Chapter 5
BAB V
Akhirnya Bertemu Mama
*
Hari yang sibuk, matahari baru saja bertengger di langit cerah dan biru, tetapi suasana memukau itu kalah dengan keadaan rumah Harata yang sedang mengalami cekcok kecil karena ulah si bungsu. Siapa lagi? Tentu saja satu-satunya gadis di kediaman ini. Harata Hoshi—sebagai sang Sulung di keluarga sampai dibuat pusing, adiknya terus menterornya dengan berbagai pertanyaan. Bukan hanya itu, ada perasaan tersayat ketika mendengar perkataan Siera, ketika sang Adik menceritakan mimpi yang didapatkan kemarin malam, hingga langsung memberikan pertanyaan yang paling dihindari Hoshi.
"Kak Hoshi, ayo jawab?" tanya Siera penasaran, wajahnya memelas dan terlihat antara kesal dan sedih.
Hoshi berpura-pura tidak mendengar dan berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan Siera di lengannya. Gadis itu masih bersikeras, untuk menanyainya mengenai sesuatu yang tak bisa diberitahukan Hoshi, khusunya kepada sang Bungsu. Ia tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti, ia tak mau khayalannya menjadi kenyataan jika ia membeberkan prihal ini.
"Kak, kenapa Mama tidak tinggal bersama kita saja? Memangnya Mama sakit apa, sih? Aku ingin menjenguk juga, selama ini tidak pernah menjenguk 'kan. Aku ingin lihat wajahnya, juga ingin mendengar suara Mama, Kak." Siera berkata teramat lirih. Napasnya dihela, dan mencoba menatap sorot mata kakaknya yang terlihat khawatir entah karena apa?
Terdiam dan tak tahu harus berkata apa, Hoshi hanya bisa menghela lelah. Dengan semua beban yang ditanggung di pundak kokohnya, kemudian berpikir apalagi yang harus dikatakannya kepada Siera? Sudah cukup kebohongan yang ia ciptakan selama ini.
"Maaf, Siera. Untuk sekarang ini, sebaiknya jangan menjenguk Mama dulu. Sudah aku jelaskan, bukan? Kalau Mama kita mengalami gangguan psikis setelah kematian Papa. Ketika sudah sembuh nantinya, pasti Mama akan tinggal bersama kita lagi, ok." Tersenyum hangat dan mencoba meyakinkan Siera, sebelah tangannya pun digerakkan ke kepala sang Adik, mengelusnya dan menatap adiknya itu dengan lembut.
"Apa sakitnya tidak terlalu lama, Kak? Sudah lima belas tahun lebih, bukan?" keraguan jelas terlihat di raut wajah Siera. Ia sendiri bingung kenapa ibunya bisa selama itu berada di rumah sakit.
Bagaimana pun, Siera semakin hari terus berkembang kemampuan berpikirnya layaknya anak-anak yang sudah tumbuh ke masa dewasanya, tentu bukan hanya tubuhnya tetapi juga kemampuan analisisnya.
"Tahukah kau, Siera? Penyakit psikis itu lebih susah disembuhkan daripada penyakit fisik. Itu sebabnya, kita harus selalu bersabar dan mendoakan kesembuhan Mama kita, ok."
Tak tahu harus memberi alasan apa lagi kepada Siera, ia pun mengatakan hal yang menurutnya akan menurunkan kecurigaan adiknya itu. Lagi pula, yang dikatakannya kali ini bukanlah kebohongan belaka, memang benar mamanya menjadi tidak waras dan berada di rumah sakit jiwa, tetapi penyebabnya bukan karena kematian ayah mereka. Penyebabnya adalah Siera sendiri.
"Aku mengerti, Kak."
"Baiklah, sekarang tolong panggilkan Sanosuke untuk segera sarapan, Sie."
*
Halaman sekolah sudah terpampang di depan mata, Siera dan Sanosuke yang baru saja turun dari mobil pun berjalan santai sambil memperhatikan para murid lainnya. Celangak-celinguk kepala itu karena mencoba mencari orang yang dikenalinya, ia ingin bersama-sama berjalan dengan teman baru untuk menuju ke ruang kelas mereka.
"Inoe!" teriak Siera nyaring saat melihat gadis yang adalah teman sebangkunya dari kejauhan, ketika ia dan Sanosuke baru setengah melewati halaman depan gerbang sekolah. Dengusan tawa Sanosuke terpampang indah karena mendengar suara Siera yang menggelegar tadi, tak hanya membuat Inoe yang dipanggil langsung menoleh ke arahnya, banyak orang yang berjalan menuju gedung sekolah pun mengalihkan atensi mereka ketika mendapati keributan yang diperbuat adik kembarnya itu. Gelengan kepala dan hela napas dilakukan Sanosuke, kadang ia sendiri cukup terhibur dengan sifat Siera yang sulit diprediksi, sepeti pagi ini.
Kembar Harata itu sudah bersekolah di sini selama beberapa minggu lebih dan Siera benar-benar sudah lupa dengan kekesalannya karena didaftarkan. Tentu saja, siapa sangka ia akan mendapatkan banyak teman baik di sekolah barunya, sebut saja sang Gadis bernama Inoe yang sekarang berlari ke arah mereka.
Ketika para gadis sudah bertemu, maka mereka memilih memisahkan diri dari Sanosuke. Siera dan Inoe berjalan di depan, para gadis itu sedang asik berbicara mengenai sekolah mereka ini. Sedangkan Sanosuke, hanya memperhatikan dengan diam dan senyum kecil di bibir.
Bersekolah di sini, Siera tak hanya akrab dengan Inoe yang dijadikannya sebagai sahabat, tetapi ia juga menjadi sangat dekat dengan Ken yang memiliki sifat periang dan gampang bercengkerama dengan siapa saja.
Tidak ada yang menyangka bahwa Ken sudah seperti menjadi kakak kedua jikalau Sanosuke tidak ada di sampingnya. Dan tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Sanosuke.
Entah bagaimana ceritanya? Ken dan Siera bisa sangat dekat. Semua ini terjadi saat Ken menceritakan dan menanyakan hal yang sebenarnya kepada Siera, ketika pemuda itu melihat untuk kesekian kalinya ada aura aneh yang mengelilinginya saat sedang marah. Ia awalnya bersikeras kalau tidak ada yang aneh, tetapi akhirnya ia pun memberitahukan bahwa yang dilihat Ken itu memang benar ada. Dan Siera menjelaskan kalau itu adalah pelindung, walau sebenarnya Ken berpendapat lain di dalam benak.
Ya, Ken melihat apa yang ada pada diri Siera bukan sebagai pelindung atau hal baik, tetapi lelaki bertampang Eropa itu melihat ada aura gelap yang sangat kuat bersarang di tubuh Siera, dan itu adalah aura negatif yang berasal dari dunia kegelapan.
Dunia Iblis.
*
Duduk di kursi kebesarannya, lelaki beramut cola dan ikal dengan mata cokelat hazel terlihat termenung dan menatap kosong dinding kantor. Sebagai seorang kakak, ia benar-benar memikirkan bagaimana perasaan Siera tadi. Dari apa yang bisa ditangkapnya, sangat terlihat jelas pada diri Siera keinginan yang kuat untuk bertemu dengan mama mereka, dan kerinduan dengan gamblang tercetak di binar mata adiknya.
Hoshi menghela napas dengan gusar, wajahnya sekarang menengadah dengan mata yang terpejam.
"Kau terlihat sangat kacau, Teman?" suara tak asing masuk ke pendengaran Hoshi, ada seorang lelaki yang berbicara, langkah kaki langsung mengarah ke dalam ruangan dan mendekat ke meja kekuasaannya. Kelopak mata terbuka, hazel terlihat dan memandang pria seusianya dengan rambut eboni terpangkas rapi, senyum kecil dan terlihat sinis selalu menjadi ciri khas lelaki yang baru datang itu, kacamata bertengger apik di batang hidung mancungnya.
"Aoda? Kapan sampainya?" tanya Hoshi heran, pasalnya yang ia tahu lelaki sulung bemarga Aoryu itu sedang berada di luar kota.
Laki-laki berkacamata kemudian duduk di sofa, wajah lelah tergambar jelas di sana, dengan pakaian yang sudah terlihat santai karena lengan kemeja digulung hingga siku, sebelah tangannya mengambil koran yang ada di meja dan membaca sekilas judul yang terpampang besar di kertas abu rokok tersebut. Dari mejanya, Hoshi melangkah dan ikut duduk di hadapan sang Sulung Aoryu.
"Tadi pagi aku sampai, dan ke sini karena hanya ingin menyapamu." Senyuman tipis terukir, ramah suara sang Aoryu terdengar merdu dan tak seperti wajahnya yang terlihat datar.
Dan akhirnya kedua orang sahabat itu pun membicarakan banyak hal bersama karena sudah cukup lama saling tak jumpa. Pembicaraan yang awalnya hanya sebatas basa-basi, seperti menanyai kabar, kondisi keluarga atau masalah ekonomi dan perusahaan, kini semakin terfokus ke arah yang lebih serius, setelah Hoshi membicarakan niatnya karena ingin membawa pulang ibunya dari rumah sakit agar bisa mempertemukan dengan Siera.
"Kau serius, ingin membawa ibumu pulang? Apakah dia sudah sehat?" tanya Aoda dengan alis yang berkerut dalam.
"Ya, mungkin ini sudah saatnya. Lagi pula, kejadian itu sudah sangat lama. Kasihan Siera." Hoshi berucap sambil menatap foto Siera, Sanosuke dan dirinya yang ada di dinding. Laki-laki berusia sama dengan Aoda itu terlihat lelah karena permasalahan yang terjadi di dalam keluarganya
"Baiklah, jika itu keputusanmu, dan kalau kau mau, aku akan membatu membawa ibumu pulang nantinya."
"Tidak perlu, aku akan pergi bersama Sanosuke. Kau sebaiknya istirahat, lihatlah keriput di wajahmu sudah semakin parah." Lelaki berwajah awet muda itu menyeringai, hazelnya berkilat.
"Keparat kau, Baby doll." Bagaimanapun keren dan mempesonanya Aoda dan Hoshi, kedua lelaki dewasa itu akan berkelakuan gila jika sudah berjumpa atau bersama dengan sosok yang dekat dengannya.
*
Memutuskan untuk mengabulkan keinginan Siere, Hoshi pun akhirnya melakukan apa yang telah ia pikirkan matang-matang. Saat itu, mata indah hazel terlihat haru menatap sosok di hadapannya. Dia adalah Siera, tengah menatap sang Mama. Sosok wanita yang tidak pernah dilihat dan ditemui karena memiliki tekanan psikis parah selama belasan tahun. Dan akhirnya, ibunya sembuh dan kembali pulang ke rumah mereka.
Betapa ia merasakan suka cita terus tercurah dari dalam dada, sekarang dapat bertutur sapa dengan orang yang sudah melahirkannya ini. Di kursi sofa, Siera berjarak beberapa langkah dari wanita paruh baya itu. Hanya menatap dan tersenyum karena melihat kemiripan wajah dengan dirinya.
"Mama," bisik Siera, agak ragu dan juga mungkin masih belum siap untuk berbincang dengan sosok yang sejak tadi hanya terdiam dan menatap kosong entah apa.
Melihat tidak ada balasan berarti, Siera pun berjalan mendekat ke arah ibunya yang sedang duduk di samping Hoshi, sedangkan Sanosuke berdiri di samping dirinya. Ia kemudian mendudukkan diri di sofa tepat di samping sang Mama, lalu memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan pelan, kemudian semakin lama semakin mengerat.
"Mama?" lirihnya.
Keharuan terasa menyebar di ruangan keluarga Harata, Sanosuke yang menyaksikan sang Adik begitu bahagia dan masih memeluk orang tua mereka pun tersenyum tipis, sedangkan Hoshi terlihat sudah menarik napas karena menahan gejolak di dada, air mata hampir saja menetes kalau tangannya tak bergerak cepat untuk menghalau. Begitu terasa hatinya teraduk-aduk saat melihat sang Adik yang akhirnya berjumpa dengan mama mereka.
Rasa suka yang mengelilingi perlahan memudar, ketika sang Ibu mengatakan sesuatu yang membuat Siera terhenyak.
"Kau ... siapa?" bibir Mieko berucap lirih, pandangan mata yang nyaris kosong sekarang tengah menatap ke arah anak perempuan berambut gelap panjang itu.
Seperti tertimpa beban teramat berat, tubuh Siera agak menegang ketika mendengar pertanyaan itu.
"Eh, aku ... aku anakmu, Mama." Siera bersuara lirih nyaris gemetar.
Melihat situasi itu, Hoshi pun berbicara dan menjelaskan sesuatu agar menenangkan diri Siera yang terlihat mulai sedih.
"Siera, Mama memang banyak melupakan hal penting, mungkin karena penyakit yang dideritanya. Waktu pertama kali menjenguk, Mama juga tidak mengenaliku." Lengan Hoshi mengusap kepala adiknya, bibirnya menyunggingkan senyum untuk menghibur Siera yang dikuasai kesediahan
"Siapa?" tanya Mieko kembali, kali ini Mieko memperhatikan Siera lebih fokus, suaranya pun lebih ditinggikan lagi.
"Aku ... Siera," ucap gadis itu kembali.
Mendengar suara sang Gadis, Mieko pun memperhatikan Siera intens, menatap wajah sang Anak yang amat mirip dengan dirinya. 'Siera' batinnya.
Ditatap sang Ibu, Siera pun merekahkan senyumannya, hingga mata Mieko teralihkan dari bentuk wajah karena mendengar kembali suara Siera.
"Harata Siera, adik Kak Hoshi dan kembaran dari Sanosuke," lanjutnya melengkapi ucapan.
Mieko melihat Siera dari ujung kepala sampai ke kaki, rambut, mata cenderung cokelat, dan senyuman yang mengerikan, itu adalah ciri khas dari Siera—anaknya yang seharusnya sudah dimusnahkan dan mati.
Tiba-tiba Mieko terbelalak, tubuhnya bergetar dan keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Seketika sekelebat ingatan bertahun-tahun lalu bermunculan di memori otaknya. Dan tiba-tiba ia menjerit histeris, membuat mereka yang ada di rumah itu terkejut bukan main.
"Huaaa! Iblis! Pergi dari kehidupanku dan keluargaku! Pergi! Mati kau, Iblis!" suara yang menggelegar dari tenggorokan Mieko begitu memekakkan telinga. Siera yang mendengarnya terkaku dengan tatapan kebingungan, kepalanya ia tolehkan kepada Sanosuke, dan lelaki itu membawa adiknya menuju kamar, sedangkan Hoshi tengah menenangkan mama mereka yang sekarang berteriak semakin histeris.
Suasana menjadi lebih tenang setelah beberapa saat Hoshi mengurus ibunya yang mengamuk setelah melihat Siera di depannya. Tak bisa ia sangka kalau pertemuan ini akan mengakibatkan sang Ibu yang sudah mulai membaik, kembali histeris hanya karena dipertemukan dengan Siera.
Lelaki itu terlihat lelah, kemudian mendatangi adiknya di kamar karena ia yakin sekarang Siera tengah bersedih.
Terlihat Siera duduk meringkuk di sandaran ranjang dengan wajah jauh dari kata baik. Hela napas ia keluarkan, mencoba menenangkan dirinya sebelum memalsukan apa yang tengah dirasa dengan senyuman.
"Mama membenciku 'kan, Kak?" tanya Siera setelah gadis itu menyadari kalau kakaknya sekarang berada di samping, ikut duduk di ranjang bersamanya.
Hoshi hanya diam, kemudian ia tersenyum hangat dan mengelus kepala Siera.
"Saat bertemu denganku, Mama juga berteriak seperti itu. Mungkin, dirinya masih belum terbiasa dengan kita semua." Sebisa mungkin ia menjelaskan prihal berteriaknya Mieko ketika bertatap muka dengan Siera. Lelaki sulung Harata yang masih berada di samping Siera, kini menarik adiknya itu untuk memeluk dan menenangkan sang Bungsu. Ia tak ingin Siera terus bersedih karena mengingat pristiwa menyakitkan tadi.
"Sttt, semuanya akan kembali seperti sedia kala, akan baik-baik saja, Siera."
.
.
.
Sudah satu minggu Ibu mereka tinggal bersama di kediaman keluarga Harata, dan Mieko masih berkelakuan sama seperti saat pertama berbicara dengan Siera. Siera bahkan sempat menangis, kalau saja tidak ada Sanosuke atau Hoshi yang selalu menemaninya dan menenangkannya, ia mungkin akan hilang kendali karena dirinya dikuasai kesedihan. Dan Sanosuke hanya bisa memeluk dan mencium pucuk kepala Siera jika Hoshi tidak ada di dekat gadis itu.
Semenjak kedatangan sang Mama, Siera dan Sanosuke hanya pergi ke sekolah berdua dengan diantar Ibiki. Dan Hoshi menyuruh rekannya untuk mengurus perusahaan keluarga Harata, pria itu harus mengawasi Mieko secara langsung karena tak ingin terjadi sesutu yang buruk.
"Hoi. Kenapa murung terus? Sudah empat hari kau tidak semangat begini." Inoe yang melihat gelagat aneh Siera, pun mulai khawatir. Pasalanya, gadis muda itu tak seceria biasa.
"Iya, Siera. Kalau ada masalah sebaiknya diceritakan, mana tahu kami bisa memberikan solusi." Hanae pun ikut berbicara.
"Benar kata Hanae, Siera," ucap Ken sambil mencubit pipi Siera yang masih murung, lelaki itu langsung menghampiri meja Siera dan Inoe ketika jam istirahat telah berbunyi.
"Jangan dicubit. Dasar kau menyebalkan!" kesal diperlakuan begitu, si gadis pun menggeram, tetapi akhirnya ia malah tertawa karena melihat wajah Ken yang cemberut. Begitulah mereka, Ken hanya ingin membuat mood Siera kembali membaik, itu sebabnya ia menggoda gadis tersenbut.
Sebelum jam istirahat berakhir, Ken mengajak Siera untuk ke suatu tempat. Dia pergi bersama Siera ke atap sekolah, setelah sebelumnya membeli jus di kantin terlebih dahulu.
Mereka menaiki tangga, kemudian Ken membuka pintunya dan mereka pun sampai di atap sekolah.
Mereka duduk sambil menyandar di dinding.
"Ini!" Ken berucap sambil memberikan jus ceri kepada Siera, ia kembali berkata, "Ceritakanlah, Siera." Ken pun meminum jusnya dengna kepala mendongak karena sedang menatap awan yang terlihat menggumpal bagai kapas.
"Aku ... aku sudah bertemu Mama, Ken."
"Wahhh ... benarkah? Akhirnya kau bisa melihat dan bertemu ibumu, pasti kau berbahagia." Ken berbicara riang.
Siera hanya mengangguk.
Gadis itu pun akhirnya menceritakan semua yang terjadi kepada dirinya, mulai dari awal pertemuannya dengan ibunya, ibunya yang kemudian menjerit dan seperti marah juga takut dan ibunya yang seperti tidak menginginkannya di dunia ini. Gadis itu menarik napas, setetes air mata terjatuh, ia hanya menundukkan kepala, hingga tanpa sadar bulir-bulir kristal terus berjatuhan. Punggung Siera bergetar kecil, bibirnya ia gigit agar tak menimbulkan suara.
Melihat Siera menangis, Ken menggenggam tangannya dan mengelus lembut kepala si gadis, lalu membiarkan Siera bersandar di dada sambil kembali membelai pelan rambut dan bahu Siera.
Saat itu, baik Ken dan Siera tidak tahu bahwa sedang menjadi bahan tontonan dari dua orang pemuda yang berdiri di tempat berbeda.
Yang satu berdiri di belakang pintu sambil menunjukkan ekspresi tak suka yang terlihat jelas di matanya, dan yang satu lagi berdiri di samping dinding di sisi lainnya yang tak terlihat dari sudut pandang Ken dan Siera yang sedang duduk, dengan ekspresi datar yang terlihat di mata yang berbeda warna.
Sanosuke dan Takao.
.
.
.
Besambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top