19. Sihir Api

Dari semua pelajaran sihir, yang paling sulit dikuasai Talia adalah kemampuan mengendalikan elemen api. Entah kenapa Talia merasa dirinya tidak cocok dengan api. Hawa panas yang ditimbulkan membuat Talia merasa tidak nyaman. Ia juga tidak terlalu mahir dalam membuat lidah api tetap menyala di atas telapak tangannya, bahkan sekedar di jari telunjuknya.

Hari ini, jam pelajaran Profesor Litchberg sudah memasuki tahap praktik sihir. Sebelumnya Talia hanya mempelajari teori dasar elemen api. Namun pagi itu, kelas mereka disambut dengan tugas praktek membuat lidah api di tangan. Sejak beberapa bulan berada di akademi, baru kali itu Talia serius belajar. Ia tahu bahwa sihir api adalah kelemahannya. Suasana kelas yang biasanya sejuk kini terasa gerah karena masing-masing anak mulai membuat kobaran api yang menyala-nyala di tangan mereka.

"Konsentrasikan seluruh energi ke telapak tangan sambil membayangkan lidah-lidah api yang berkobar. Jangan terlalu besar. Kecil pun tak masalah, seperti nyala lilin yang tenang," ujar Profesor Litchberg sembari mempraktekkannya sendiri di tangan.

Kobaran api berwarna merah menari di telapak sang profesor, membuat kacamata perseginya berkilat-kilat. Profesor Litchberg lantas membuka tangannya yang lain lalu membuat lidah api serupa, semudah membalikkan tangan. Kini dua kobaran api itu menari-nari seirama dan tampak indah jika dilihat.

Talia juga ingin bisa melakukannya. Namun setiap kali memikirkan kalau api itu akan membesar dan membakar tubuhnya, konsentrasinya kembali buyar. Berbeda dengan elemen lain seperti air, angin, atau tanah, ketiganya tidak menimbulkan bahaya yang terlalu signifikan jika dikeluarkan dalam jumlah besar. Energi sihir Talia tidak sebanyak itu hingga bisa menciptakan air bah atau angin ribut.

Akan tetapi, elemen api sedikit berbeda. Kekeliruan kecil bisa membakar perkamen di bukunya, lalu menjalar ke meja kayu yang juga mudah terbakar. Api bagai pemangsa yang memakan segala hal dengan cepat. Karena itu Talia selalu sangat berhati-hati saat mencoba mengendalikan elemen tersebut.

Talia mencoba kembali berkonsentrasi pada telapak tangannya. Kini seluruh jari-jarinya berwarna putih pucat karena tekanan mental yang diberikan oleh sang pemilik. Lima menit berlalu, tidak ada yang terjadi. Sepuluh menit kemudian, Talia menyerah. Gadis itu lantas menyapukan pandangannya ke seluruh kelas. Ternyata tidak semua teman-temannya berhasil. Sebagian besar menghanguskan perkamen mereka, dan nyaris mengubah meja kayu menjadi arang. Seorang anak laki-laki yang bernama Sean bahkan membakar seluruh lengannya dan membuat jubahnya tersisa separuh saja.

"Bayangkan kalau api itu adalah temanmu. Dia menari-nari cantik untuk membuatmu terhibur," ujar Kyle yang melihat Talia tidak melakukan progres berarti.

Talia menoleh pada teman sebangkunya. Di kedua telapak tangan Kyle kini menyala dua kobaran api berwarna gradasi biru gelap di bagian tengah dan biru muda di sisi-sis luarnya. Baru kali ini Talia melihat api yang berwarna seperti itu.

"Kenapa apimu berwarna biru?" tanya Talia takjub.

"Karena elemen gelap yang kumiliki mengubah warna cerahnya," jawab Kyle.

"Sangat cantik. Apa tidak panas?" tanya Talia lagi sembari mendekatkan tangannya untuk merasakan kehangatan api biru milik Kyle. Rupanya lebih panas dari api biasa.

"Ini sedikit lebih panas. Api berelemen gelap tidak bisa padam sebelum melalap habis targetnya," terang Kyle sembari mengatupkan telapak tangan dan memadamkan api biru itu seketika. Ia khawatir kalau Talia bisa terluka karena terlalu dekat mengamati.

"Wah, kenapa dimatikan. Padahal aku ingin melihat lebih jelas," keluh Talia kecewa.

"Berbahaya. Sebaiknya kau fokus pada latihanmu. Coba buka tanganmu," timpal Kyle.

Talia menurut. Ia membuka telapak tangan kirinya dan kembali mecoba menfokuskan energi sihir ke titik tersebut. Namun bayangan api yang membesar dan membakar tangannya membuat konsentrasi Talia kembali buyar.

"Anggap api itu adalah temanmu. Teman kecil berwarna merah yang cantik. Dia menari di tanganmu dengan gembira sambil tersenyum padamu," saran Kyle memberi sugesti.

Talia mengikuti panduan yang diberikan oleh Kyle. Ia mencoba menvisualisasikan sesosok lidah api dengan wajah menggemaskan yang menari-nari di atas telapak tangannya. Lidah api itu ramah, bersahabat dan tidak berbahaya sama sekali. Ia hanya kobaran kecil yang cantik.

Beberapa saat membayangkan, tiba-tiba sepercik api muncul di tangan Talia. Gadis itu begitu terkejut dan buru-buru menarik tangannya dengan terkepal.

"Jangan takut. Alirkan energimu secara perlahan. Konsepnya sama seperti saat kau membuat sihir elemen yang lain. Mengalir seperti air, bebas seperti angin, stabil seperti tanah dan hangat seperti api. Lakukan secara perlahan dan percaya saja pada kemampuanmu," ujar Kyle sembari mengalirkan energi sihirnya ke tangan Talia dengan lembut.

Energi sihir Kyle membantu menstabilkan energi Talia.

"Bagaimana kalau apinya muncul terlalu besar?" tanya Talia gugup.

"Aku akan menetralkannya dengan sihirku," jawab Kyle sembari terus mengalirkan energi sihirnya ke telapak tangan Talia. "Lakukan perlahan."

Talia menurut. Ia kembali mengulang arahan Kyle dan mengalirkan energi sihirnya pelan-pelan sambil membayangkan lidah api menggemaskan menari di hadapannya. Percikan kemerahan kembali muncul. Talia menahan keinginan kuatnya untuk menggenggam. Ia merasa lebih tenang karena ada energi Kyle yang menstabilkannya. Sekali lagi ia berkonsentrasi. Percikan itu membesar perlahan hingga membentuk kobaran sebesar api pada ujung lilin.

"Aku berhasil, Kyle!" pekik Talia girang.

"Lanjutkan sedikit lagi," perintah Kyle mendorong Talia untuk memperbesar ukuran apinya.

Talia menarik napas panjang dan kembali mengalirkan energi sihirnya. Lidah api itu membesar beberapa inci secara perlahan. Rasanya sama sekali tidak panas. Justru hangat dan nyaman. Api itu tidak berbahaya dan menari-nari dengan indah di telapak tangan Talia.

"Oke, sebesar ini saja," ucap Kyle setelah lidah api Talia berada di ukuran yang tepat. "Pertahankan ukuran ini. Aku akan melepaskan energi sihirku pelan-pelan. Tetap tenang dan jangan panik."

Talia mengangguksingkat. Gadis itu pun mulai mengatur napas agar aliran energi sihirnya tetapstabil. Sementara itu Kyle menarik tangannya sendiri dan menghentikan aliranenergi sihirnya. Lidah api Talia tetap bertahan pada ukuran sebelumnya sekalipun Kyle tidak membantunya.

"Bagus. Kau berhasil. Mudah, kan?" tanya Kyle sembari tersenyum puas. Pemuda itu lantas mengusap kepala Talia dengan bangga.

Talia balas tersenyum pada teman sebangkunya. "Terima kasih, Kyle," ucap Talia lega.

"Kau bisa menggunakan sihir api itu ketika berada dalam keadaan berbahaya. Tidak apa-apa mengeluarkan bola api yang besar jika kau berada dalam kondisi mendesak," nasehat Kyle kemudian.

Talia segera menangkupkan telapak tangannya dan memadamkan kobaran api itu seketika. "Kenapa tiba-tiba membahas hal itu?" tanya Talia yang melihat ekspresi cemas Kyle.

"Entahlah. Aku merasakan firasat buruk. Beberapa hari belakangan terlalu tenang. Mungkin Ludwig sedang merencanakan sesuatu. Rasanya seperti keheningan sebelum badai besar. Kita sebaiknya waspada," ungkap Kyle.

Sejujurnya Talia juga merasakan hal yang sama. Ia selalu gelisah sejak masuk di akademi. Masalah selalu datang silih berganti karena ia terlalu ikut campur dalam masalah orang lain. Sayangnya masalah-masalah itu memang akan memengaruhinya di masa depan. Jadi Talia memang mau tidak mau harus menghadapinya. Semakin cepat semakin baik. Setidaknya Talia sudah punya rencana. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top