32. Diawasi
Talia menggedor pintu kamar Madam Hudges dengan panik. Perlu beberapa saat sampai akhirnya penjaga asramanya itu muncul dengan gaun tidurnya. Wajah Madam Hudges masih terlihat mengantuk dan ia pun kebingungan saat melihat banyak anak asrama yang sudah berkumpul di depan kamarnya.
“Ada apa malam-malam begini Lady Ortega?” tanya Madam Hudges sembari memakai kacamata tebalnya.
“Susan … ini … dia diserang …pterotos … ,” sahut Talia tergagap. Napasnya masih tersengal karena kepanikan.
Madam Hudges akhirnya menyadari keberadaan Susan yang sudah meringkuk kesakitan sembari memeluk tangannya. Melihat luka borok di tangan Susan, sang penjaga asrama itu buru-buru menyuruh mereka masuk lantas membubarkan kerumunan anak-anak lain yang tidak berkepentingan.
Setelah berada dalam kamar Madam Hudges,Talia dan Susan disuruh duduk menunggu di ruang tamu. Sementara itu Madam Hudges menuliskan sesuatu di atas perkamen, membuka jendal, lantas menerbangkan perkamen itu dengan sihir.
“Aku sudah memanggil petugas kesehatan. Kalian tunggu dulu di sini. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Madam Hudges yang kini sudah kehilangan rasa kantuknya.
Talia menceritakan semua pengalaman mereka barusan, kecuali fakta tentang Ludwig yang melakukannya. Madam Hudges menyimak cerita Talia dengan serius, lantas mulai marah-marah karena kejadian semacam itu bisa terjadi di asramanya.
Madam Hudges terus mengomel hingga akhirnya sebuah tandu terbang tiba di depan kamar Madam Hudges. Wanita tua itu pun segera menyuruh Susan untuk naik ke atas tandu menuju ruang kesehatan. Madam Hudges yang akan menemani Susan menuju ruang kesehatan. Talia, sementara itu, diminta kembali ke kamar.
Gadis itu bersikeras untuk ikut ke ruang kesehatan, tetapi Madam Hudges melarangnya karena itu sudah tengah malam. Akhirnya, dengan berat hati, Talia pun kembali ke kamarnya. Beberapa anak asrama masih terlihat bergerombol di koridor. Mereka berbondong-bondong menanyai Talia tentang kejadian barusan. Namun Talia sudah terlalu lelah untuk berbicara dengan mereka.
Akhirnya, setelah meminta maaf, Talia pun meninggalkan anak-anak di koridor dan masuk ke kamarnya sendiri. Betapa terkejutnya Talia saat membuka pintu kamarnya dan mendapati Kyle sudah duduk di atas ranjangnya.
“Kyle?” pekik Talia kaget. Gadis itu pun buru-buru menutup pintu kamarnya agar tidak ada yang melihat Kyle ada di sana.
Pemuda itu bangkit berdiri dan berjalan mendekati Talia. “Apa semua baik-baik saja? Aku kemari karena khawatir,” ujar Kyle cemas.
Talia tertunduk murung. “Itu … aku baik-baik saja. Pterotosnya juga berhasil dibasmi. Tapi … Susan terluka,” desah gadis itu sedih.
Kyle meraih jemari Talia dan menggenggamnya dengan hangat. “Muela pasti baik-baik saja. Percayalah. Kau pasti lelah. Berisitirahatlah. Aku sudah memastikan kalau Ludwig tidak lagi ada di dekat sini,” terang pemuda itu lembut.
Talia mengangguk pelan. Gadis itu pun berjalan ke ranjangnya lalu berbaring. Air mata merembes keluar membasahi wajahnya. Rasanya semua ketakutan, kecemasan dan kegetirannya muncul begitu saja secara bersamaan.
Kyle duduk di sisi ranjang Talia dan masih menggenggam tangan gadis itu. Akhirnya Talia pun terlelap setelah lelah menangis. Saat bangun keesokan harinya, Kyle sudah tidak ada. Ia pun bersiap berangkat ke Akademi dengan muram. Talia berencana mengunjungi Susan di ruang kesehatan sebelum kelas dimulai.
Seperti biasa, Kyle dan Leo sudah menunggu di depan asrama. Mereka bertiga berjalan menuju ruang kesehatan dengan suasana muram. Tampaknya Leo juga terpukul karena kejadian tersebut mungkin membuanya teringat pada penyerangan dirlagraun terhadap dirinya sediri.
Petugas kesehatan mempersilakan mereka masuk ke dalam bilik tempat Susan dirawat. Gadis itu tampak lebih segar sekarang, tidak lagi meringkuk kesakitan. Tangannya yang terluka dibebat dengan kain putih dan sudah bisa digerakkan dengan normal.
“Kalian datang?” sapa Susan cerah.
“Bagaimana keadaanmu, Susan?” tanya Talia yang sudah berdiri di dekat ranjang Susan.
“Yah, aku sudah baikan. Tapi aku tetap akan buat perhitungan dengan si sialan Gothe itu,” geram Susan sembari mengepalkan tangannya. “Maksudnya kakakmu,” tambahnya buru-buru sembari melirik Kyle.
“Sebaiknya kau fokus pada pemulihan saja, Muela. Aku akan mengurus kakakku,” timpal Kyle dengan mata berkilat-kilat.
“Kalian berdua, sudahlah. Jangan memprovokasinya lagi. Kalian tahu apa akibatnya kalau Ludwig dibuat kesal,” sela Talia cemas.
“Para profesor juga memihaknya,” tandas Leo menambahi.
“Tetap saja kita harus cari cara untuk membuatnya membayar perbuatannya. Ini tidak adil. Hanya karena dia anak seorang Duke, bukan berarti dia bisa bersikap seenaknya. Maksudku kakakmu.” Susan kembali melirik Kyle.
“Kita jarang sependapat, Mulea. Anehnya untuk masalah ini, aku setuju denganmu.” Kyle mengangguk setuju.
“Sudah, sudah. Sebaiknya kita kembali ke kelas dulu saja. Jam pelajaran sudah akan dimulai. Kita bahkan tidak sempat sarapan.” Talia kembali memandamkan semangat balas dendam dari Kyle dan Susan.
“Baiklah, ayo.” Kyle dan Ludwig mengangguk setuju.
“Segera pulih dan bermain bersama kita lagi, Susan,” ucap Talia sembari menggenggam jemari Susan.
Sahabatnya itu mengangguk pelan dan tersenyum. Talia, Kyle dan Leo pun meninggalkan ruang kesehatan dan pergi ke kelas mereka masing-masing. Hari itu, tidak banyak hal yang terjadi, tetapi Talia beberapa kali merasa dirinya diawasi. Perasaan tidak nyaman itu terus berlanjut bahkan hingga esok harinya.
Pagi hari setelah insiden penyerangan pterotos, Talia dikejutkan dengan penampilan Kyle yang kacau. Wajahnya lebam-lebam dan terluka. Bahkan satu tangannya dibalut dengan kain. Ada luka bekas gigitan di lengan pemuda itu.
Talia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Kyle pasti bertengkar dengan kakaknya. Sepanjang perjalanan menuju ruang makan, Talia terus mengomeli Kyle karena tindakannya yang gegabah. Meski begitu, Susan, yang akhirnya sudah tidak dirawat di ruang kesehatan, mendukung tindakan Kyle tersebut.
Sesampainya di ruang makan, Talia menyaksikan Ludwig yang ternyata juga tidak kalah kacaunya. Bahkan bisa dibilang luka-luka Ludwig sedikit lebih parah daripada Kyle. Dia dan rombongannya menatap tajam ke arah Kyle dari meja Beast Tamer.
Talia merasakan tatapan intens tersebut lantas menyadari perasaan tidak tenangnya dari kemarin. Apa jangan-jangan Ludwig memang punya kemampuan melihat dari jarak jauh?
“Kau kenapa?” tanya Kyle saat menyadari Talia tercenung diam menatap mangkuk supnya yang masih mengepul.
Talia menarik napas panjang. “Apa secara kebetulan, Ludwig punya kemampuan melihat dari jarak jauh?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Talia.
“Kenapa? Apa kau merasa diawasi?” sahut Kyle balas bertanya.
Talia tak lantas menjawab. Ia hanya melirik sekilas ke arah meja Ludwig dan teman-temannya. Mereka masih memperhatikan Kyle dengan tajam. Talia kembali bergidik. Entah kenapa perasaannya tidak nyaman. Meski begitu, tidak seharusnya ia membuat teman-temannya cemas pada hal yang belum pasti seperti ini.
“Tidak apa-apa,” gumam Talia dengan senyum dipaksakan.
Kyle, Leo dan Susan hanya memperhatikan gadis itu. Mereka bertiga jelas tahu kalau Talia sedang menyembunyikan sesuatu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top