29. Spirit Api
Hari selanjutnya, Talia melakukan kegiatan sesuai rencana. Ia berangkat sekolah seperti biasa bersama Susan dan Kyle, ditambah Leo sekarang. Mereka berempat sarapan bersama, lalu berpisah untuk mengikuti kelas. Pada jam istirahat mereka bertemu lagi di ruang rahasia sambil membawa camilan dan makanan dari ruang makan.
Saat jam pelajaran terakhir tiba, hanya Talia dan Kyle yang datang ke ruang rahasia. Mereka berdua berlatih sihir api dengan giat. Kemampuan Talia sudah lumayan meningkat dibanding beberapa hari yang lalu. Setidaknya kini gadis itu tidak lagi ragu saat harus memantik api di telapak tangannya. Aliran energinya sudah semakin stabil karena ia sudah bisa percaya pada dirinya sendiri.
“Bagus. Sekarang padatkan bola apinya, lalu lempar ke arah target,” bimbing Kyle menyerukan panduan. Kini pemuda itu tidak perlu lagi membantu menstabilkan energi sihir Talia. Kyle hanya berdiri di sisi gadis itu sembari memberi instruksi.
Talia melakukan yang diperintahkan Kyle. Ia menfokuskan pikiran pada bola api di tangannya. Api yang dia buat tidak terasa panas, alih-alih terasa hangat dan tenang. Kehangatan itu mengalir hingga ke seluruh tubuhnya, seolah ia dilingkupi oleh api itu sendiri.
Setelah bola api itu berada pada ukuran yang sempurna – sebesar buah kelapa –, Talia pun bersiap untuk melontarkan ke arah patung logam berwujud setengah badan laki-laki bertelanjang dada. Leo menemukan patung itu kemarin di antara tumpukan barang bekas di dalam lemari perkakas. Kyle bilang, Talia harus bisa melelehkan setidaknya kepala patung itu untuk bisa dibilang berhasil. Jika ia bisa mengeluarkan hawa panas yang mampu melelehkan logam, maka membuat pterotos menjadi ular panggang tidaklah sulit.
Sayangnya, mempertahankan sihir api itu sangat menguras energi. Berbeda dengan sihir air yang mengalir luwes, atau angin yang bergerak bebas, sihr api membutuhkan kestabilan dan konsentrasi yang tidak main-main. Sejauh ini Talia hanya berhasil memanggang patung besi itu selama kurang dari satu menit. Hasilnya, kepala sang patung hanya berubah hitam karena hangus. Sama sekali tidak ada tanda-tanda akan meleleh.
“Kau harus mempertahankan semburan apimu setidaknya selama lima menit, Talia. Lalu tingkatkan juga level panasnya. Kau justru membuat pterotos itu merasa nyaman kalau hanya suam-suam kuku begitu,” instruksi Kyle dengan nada gemas.
Talia bermandikan keringat. Selama waktu ini, ia sudah menyemburkan api setidaknya sebanyak dua belas kali. Namun patung logam itu menolak meleleh. Entah bagaimana Talia kini merasa dirinya telah berubah menjadi semacam tungku pembakaran. Beginikah rasanya menjadi tungku?
“Ayo kita istirahat dulu,” kata Kyle kemudian. Pemuda itu menyodorkan botol air minum untuk Talia, yang langsung menenggaknya tanpa pikir panjang. Ia lelah dan kegerahan. Ruangan bawah tanah yang semula berhawa sejuk itu kini sudah berubah menjadi panas.
“Aku akan melakukannya sekali lagi,” gumam Talia sembari mengembalikan botol minum Kyle.
“Baiklah,” tukas Kyle menanggapi.
Talia kembali mengangkat tangan kanannya. Sepercik api muncul di telapaknya, lantas membesar menjadi lidah-lidah api. Talia berusaha memampatkan lidah api itu menjadi gumpalan bola yang bergerak melingkar. Cahaya jingga dari bola api kian membesar, sejurus dengan tarikan napas Talia. Ia berkonsentrasi penuh dan menghirup udara dalam-dalam. Oksigen adalah bahan pembuat api.
Talia mencoba menvisualisasikan pterotos di benaknya. Ia melihat sang monster ular bersayap tersebut tengah melingkar di kepala patung logam. Talia mengingat bagaimana seringai jahat Ludwig yang berniat mencelakainya, juga membuat Kyle menderita. Semua hal itu membuat Talia menjadi marah.
Ia lalu memikirkan bagaimana para guru dan pihak Akademi selalu membela Ludwig. Padahal anak itu jelas bersalah, tetapi semua kesalahannya ditutupi dengan sengaja. Talia mengingat kondisi Leo yang terluka karena serangan dirlagraun, serta bagaimana monster yang sama tersebut sudah menyerangnya.
Kemarahan Talia semakin menjadi-jadi. Hatinya sesak karena amarah. Berkat perasaan tersebut, bola api yang sebelumnya berwarna jingga kekuningan, kini telah berubah menjadi merah terang. Rasa hangat di tubuhnya memudar. Kini tubuhnya menjadi begitu panas membara. Namun Talia sama sekali tidak merasa sakit. Tubuhnya seperti sudah beradaptasi dengan hawa panas tersebut, karena memang muncul dari energi sihirnya yang dilingkupi kemarahan.
“Apa kau sangat marah?” Mendadak sebuah suara terdengar di kepala Talia.
Gadis itu tak bergeming, mengira kalau suara Itu mungkin hanya pikirannya sendiri.
“Emosimu sangat kuat. Aku menyukainya.” Suara di kepalanya kembali terdengar. Talia sedikit terusik, tetapi kemarahan sudah terlalu menguasainya. Karena itu ia tidak menghiraukan suara tersebut dan hanya fokus untuk menghancurkan.
Setelah mendapat momen yang tepat, Talia lantas melontarkan bola apinya dengan sekuat tenaga. Begitu terlepas dari tangan gadis itu, secara ajaib bola api tersebut berubah wujud menjadi seekor burung phoenix cantik yang berbulu api. Talia masih mengulurkan tangan kanannya untuk menyemburkan api di belakang ekor sang phoenix. Akan tetapi, saat serangan burung phoenix tersebut baru saja menyentuh targetnya, patung logamnya langsung meleleh begitu saja. Tidak butuh waktu lima menit, atau bahkan semenit sekalipun untuk menghancurkan patung logam tersebut.
Begitu targetnya lenyap, burung phoenix Talia berkoak anggun lantas terbang berputar di langit-langit dan mengilang tanpa menyisakan apa-apa. Talia dan Kyle mendongak dengan wajah ternganga. Keduanya sama sekali tidak menyangka kalau sihir api Talia akan langsung meningkat di level tersebut.
Kyle yang pertama-tama sadar dari ketakjubannya. Pemuda itu dengan spontan langsung bertepuk tangan sembari menatap Talia dengan bangga.
“Luar biasa, Talia Ortega. Kurasa saat tes bakat sihir nanti, bisa dipastikan kau akan menjadi penyihir api,” puji Kyle sambil tertawa geli karena menyaksikan wajah bingung Talia.
“Apa … apa yang terjadi? Kenapa sihiku berubah menjadi burung api?” tanya Talia kebingungan.
“Kau sudah memanggil spirit api, Phoenix, sang burung api.” Kyle menejelaskan dengan senyuman lebar.
Sekonyong-konyong lutut Talia terasa lemas. Gadis itu melorot jatuh ke lantai karena begitu terkejut. Sejak ia pertama kali mempelajari sihir secara otodidak, Talia tahu bahwa dirinya bukan penyihir elemen api. Talia jauh lebih cepat menguasai sihir air atau angin. Karena itu ia mungkin akan lebih cocok untuk masuk di salah satu dari kedua kelas tersebut. Namun barusan ia justru mengeluarkan kemampuan yang bahkan sangat langka di antara para penyihir api sekalipun: Talia telah memanggil spirit api!
Selain menggunakan upacara pemanggilan dengan lingkaran transmutasi, para spirit juga bisa dipanggil oleh enchanter yang memiliki ikatan kuat dengan elemennya. Namun, seperti juga para alkemis yang tidak selalu berhasil memanggil spirit, enchanter seberbakat itu juga sangat jarang ditemui. Mungkin hanya satu orang dalam sepuluh tahun.
Enchanter yang berhasil memanggil spirit dan mengikat kontrak dengan mereka hanyalah penyihir dengan energi murni. Talia jelas tahu dia punya kemampuan spesial melihat masa depan. Akan tetapi ia tidak menyangka kalau dirinya juga memiliki energi sihir yang murni.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top