23. Gundah

Talia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Profesor Li sedang mengajar Teori Dasar Sihir. Sebentar lagi akan ada tes bakat sihir. Seluruh siswa tingkat pertama harus melakukan ujian tertulis tentang teori-teori sihir. Disusul ujian praktek untuk mengetahui kecenderungan bakat elemen sihir setiap anak. Karena itu minggu-minggu ini, para profesor senantiasa mencekoki para siswa dengan banyak sekali ulasan serta latihan.

Meski begitu, khusus hari ini, Talia sama sekali tidak bisa menfokuskan dirinya pada penjelasan Profesor Li. Selain karena materinya membosankan – Talia sudah menghafal setidaknya lima buku Teori Sihir saat di rumahnya –, juga karena pikirannya dipenuhi beragam kecemasan.

Dua penglihatan dalam satu hari. Beban berat itu kini harus ditanggung oleh Talia. Energi sihirnya seperti tersedot habis karena menggunakan kekuatan melihat masa depan dengan begitu ceroboh. Setidaknya Talia harus memberi jeda dua atau tiga hari sebelum mengintip masa depan yang lain. Namun kini, dalam sehari dia justru sudah melihat dua masa depan dari dua orang yang berbeda. Terlebih masa depan yang dilihatnya sangat mengganggu pikiran.

“Apa kau baik-baik saja? Wajahmu pucat,” bisik Kyle di sebelah Talia.

Gadis itu masih menatap nanar ke arah papan tulis. Profesor Li mengoceh panjang lebar tentang sejarah pembinasaan kaum penyihir sebelum era kekaisaran Ramona. Ilmu sihir baru diakui dan diterima keberadaannya setelah Kaisar Dionisus dari kerajaan Azov mulai melakukan ekspansi dengan bantuan para penyihir. Ia menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di benua ini entah dengan cara berperang ataupun diplomasi, hingga akhirnya menyatukan semuanya dan membangun kekaisaran Ramona.

Kini, kekaisaran Ramona telah berdiri selama lebih dari dua ratus tahun, tepatnya dua ratus empat puluh tiga tahun. Dan selama itu pula ilmu sihir menjadi pelajaran yang legal dipelajari oleh anak-anak dengan bakat sihir.  

“Hei, Talia,” bisik Kyle sekali lagi, sambil menyentuh siku Talia menggunakan pena bulunya.

Sentuhan Kyle akhirnya membuyarkan pikiran Talia sejenak. Ia menatap teman sebangkunya itu dan melihat ekspresi cemas tergambar di wajahnya. Gadis itu menggeleng pelan.

“Aku tidak apa-apa,” bisiknya setengah hati.

Akan tetapi, Kyle tahu kalau Talia berbohong. Gadis itu jelas tidak baik-baik saja. Kyle mencoba menebak rencana jahat Ludwig yang tadi pasti sudah dilihat oleh Talia. Selain itu, Talia juga tanpa sengaja sudah menyentuh tangannya saat sarapan. Kyle yakin Talia pasti juga melihat sesuatu dari masa depannya. Hal yang pasti sangat mengganggu sampai membuat gadis itu menangis.

Ingin rasanya Kyle membawa Talia pergi dari kelas dan menenangkan gadis itu, berkata bahwa semua pasti baik-baik saja asalkan Talia bersedia menceritakan kegundahannya. Namun Kyle tidak ingin membuat Talia merasa tidak nyaman. Talia mungkin punya alasan tersendiri kenapa tidak bisa menceritakan masa depan yang baru saja dilihatnya. Biasanya Talia akan langsung bicara pada Kyle jika ada sesuatu yang mengganggunya, bahkan saat pelajaran sekalipun. Namun kali ini gadis itu justru terlihat begitu murung dan sedih.

Kyle akhirnya berinisiatif untuk membujuk Talia melalui surat kecil yang dia tulis di ujung perkamennya.

Jangan khawatir. Apa pun rencana Ludwig, aku pasti bisa mengatasinya. Serahkan saja padaku. Tulis Kyle pada lembaran perkamen kecil.

Talia menerima perkamen tersebut, yang diulurkan Kyle langsung ke hadapannya. Gadis itu membaca tulisan Kyle yang rapi dan indah. Bahkan huruf-hurufnya melengkung sempurna.

Setelah membacanya, Talia hanya bisa menarik napas berat. Secara pribadi, Talia mempercayai kemampuan Kyle. Ia juga tahu bahwa sejak kecil Kyle sudah terbiasa menghabisi monster-monster yang dikirim oleh kakaknya. Namun khusus untuk rencana Ludwig kali ini, Talia tidak yakin Kyle bisa membantunya secara langsung. Entah bagaimana, Talia merasa harus bisa menghadapi monster kiriman Ludwig dengan tangannya sendiri. Sampai kapan ia harus bergantung pada Kyle?

Pemikiran tersebut muncul terutama setelah melihat masa depan Kyle pagi tadi. Itu adalah visual yang jauh lebih mengkhawatirkan bagi Talia. Kyle jelas-jelas terjun dari atas tebing hingga jatuh dan tewas dengan tubuh remuk. Mengingat kembali pemandangan itu membuat dada Talia kembali sesak. Rasanya sangat menyakitkan melihat Kyle terluka separah itu.

Padahal belum ada satu tahun mereka berteman dan menjadi dekat, namun ikatan yang dirasakan Talia ternyata sudah sedalam ini. Gadis itu memejamkan matanya sambil menggeleng pelan, berusaha untuk menghapus ingatan akan tubuh Kyle yang hancur menghantam tanah. Namun visual tersebut justru terlihat semakin jelas di benaknya. Sekuat tenaga, Talia menahan air matanya. Ia tidak ingin membuat keributan di kelas.

“Talia Ortega, apa kau memperhatikan?” suara Profesor Li membahana menembus telinga Talia. Namanya disebut. Apa sang profesor menyadari kalau dirinya sama sekali tidak memperhatikan pelajaran sedari tadi?

“Ma, maaf, Profesor. Sepertinya saya kurang enak badan,” kilah Talia mencari alasan. Kini seluruh anak di kelas menatapnya ingin tahu. Memang bukan sekali dua kali Talia mendapat teguran dari para guru, tetapi sejak kejadian penyerangan Dirlagraun, Talia semakin menjadi pusat perhatian.

Sang profesor menatap Talia dengan sedikit ragu. Normalnya Profesor Li akan membuatnya membuat esai tentang materi pelajaran hari itu saat Talia kedapatan tidak memperhatikan pelajaran. Akan tetapi, sekali lagi, sejak musibah penyerangan Dirlagraun, sikap para profesor terhadapnya pun turut melembut.

“Kalau begitu pergilah ke ruang kesehatan. Gothe, apa kau bisa mengantar Lady Ortega?”

Talia terkesiap. Ia tidak menyangka kalau Profesor Li bisa melepasnya semudah ini. Akan tetapi, Kyle dengan sigap sudah menyahut, tanpa mempedulikan keterkejutan Talia, seolah memang sudah menunggu momen ini sedari tadi.

“Baik, Profesor. Saya akan mengantar Lady Ortega ke ruang kesehatan,” ujar Kyle sembari bangkit berdiri.

Talia masih sedikit terbengong-bengong karena bisa melewati hukuman sang profesor. Namun karena Kyle sudah menunggunya, maka gadis itu pun turut berdiri dan berjalan mengikuti Kyle keluar kelas.

Mereka berdua berjalan dalam diam, melewati lorong-lorong Departemen Enchanter yang sunyi, karena ruangan kelas lain di lantai tersebut memang belum digunakan. Setiap angkatan memiliki empat kelas utama di setiap lantai, sesuai elemen utama bakat mereka masing-masing. Saat awal masuk Akademi, seluruh siswa tingkat pertama disatukan dalam satu kelas besar yang berisi lebih dari seratu siswa sekaligus. Mereka diajarkan mengenal sihir dasar beserta seluruh teori dan sejarahnya.

Tiga bulan kemudian, diadakanlah tes bakat sihir, yang nantinya akan memecah kelas besar tersebut menjadi empat kelas sesuai bakat terkuat dari setiap enchanter.Empat kelas tersebut adalah kelas elemen air, kelas elemen api, kelas elemen udara, dan terakhir kelas elemen tanah. Setiap enchantermemang bisa menggunakan keempat elemen tersebut. Namun mereka biasanya akan memiliki salah satu elemen yang lebih menonjol. Hal itu akan terlihat saat tes bakat sihir nanti.

Pengecualian terjadi pada anak-anak dengan dua elemen spesial: elemen gelap dan cahaya, seperti Kyle. Jumlah mereka sangat sedikit dan langka. Bahkan dalam satu angkatan belum tentu ada anak yang memiliki salah satu dari kedua elemen tersebut. Karena itu, anak-anak seperti Kyle dibebaskan untuk memilih salah satu dari keempat kelas elemen dasar tadi.

“Apa kau keberatan untuk menceritakan masa depan yang kau lihat tadi?” tanya Kyle memecah kesunyian.

Talia melirik pemuda itu. Kyle tampak cemas, seperti dirinya juga. Hari ini Talia memang begitu pendiam, tidak seperti biasanya. Gadis itu menimbang-nimbang sejenak. Toh pada akhirnya ia tidak mungkin menyimpan semuanya sendirian. Lebih baik ia bicara jujur pada Kyle. Setidaknya tentang rencana jahat kakaknya.

“Aku melihat Ludwig berencana untuk mencelakaiku saat malam. Di asrama,” ucap Talia memulai kisahnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top