26. Berbaikan

Hari itu berakhir tanpa Talia melakukan apa-apa. Energi sihirnya sudah terlanjur habis gara-gara sembarangan menyentuh orang lain. Talia berisitirahat di ruang rahasia sampai jam pelajaran sihir selesai. Susan kembali mencari-carinya sejak dari waktu makan siang. Mereka akhirnya bertemu saat makan malam.

“Kenapa kau menghindariku seharian ini, Talia,” keluh Susan sedih.

“Aku tidak menghindarimu, Susan. Hanya saja hari ini aku sedikit lelah jadi harus beristirahat di ruang kesehatan,” kilah Talia berbohong.

“Kau juga tidak ada di sana sejak siang tadi. Talia kau berbohong lagi padaku. Hari ini sudah dua kali kau berbohong. Apa kau benar-benar menganggapku teman?” sergah Susan tampak kecewa.

Sontak Talia pun merasa bersalah. Sebenarnya tidak ada alasan khusus baginya untuk menyembunyikan hal ini dari Susan. Talia juga tidak punya teman dekat perempuan lagi selain Susan. Talia sudah mempercayai Susan meskipun sebelumnya gadis itu pernah mencoba menggunakan sihir manipulasi padanya. Temannya itu juga sudah meminta maaf dengan tulus.

Akan tetapi, entah bagaimana Talia masih ragu untuk memberitahu tentang kemampuannya melihat masa depan. Susan akan menyadari kalau saat itu Talia menyentuh tangannya bukan karena ingin mengajak gadis itu berteman, alih-alih sebagai cara untuk menghindari sihir manipulasinya. Fakta itu mungkin akan membuat Susan lebih kecewa.

“Maafkan aku, Susan. Aku akan menceritakannya lain kali.” Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan oleh Talia.

Mereka bertiga terdiam sejenak di ujung meja makan. Kyle memutuskan untuk tidak ikut campur. Pemuda itu diam saja sambil pura-pura fokus mengiris steik daging sapi di hadapannya.

“Kurasa, selama ini hanya aku yang menganggap kita teman,” ucap Susan setelah beberapa menit terdiam. Gadis itu lantas bangkit berdiri dan meninggalkan ruang makan sebelum Talia sempat mencegahnya.

“Aku merasa bersalah pada Susan,” desah Talia murung.

“Dia memang menyebalkan. Tapi kurasa dia cukup tulus berteman denganmu.” Bahkan Kyle saat ini mendukung Susan, dan bukan Talia. Kata-kata pemuda itu membuat Talia semakin merasa bersalah.

“Apa yang harus kulakukan, Kyle?” tanya Talia meminta saran.

Kyle hanya mengangkat bahu dengan ringan. “Aku saja tidak punya teman,” jawabnya tanpa solusi.

Talia mendesah lagi. Di saat-saat seperti ini Kyle sama sekali tidak membantu. “Ngomong-ngomong bagaimana dulu kau bisa berteman dengan Leo?”

“Sejak Ludwig masuk akademi, ayahku memutuskan untuk memberiku teman bermain. Keluarga Leopold dekat kebetulan dekat dengan keluargaku. Karena itu ayah meminta Leo yang seumuran denganku untuk tinggal di rumah keluarga kami. Begitulah kami mulai berteman dekat,” terang Kyle apa adanya.

Jadi karena itu mereka sudah dekat sejak upacara penerimaan murid baru. Kyle dan Leo sudah berteman selama dua tahun lebih, terhitung sejak Ludwig masuk Akademi.

“Menurutku, kau sebaiknya berbaikan dengan Muela. Kurasa dia bisa dipercaya. Dia juga bisa membantumu saat di asrama. Kau tahu juga kalau anak laki-laki tidak diperbolehkan masuk ke asrama putri. Aku tidak bisa menjagamu selama kau berada di sana.”

Talia menarik napas panjang. “Kalian berdua selalu memperlakukanku seperti barang pecah belah yang rapuh. Lihat saja, mulai besok aku akan berlatih keras,” gerutu Talia.

Kyle tertawa kecil lantas mengusap kepala Talia dengan lembut, mengacak-acak rambutnya yang berwarna merah kecoklatan.

Talia tidur nyenyak malam itu. Tubuhnya kelelahan karena energi sihirnya yang terkuras habis. Esok paginya Talia bersiap-siap seperti biasanya, lantas menunggu Susan yang tak kunjung datang. Sampai hampir mendekati jam pelajaran pun Susan sama sekali tidak mengetuk pintu kamar Talia. Meski sudah sabar menunggu, tetapi Susan benar-benar tidak datang.

Akhirnya, dengan terpaksa Talia pun berangkat sendiri dan melewatkan sarapan. Kyle menyambut di depan gerbang asrama putri, terlihat sudah menunggu lama.

“Kau lama sekali. Muela sudah berangkat dari tadi,” ujar Kyle memberi informasi.

“Susan meninggalkanku?” tanya Talia tak percaya. “Kurasa dia benar-benar sudah membenciku sekarang,” lanjutnya murung.

“Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang kau fokus saja untuk berlatih,” nasehat Kyle sembari menghela napas. Talia hanya mengangguk singkat menanggapi. Meski begitu hatinya tetap merasa gundah.

Sesuai rencana, saat jam makan siang, Kyle mengajak Talia menyelinap ke ruang rahasia di Departemen Alkimia. Mereka sudah membawa makanan sekadarnya dari ruang makan yang dibawa menggunakan wadah bulat bertumpuk dari logam.

Mereka berjalan dengan tenang dan menghindari sebanyak mungkin persimpangan yang ramai. Akhirnya, saat sampai di depan dinding batu tempat pintu ruang rahasia tersebut, Kyle pun memulai membuka lingkaran transmutasi. Pintu batu bergeser. Talia sudah hendak masuk ke dalam ruangan ketika tiba-tiba sebuah suara buku-buku terjatuh mengejutkan mereka berdua.

Talia dan Kyle sontak menoleh ke belakang dengan begitu terkejut. Bisa gawat kalau ada orang lain yang menemukan mereka berdiri di depan pintu ruang rahasia. Bisa-bisa para Profesor melenyapkan ruangan tersebut, dan alhasil, Talia tidak punya tempat berlatih yang aman.

Akan tetapi, setelah menoleh, Talia ternyata menemukan Susan berdiri di belakang mereka dengan wajah tak kalah terkejut. Gadis itu menjatuhkan sejumlah buku yang dibawanya sendiri hingga tersebar di lantai batu.

“Maaf, aku tidak menyangka kalau hubungan kalian sudah sejauh ini … ,” desah Susan sambil tersenyum penuh makna.

Talia dan Kyle berpandangan dengan bingung. Namun kemudian Kyle wajah Kyle tampak memerah.

“Tunggu, Muela. Sepertinya kau salah paham akan sesuatu,” celetuk Kyle sembari menutup wajahnya dengan satu tangan.

“Memangnya apa maksud Susan … ?” tanya Talia masih tidak paham.

“Sudahlah. Sebaiknya kalian berdua masuk saja dulu. Kau juga, Muela. Karena sudah terlanjur ada di sini, ada baiknya kita menjelaskan masalah ini padanya. Bukan begitu, Talia?” ujar Kyle sembari melirik Talia dengan wajah masih memerah.

Talia mengangguk ragu. Mungkin sebaiknya memang Talia berbicara baik-baik dengan Susan. Ia ingin minta maaf dan berteman seperti sebelumnya.

“Ayo, Susan. Kurasa ini saat yang tepat untukku berkata jujur padamu,” ajak Talia kemudian.

Senyuman Susan memudar. Gadis itu kini justru tampak ingin menangis. Ia pun mengangguk pelan dan berjalan mengikuti Talia memasuki ruang rahasia.

Setelah menutup pintu, Talia dan Susan pun duduk bersebelahan di sofa merah marun di dalam ruangan tersebut. Kyle menyingkir ke sudut ruangan karena tidak ingin mengganggu pembicaraan mereka berdua. Pemuda itu memainkan pendulum tua yang ada di sana.

“Susan, maafkan aku karena telah berbohong padamu. Aku akan jujur padamu sekarang. Meski begitu, mungkin kau akan kecewa padaku,” ucap Talia memulai percakapan.

Susan menggeleng pelan. Matanya masih berkaca-kaca karena merasa terharu akhirnya bisa berbicara dengan Talia, sahabatnya satu-satunya. “Tidak apa-apa, Talia. Aku juga seharusnya minta maaf karena mungkin sikapku sedikit membuatmu terkekang dan tidak nyaman.”

Talia menggeleng pelan. “Kau sangat peduli padaku. Karena itu aku merasa bersalah telah membuatmu kecewa. Sebenarnya … aku punya satu rahasia. Aku … bisa melihat masa depan seseorang yang kusentuh,” ucap Talia perlahan.

Susan tak lantas menjawab. Gadis itu terdiam selama beberapa saat sembari menatap Talia yang tertunduk muram.

“Apakah, itu artinya, saat itu kau menyentuhku untuk melihat masa depanku? Saat di ruang kesehatan?” Akhirnya pertanyaan yang ditakutkan Talia pun muncul. Gadis itu mendongak dan melihat ekspresi susan yang serius.

“Itu … maafkan aku. Aku tidak bermaksud melakukannya. Hanya saja, aku terlalu takut dengan kemampuan manipulasimu. Saat itu kita belum dekat jadi … .”

Susan menghela napas dan memotong kata-kata Talia. Ia tersenyum lega pada sahabatnya. “Aku senang karena kau mau jujur padaku. Terima kasih, Talia. Itu artinya kau sekarang sudah mempercayaiku,” ucap Susan.

Talia turut tersenyum bersama Susan. “Tentu saja,” sahutnya yakin.

“Kalau begitu, mulai sekarang kita benar-benar berteman baik, ya,” tutup Susan tulus.

Talia mengangguk setuju dan dua sahabat itu pun sudah berbaikan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top