertama kali bertemu,” sanggah Talia tulus.
Susan tertegun sejenak. “Begitukah?” tanya Susan dengan seulas senyum yang perlahan terbit di wajahnya.
Talia mengangguk yakin. “Tentu saja. Aku tidak akan menyesal berteman denganmu,” lanjutnya sembari mengangkat uluran tangannya lebih tinggi.
Susan menghela napas sambil tersenyum kecil. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih karena mau mengajakku berteman,” ucap Susan sembari menyambut uluran tangan Talia. Keduanya pun bersalaman.
Anehnya, tidak ada yang terjadi pada Talia. Gadis itu mencoba memejamkan matanya saat bersalaman. Namun ketika membuka matanya lagi, ia masih berada di tempat yang sama: ruang makan sambil berjabat tangan dengan Susan. Apa kekuatan Talia melihat masa depan sudah hilang?
“Kau mau terus menyalamiku sampai kapan?” tanya Susan mengembalikan kesadaran Talia dari pikirannya yang rumit.
Buru-buru Talia melepaskan genggaman tangannya dengan canggung. “Ah, maaf. Kau teman pertamaku. Jadi aku sedikit terlalu gembira. Jadi, bolehkah aku memanggilmu dengan nyaman, Susan?” tanya Talia kemudian.
“Tentu saja. Kalau begitu aku juga akan memanggilmu dengan nyaman, Talia,” sahut Susan tersenyum.
Talia ikut tersenyum lalu mengangguk gembira. “Iya. Panggil aku dengan nyaman,” ucapnya ramah.
Talia bersyukur ia bisa berteman dengan Susan lagi secepat ini. Meski begitu, pikiran Talia masih terusik dengan fakta bahwa dia kehilangan kemampuan melihat masa depan. Kenapa kemampuannya itu tiba-tiba menghilang? Talia harus segera mencari jawabannya juga.
Seusai makan malam selesai, Talia akhirnya bisa kembali ke kamar asramanya. Kamarnya sama persis seperti saat Talia pertama kali datang dulu. Barang-barangnya belum ditata dan masih tersimpan rapi di dalam tas besar dan koper-kopernya. Talia harus menata ulang barang-barangnya besok.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Apa itu artinya aku juga kehilangan Smoke?” tannyanya pada diri sendiri.
Talia mengangkat tangan kanannya ke udara, lalu mencoba menggunakan sihir api. Sebuah lidah api kemerahan menyala dengan stabil di tangannya. Kemampuannya mengendalikan api rupanya masih bisa dia ingat. Tidak seperti dulu, ketika Talia takut menggunakan kekuatan apinya.
“Smoke,” desah Talia mencoba memanggil spirit apinya. Akan tetapi, tidak ada yang terjadi. Smoke sama sekali tidak muncul.
Gadis itu pun mendesah kecewa lantas bergelung di ranjang seusai mematikan nyala api di tangannya. “Jadi sekarang aku kehilangan kemampuan melihat masa depanku, juga spirit apiku. Entah aku harus senang atau sedih,” keluhnya muram.
“Tunggu. Sebaiknya aku mencatat kejadian-kejadian penting di masa lalu untuk bisa memperkirakan kejadian yang sama,” gumam Talia lagi. Ia pun bergerak dengan cepat, bangkit dari tempat tidurnya lalu menyambar perkamen dan pena bulu.
Talia mulai menulis beberapa peristiwa penting di kehidupannya yang lalu. Saat sudah mulai menulis, gadis itu terdiam sejenak. “Di kehidupan ini, mungkin lebih baik aku tidak berteman dengan Kyle. Gara-gara aku, dia … .” Talia tertunduk muram. Ya, itu yang terbaik
Bertemu musuh dan sahabat
N
Nararya Radmila
to me
1 minute ago
Details
Talia memilih kabur dari Ludwig tanpa menjawab pertanyaannya. Gadis itu segera pergi menuju ruang makan untuk segera menyantap makan malam saja. Beberapa anak baru rupanya sudah membuat kelompok-kelompok mereka sendiri. Semua anak duduk bergerombol dengan teman-teman baru mereka atau yang sudah lama dikenal. Hanya Kyle yang terlihat duduk sendirian di ujung meja.
Saat pertama datang ke ruang makan, tanpa sadar Talia berjalan ke arah Kyle. Hal itu terjadi begitu saja secara otomatis. Beruntung ia segera sadar sebelum sampai di tujuan. Talia segera membelokkan langkahnya lalu duduk di sisi meja yang lain, jauh dari Kyle.
Pemuda itu terus menatap Talia dengan tajam, seperti predator yang melihat mangsanya. Talia mati-matian bersikap sealami mungkin agar tidak mearik perhatian Kyle lagi. Akan tetapi sia-sia. Kyle sudah memperhatikan Talia sejak pertama masuk ke ruang makan.
Tak lama kemudian, muncul Leo yang berjalan mendekat dari meja Departemen Alkimia. Leo menyapa Kyle lalu duduk di hadapan pemuda itu. Akhirnya Kyle tidak lagi memperhatian Talia karena sibuk mengobrol dengan Leo. Talia mendesah lega. Rasanya ia baru bisa bernapas dengan benar sekarang.
“Kau anak tingka pertama?” tanya sebuah suara mengejutkan Talia.
Gadis itu sontak menoleh. Ternyata di sebelahnya kini sudah duduk seorang anak yang juga sudah sangat dikenal Talia: Susan Muela. Talia mengedarkan pandangannya lantas menyadari bahwa ia duduk terlalu jauh dari teman-temannya di tingkat satu. Ia kini duduk di area senior tingkat dua dan tiga.
“Maaf, sudah duduk sembarangan di sini. Aku akan kembali ke barisan anak-anak tingkat pertama,” ucap Talia sembari bangkit berdiri.
“Tidak perlu begitu. Aku tidak bermaksud mengusirmu. Duduklah dengan nyaman,” ucap Susan sembari meraih pergelangan tangan Talia.
Talia reflek menepis tangan Susan yang mencengkeram pergelangannya. Susan tampak terkejut karena sikap kasar Talia itu. Akan tetapi anehnya, Talia sama sekali tiduak terlempar ke masa depan sekalipmun Susan sudah menyentuhnya. Dia masih berada di ruang makan, berdiri dengan canggung di hadapan Susan yang tampak shock.
“Ah, ma, maaf. Aku terkejut jadi tanpa sadar … ,” kilah Talia menyesali perbuatannya. Gadis itu kemudian kembali duduk di sebelah Susan, dan mengurungkan niatnya untuk pergi.
Susan tersenyum tipis dan mengangguk. “Tentu saja. Aku juga minta maaf karena tiba-tiba memegangmu sembarangan,” ucap Susan kemudian. “Ngomong-ngomong namaku Susan. Susan Muela. Aku senior tingkat tiga,” lanjutnya memperkenalkan diri.
“Talia. Talia Ortega. Aku di tingkat pertama. Maaf karena belum terbiasa dengan situasi Akademi dan justru duduk di sini sembarangan,” ungkap Talia.
Susan menggeleng beberapa kali menanggapi. “Tidak apa-apa. Semua anak boleh duduk di tempat yang disukainya. Tapi apa kau memang tidak punya teman di tingkat pertama?
Talia mengangguk kecil. “Belum ada,” jawabnya singkat.
Secara teknis Talia tidak berbohong. Meskipun ia sudah mengenal hampir semua anak di tingkat pertama, dan berkawan dengan beberapa, bahkan bersahabat dengan Kyle, tetapi semua itu terjadi di kehidupannya sebelum ini. Sementara untuk saat ini, memang belum ada anak yang mengenal Talia di tingkat pertama.
Susan akhirnya mengngguk sambil tersenyum. “Kalau begitu duduk saja dengan nyaman di sini. Aku juga tidak punya banyak teman,” ucapnya.
Talia tahu bahwa Susan memang tidak memiliki banyak teman gara-gara kemampuan manipulasinya itu. Namun Susan yang dikenal Talia sebelum ini tidak pernah menggunakan kekuatan itu pada temannya sendiri. Talia juga merasa tidak keberatan sama sekali kalau harus berteman dengan Susan dalam kehidupan kali ini. Susan adalah sahabat yang baik dan menyenangkan.
“Begitukah? Bagaimana kalau kita berteman saja,” celetuk Talia kemudian. Gadis itu pun secara sengaja mengulurkan tangannya pada Susan. Ia sekaligus ingin memastikan bahwa kekuatannya melihat masa depan memang sudah tidak berfungsi lagi.
Susan menatap uluran tangan Talia dengan ragu. “Karena kau adalah anak baru, mungkin kau belum tahu kekuatanku. Jadi bisa mengajakku berteman dengan mudah seperti ini,” ucapnya muram.
Talia menggeleng yakin. “Aku ingin berteman denganmu, terlepas dari kekuatan apa pun itu. Kau anak yang baik dan menyenangkan. Aku bisa merasakannya meski baru pertama kali bertemu,” sanggah Talia tulus.
Susan tertegun sejenak. “Begitukah?” tanya Susan dengan seulas senyum yang perlahan terbit di wajahnya.
Talia mengangguk yakin. “Tentu saja. Aku tidak akan menyesal berteman denganmu,” lanjutnya sembari mengangkat uluran tangannya lebih tinggi.
Susan menghela napas sambil tersenyum kecil. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih karena mau mengajakku berteman,” ucap Susan sembari menyambut uluran tangan Talia. Keduanya pun bersalaman.
Anehnya, tidak ada yang terjadi pada Talia. Gadis itu mencoba memejamkan matanya saat bersalaman. Namun ketika membuka matanya lagi, ia masih berada di tempat yang sama: ruang makan sambil berjabat tangan dengan Susan. Apa kekuatan Talia melihat masa depan sudah hilang?
“Kau mau terus menyalamiku sampai kapan?” tanya Susan mengembalikan kesadaran Talia dari pikirannya yang rumit.
Buru-buru Talia melepaskan genggaman tangannya dengan canggung. “Ah, maaf. Kau teman pertamaku. Jadi aku sedikit terlalu gembira. Jadi, bolehkah aku memanggilmu dengan nyaman, Susan?” tanya Talia kemudian.
“Tentu saja. Kalau begitu aku juga akan memanggilmu dengan nyaman, Talia,” sahut Susan tersenyum.
Talia ikut tersenyum lalu mengangguk gembira. “Iya. Panggil aku dengan nyaman,” ucapnya ramah.
Talia bersyukur ia bisa berteman dengan Susan lagi secepat ini. Meski begitu, pikiran Talia masih terusik dengan fakta bahwa dia kehilangan kemampuan melihat masa depan. Kenapa kemampuannya itu tiba-tiba menghilang? Talia harus segera mencari jawabannya juga.
Seusai makan malam selesai, Talia akhirnya bisa kembali ke kamar asramanya. Kamarnya sama persis seperti saat Talia pertama kali datang dulu. Barang-barangnya belum ditata dan masih tersimpan rapi di dalam tas besar dan koper-kopernya. Talia harus menata ulang barang-barangnya besok.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Apa itu artinya aku juga kehilangan Smoke?” tannyanya pada diri sendiri.
Talia mengangkat tangan kanannya ke udara, lalu mencoba menggunakan sihir api. Sebuah lidah api kemerahan menyala dengan stabil di tangannya. Kemampuannya mengendalikan api rupanya masih bisa dia ingat. Tidak seperti dulu, ketika Talia takut menggunakan kekuatan apinya.
“Smoke,” desah Talia mencoba memanggil spirit apinya. Akan tetapi, tidak ada yang terjadi. Smoke sama sekali tidak muncul.
Gadis itu pun mendesah kecewa lantas bergelung di ranjang seusai mematikan nyala api di tangannya. “Jadi sekarang aku kehilangan kemampuan melihat masa depanku, juga spirit apiku. Entah aku harus senang atau sedih,” keluhnya muram.
“Tunggu. Sebaiknya aku mencatat kejadian-kejadian penting di masa lalu untuk bisa memperkirakan kejadian yang sama,” gumam Talia lagi. Ia pun bergerak dengan cepat, bangkit dari tempat tidurnya lalu menyambar perkamen dan pena bulu.
Talia mulai menulis beberapa peristiwa penting di kehidupannya yang lalu. Saat sudah mulai menulis, gadis itu terdiam sejenak. “Di kehidupan ini, mungkin lebih baik aku tidak berteman dengan Kyle. Gara-gara aku, dia … .” Talia tertunduk muram. Ya, itu yang terbaik
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top