22. Luka

Talia hendak melesat keluar ruang makan ketika tiba-tiba tubuhnya menabrak sesesorang. Rupanya Kyle muncul dengan wajah cemas.

“Talia?” kata Kyle lega.

“Aku baru mau mencarimu, Kyle.” Talia pun tak kalah lega. “Apa Susan bersamamu?” lanjutnya.

“Apa dia harus bersamaku? Aku tidak peduli padanya. Kau kemana saja? Kenapa pergi sendirian,”

“Memangnya aku tidak boleh pergi sendirian? Akhir-akhir ini aku tidak punya ruang untuk diriku sendiri,” protes Talia sembari berjalan menuju meja makan.

Kyle mengikutinya sembari memperhatikan seluruh tubuh Talia dari atas ke bawah, memastikan kalau gadis itu tidak terluka. “Bukan begitu. Kita tidak tahu apa yang direncanakan oleh Ludwig.”

Talia sedikit ragu untuk menceritakan penglihatannya barusan. Ia mencoba mencari cara agar tidak perlu memberitahukan tentang Kristal menghilang yang dia gunakan. Talia merasa Kyle akan marah besar kalau Talia mengatakan yang sejujurnya.

“Kenapa diam saja? Kau tahu sesuatu?” selidik Kyle seolah membaca pikiran Talia.

Kenapa pemuda itu peka sekali.Pikir Talia dalam hati. Mereka berdua sudah duduk bersebelahan di meja makan. Talia pura-pura fokus menyendok buah potong segar yang ada di depannya sambil memutar otak mencari alasan.

“Sebenarnya tadi aku tidak sengaja bersentuhan dengan Ludwig saat datang ke sini,” gumam Talia pelan.

Kyle mengerutkan alisnya. Bukan karena ia tidak mendengar kalimat Talia, tetapi karena kemungkinan terjadinya kejadian itu sangat kecil, mengingat Ludwig selalu dikelilingi teman-temannya. Meski begitu, Kyle memutuskan untuk tidak melanjutkan kecurigaannya.

“Lalu? Apa kau melihat sesuatu?” tanyanya kemudian.

Talia mengangguk ragu-ragu. Rencana Ludwig kali ini sepertinya akan sedikit sulit ditangani. Ludwig berusaha menyerang Talia di asrama, yang mana artinya Kyle tidak akan bisa melindunginya. Asarama mereka berada sangat jauh, terpisah oleh lapangan rumput dan danau. Selain itu Ludwig juga melakukannya saat tengah malam, entah di hari apa. Tidak mungkin Kyle harus berjaga setiap malam di belakang asramanya.

Talia melirik ke arah meja anak-anak Beast Tamer. Dilihatnya Ludwig sudah tidak membentak-bentak peri rumah tangga lagi. Peri itu sudah pergi entah kemana. Selama sepersekian detik menatap, mendadak arah pandangan Ludwig beralih padanya. Mereka berdua bertemu mata seakan Ludwig menyadari tatapan tajam Talia. Gadis itu buru-buru memalingkan wajahnya dengan gugup.

Pandangan Ludwig yang sedingin es membuatnya menggigil. Belum lagi ingatan akan kata-kata Ludwig yang tadi dia dengar secara tidak sengaja. Ludwig tertarik untuk membunuh Talia karena Kyle sudah pernah berusaha melindunginya.

“Bukankah lebih menyenangkan menghancurkan sesuatu yang berharga milik orang lain?”

Kata-kata Ludwig itu membuat Talia bergidik. Tidak diragukan lagi, putra sulung keluarga Gothe memang seorang sosiopat.

“Kenapa kau diam saja? Bagaimana dia berencana melakukannya? Katakan saja sekarang sebelum Muela tiba,” desak Kyle kembali terlihat cemas.

Sayangnya desakan Kyle itu sudah terlambat. Susan datang dengan tergopoh-gopoh menuju meja tempat mereka berdua duduk. Gadis itu juga terlihat lega saat melihat Talia sudah duduk manis bersama Kyle.

“Apa kau tahu kemana saja aku mencarimu? Aku sampai harusbertanya pada semua orang yang kutemui sepanjang jalan, termasuk di perpustakaan. Kau tidak ke perpustakaan, kan?” cecar Susan begitu ia berhasil duduk di hadapan Talia dan Kyle.

Talia mencoba menahan ekspresinya agar tetap datar. Bertanyadalam versi Susan artinya adalah menggunakan kemampuan manipulasi kepada orang lain. Susan jelas yakin kalau memang tidak ada jejak-jejak Talia di perpustakaan. Apa yang harus dikatakan oleh Talia untuk mengelak? Teman-temannya ini lambat laun membuat Talia sesak. Tidak Kyle, tidak Susan, mereka berdua seolah justru merenggut kebebasan Talia dan membuat gadis itu sulit bergerak sampai-sampai terpaksa berbohong seperti ini.

“Kau sadar apa yang sudah kau lakukan, Muela? Kau sudah membuat Talia tidak nyaman. Kalau kau menyebut dirimu sebagai teman, seharusnya kau bisa menghargai privasinya. Bukan urusanmu dia mau pergi kemana pun yang dia mau,” bentak Kyle tegas.

Susan tidak memprediksi bantahan Kyle. Bukankah pemuda itu juga sama khawatirnya dengan dirinya?

“Kau … bisa-bisanya berkata seperti itu. Aku bertanya karena aku peduli. Memangnya kau tidak khawatir? Kau bahkan mencari Talia seperti orang gila sepagian tadi,” sergah Susan tidak terima.

“Tentu saja aku khawatir. Tapi kalau Talia sampai harus menghindariku dengan sengaja seperti ini, itu artinya aku sudah membuatnya sangat tidak nyaman,” bantah Kyle tak mau kalah.

Susan mendengkus kesal lantas melipat tangannya. Gestur yang menunjukkan kalau dia tidak ingin mengalah dalam perdebatan ini.

“Kau sendiri tahu kenapa kita melindungi Talia sampai seperti ini. Daripada bicara omong kosong, sebaiknya kau urus kakakmu yang berbahaya itu,” geram Susan tajam.

Rahang Kyle mengeras menahan amarah. Ia paling tidak suka kalau ada anak yang menyinggung tentang keluarganya.

“Sudah cukup!” pekik Talia melerai pertikaian tersebut. Gadis itu menggenggam jemari Kyle yang sudah terkepal. Kalau dibiarkan mungkin Kyle akan menghancurkan meja makan dengan kekuatan pukulannya. Karena itu Talia berusaha menenangkan Kyle dengan sentuhannya.

Sayangnya hal itu justru membuat Talia kembali terlempar ke penglihatan masa depan Kyle.

“Kekuatan ini sulit dikendalikan. Apa aku harus memakai sarung tangan setelah ini?” gerutu Talia sembari melihat telapak tangannya. Sebelum berada di Akademi, Talia tidak perlu banyak berinteraksi dengan orang lain. Karena itu ia jarang menyentuh siapa pun. Namun setelah menjadi siswa Akademi, sepertinya ia harus lebih berhati-hati lagi dengan sentuhannya.

Gadis itu kini berdiri di tepi sebuah jurang. Ia sepertinya pernah melihat tempat itu. Talia menyapukan pandangannya ke sekitar. Pepohonan rapat tumbuh di belakangnya, sementara itu di ujung tebing, Talia mendapati sesosok pemuda sedang berdiri diselimuti aura gelap: Kyle.

“Kenapa Kyle ada di sini? Ini kejadian setelah kekuatan gelapnya meledak atau sebelumnya?” gumam Talia pada dirinya sendiri.

Gadis itu pun berjalan mendekati Kyle. Namun, belum sampai dua langkah, pemuda itu tiba-tiba menjatuhkan diri dari atas tebing. Talia memekik keras karena terkejut.

“Kyle!” serunya sambil berlari ke ujung tebing.

Saat melihat ke bawah, pemandangan mengerikan menyambut Talia. Tubuh Kyle yang bersimbah darah dan penuh luka. Kyle tewas.

Talia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata besar-besar tidak dapat dia bending lagi, menetes deras membasahi seluruh wajah. Tak lama kemudian pandangannya berubah gelap. Talia mengerjap, lantas kembali menemukan dirinya berada di ruang makan dengan Kyle dan Susan menatapnya.

“Talia, kau menangis?” ucap Susan diiringi ekspresi wajahnya yang berubah khawatir.

Talia terkesiap dan menyadari kini air matanya mulai menetes perlahan di pipi.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu terganggu. Lain kali aku tidak akan membuatmu merasa tertekan lagi. Katakan saja padaku kalau kau memang sedang ingin sendirian,” lanjut Susan yang kini mulai berubah panik. Talia adalah teman pertamanya. Ia tidak ingin kehilangan Talia gara-gara tingkah konyolnya.

“Aku tahu kalian melakukan hal ini karena mengkhawatirkanku. Terima kasih karena sudah melakukannya. Aku senang karena memiliki teman yang begitu peduli padaku. Hanya saja, kadang-kadang aku juga ingin menghabiskan waktu untuk diriku sendiri. Jadi kumohon kalian mengerti,” ujar Talia langsung memanfaatkan keadaan.

Meski begitu hatinya tetap merasa sesak setelah melihat masa depan Kyle tadi. Talia melirik Kyle yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu jelas tahu apa yang baru saja dialami Talia. Akan tetapi Kyle tidak mencoba mengatakan apa pun. Pemuda itu hanya menggenggam erat jemari Talia yang gemetaran. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top