2. Anak Perempuan Berjiwa Iblis

BAB II

Anak Perempuan Berjiwa Iblis

*

Malam hari, angin mengembus helai rambut Siera yang duduk di dekat jendela kamar, di sebelah tangan—ia sedang memainkan bola kaca berisi ratusan butir-butir salju dan kerlap-kerlip bagai sinar lampu dari si kristal. Menggoyangkan ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah untuk melihat sensasi indah pada bola kaca tersebut. Memesona.

Berbeda dengan keindahan di genggamannya, Siera justru menampilkan ekspresi murung. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia cegah, tetapi sangat ia benci ketika telah hadir pada sosoknya. Meski sang Kakak mengatakan, kalau hal ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pelindung dan bukanlah hal yang mengancam keselamatannya.

Padahal malam ini begitu indah, tetapi raut si gadis malah berkebalikan dengan suasana yang tersaji penuh gemintang. Angin kembali menyapa, bertiup dan mengibarkan rambut panjang Siera yang tergerai. Tidak seperti biasanya, rambut Siera kali ini menjadi merah pekat bak baru disiram darah. Bola mata agak gelap dan cenderung kecokelatan juga berubah menjadi rubi, dan yang paling mencolok karena adanya aura kelam keunguan berbentuk ular-ular hitam tengah terbang mengelilingi si gadis.

Ular yang tak seperti hewan pada umumnya, bermata merah bersinar, sisik pekat dan mengeluarka asap hitam. Ketika makhluk itu membuka mulut, akan keluar asap panas yang bisa menyakiti fisik seseorang, walau akhirnya terhalang segel berbentuk huruf kuno yang seperti ikut mengelilingi Siera. Sekitar tiga ekor, seukuran lengan orang dewasa dan terbang mengelilingi satu-satunya perempuan berdarah Harata.

Malam ini, bulan purnama bersinar indah.

*

Tujuh belas tahun lalu, Osaka, Jepang.

Kediaman inti Harata.

Suasana kaku begitu terasa ikut meramaikan dinginnya udara malam, di lantai beralaskan tatami―sebuah matras khas Jepang yang terbuat dari jerami, duduk pasangan suami-istri yang terlihat sangat resah karena kesengajaan yang mereka lakukan. Harata Shino, lelaki berusia tiga puluh tahunan itu memeluk istrinya yang menangis sesegukan karena mendengar apa yang diucapkan oleh para Tetua Klan Harata.

Di luar sana, suhu sedang menurun, angin bertiup cukup kencang hinga membuat daun momoji berguguran, kediaman Harata yang berbentuk istana tradisional Jepang dengan ujung atap lancip, kini menjadi tempat berkumpul untuk merundingkan hal yang nyatanya sulit diterima.

Bagaimanapun sebagai orang tua apalagi seorang ibu, Harata Mieko tetap tak bisa mengiyakan perkataan para Tetua yang terus saja merongrong mereka. Wajah bingung tersirat jelas, semua orang di ruangan diskusi ini mengalami mimik serupa, tak pelak membuat suasana semakin riuh kala istri Shino tetap bersikeras tak ingin melakukan hal yang mereka perintahkan.

Para Tetua sama sekali tak mengira, setelah hampir lima belas abad, hari yang tidak diinginkan ini datang jua, ketika sepasang suami-istri bersikukuh ingin anak mereka lahir, padahal peraturan di klan tak bisa dilanggar. Anak perempuan bermarga Harata tidak boleh dilahirkan, hal ini sudah nyaris lima belas abad dipatuhi.

"Kau tetap harus menggugurkan bayimu, Mieko. Kami meramalkan kalau di dalam rahimmu itu mengandung anak perempuan dan kau tahu konsekuensinya 'kan? Akan sangat berbahaya jika dia sampai lahir di dunia ini." Ketegasan itu tergambar jelas dari suara yang kaku dan raut wajah sang Tetua.

"Ta-tapi, Tetua. Istriku sekarang ini juga mengandung anak laki-laki, bukan hanya anak perempuan. Dan kami tidak ingin menggugurkan anak kami lagi, apalagi di dalam kandungannya ada anak lelaki kami juga." Shino tentu merasa sangat tak becus menjadi seorang ayah karena untuk kesekian kalinya hal ini akan dilakukan lagi. Itu semua karena para Tetua yang meramalkan kelahiran anak mereka.

Tubuh mereka semakin basah oleh keringat, ketakutan karena masa lalu Klan Harata yang telah dikutuk selama belasan abad terus merongrong diri meraka.

"Kita harus memikirkan cara lainya, untuk sementara sebaiknya pertemuan ini disudahi dahulu, lagi pula kandungannya masih berusia dua bulan. Baiklah, kami para Tetua akan mencari jalan keluarnya. Jika sampai usia kanduganmu tiga bulan dan kalian masih belum mendapatkan kabar dari kami, sebaiknya kandungannya segera digugurkan."

Para Tetua membubarkan diri, masalah kali ini cukup rumit karena Shino dan istrinya tidak ingin menggugurkan kandungan lagi. Namun, hal itu tetap harus dilakukan sebagai keharusan, bagaimanapun kutukan yang menjerat mereka tetap berlaku hingga detik ini.

*

Desah napas dikeluarkan, bantingan pintu memekakkan telinga dan mengejutkan orang-orang yang mendengarnya.

"Kutukan sialan, kenapa harus keturunanku dan keluarga ini? Berengsek!" Shino hanya bisa tepekur dengan apa yang terjadi, lelah hati dan pikiran membuat kemurungan tercetak jelas sebagai mimik wajah.

Beberapa saat setelah pertemuan dengan Tetua Klan Harata, mereka memutuskan pulang dan sekarang telah tiba di kediaman pribadi. Tergambar suasana hati suami-istri yang sedang kalut bukan main, bagaimanapun perundingan tadi benar-benar membuat beban mereka menjadi bertambah dengan ketakutan yang selalu menghantui Klan Harata, dan sangat menyiksa batin dua insan tersebut. Dan rasa sakit itu semakin nyata, ketika calon buah hati mereka terpaksa harus digugurkan karena diramalkan berjenis kelamin perempuan yang sejak dahulu sudah terlarang bagi Klan Harata.

"Papa, kenapa?" tanya Hoshi kecil penasaran karena ayahnya kelihatan sedang dalam kondisi pikiran tidak baik. Anak lelaki itu terbangun dari tidurnya dan mengintip melalui celah kamar yang terbuka, ia lalu mendatangi mereka dan berusaha menggali rasa ingin tahu.

Tatapan sarat ingin tahu diarahkan kepada sang Papa dan Mama yang duduk di ruangan keluarga, dengan langkahan malas dan bibir menguap, ia pun menghampiri mamanya yang berwajah teramat sedih.

"Tak apa, Hoshi." Lelaki berumur tiga puluh tahunan itu mendekati anak lelaki, ia lalu mengacak rambut si anak sulung ketika telah duduk di samping tubuhnya.

Pupil mata Hoshi melebar ketika menatap kedua orang tuanya, raut bingung pun terpancar dari binar mata, ia kemudian memiringkan kepala dan mengerutkan alis, mencoba mencari tahu apa gerangan yang tengah terjadi kepada mama dan papanya. Dengan perlahan anak lelaki itu mendekatkan dirinya kepada sang Mama, agar bisa meraih dan memeluk perut yang sudah ia tahu berisi calon adik dan teramat ia tunggu.

"Mama, kapan adik bayi lahir? Hoshi ingin bersama-sama adik bayi." Rasa penasaran itu membuat Mieko hampir menangis kembali, sementara Hoshi hanya mengelus perut ibunya sambil menatap dan tertawa riang.

Mendengar perkataan putranya, membuat Shino benar-benar merasa sesak yang amat sangat, pasalnya sudah dua kali Mieko harus menggugurkan kandungan karena telah diprediksi di dalam rahim sang Istri bahwa sosok bayi berjenis kelamin perempuan yang dikandung, dan mereka sebagai orang tua sangat menyesalkan hal itu, juga merasakan amat sedih ketika melihat Hoshi yang menangis karena tidak jadi mendapatkan adik.

"Sabar, Sayang. Doakan, ya, semoga adik bayinya baik-baik saja." Mieko membujuk anak lelakinya dan mengembangkan lekukan mirip kurva pada bibirnya, hingga matanya menyipit.

*

Tujuh bulan kemudian, seorang lelaki dan seorang anak tengah berada di depan pintu ruang tunggu, semenejak sejam lalu pintu tertutup dengan penanda lampu merah yang berada di atasnya. Wajah lelaki dewasa itu terlihat khawatir, keringat terus saja memenuhi tubuh hingga baju yang dikenakan menjadi cukup basah.

Mencoba menyabarkan diri, ia berjalan mondar-mandir hingga membuat anak lelakinya keheranan. Pasalnya sang Ayah benar-benar tak bisa diam sedari tadi. Yang Hoshi tahu kali ini ia akan mendapatkan dua orang adik kembar, lantas saja ia sangat bahagia mendengar hal itu karena akhirnya ia akan mendapatkan adik.

Pintu yang sedari tadi menjadi fokus utama Shino, akhrinya bersinyal hijau dan beberapa saat kemudian celahnya telah terlihat dan terbuka lebar, dengan seorang suster yang berjalan keluar.

Bunyi gesera pintu pun terdengar lebih nyaring.

"Selamat, Tuan Harata. Bayi Anda adalah anak laki-laki yang sehat dan tampan." Mendengar keterangan salah satu suster sambil membawa seorang bayi yang terlihat tenang dan tertidur dalam balutan selimut, membuat Shino terheran sebentar. Setelanya ia langsung mendekati dan menatap sang Anak dengan mata berkaca-kaca.

"Syu-Syukurlah!" tangisan bahagia tak dapat ditutupi lagi, Shino dan Hoshi yang ada di sana pun menerima bayi itu dengan perasaan senang dan haru. Hoshi tersenyum ketika melihat adik bayinya yang baru saja berhenti menangis dan dengan gemas si sulung menggerakkan jari telunjuk untuk menyentuh pipi kemerahan itu.

Terlepas dari rasa haru dan bahagia yang berada di luar ruang persalinan, sangat berbanding terbalik dengan suasana yang terasa di dalam ruangan. Keterkejutan jelas terlihat di wajah para suster dan dokter yang menangani bayi perempuan kembaran kedua, bukan karena bayi berambut hitam itu berkondisi tubuh tak semestinya atau cacat. Tidak, tubuh bayi itu lengkap dan sehat, tetapi ada sesuatu tak wajar terjadi pada bayi perempuan yang seharusnya tak berdaya melakukan apa pun dan hanya bisa menangis saja.

"A-apa ... apa-apaan ini?" Dokter pun hanya bisa terbelalak dengan suara terbata dan tercekat. Tangannya bergetar, sebab dalam masa tugasnya selama belasan tahun, baru kali ini ia menemukan kondisi tak wajar dari bayi perempuan yang baru saja dilahirkan.

"K-kenapa bayinya tidak menangis? Malah tertawa, sambil me-melototi ki-kita?" suara bergetar dan ketakutan sang Dokter membuat suasana menjadi mengerikan seketika, keringat dingin bercucuran karena melihat keganjilan yang ada pada bayi kembar kedua keluarga Harata yang baru saja dilahirkan. Ia yang mengurus proses persalinan Mieko hanya bisa terdiam, para suster pun terkaku. Mieko sendiri berwajah pucat dengan mata melotot, wanita itu terbelalak dan ternganga karena mendengar tawa aneh dari bayi keduanya yang lahir hari ini. Bayi perempuannya.

"Hihihihihi."

Detak jantung semua orang yang berada di dalam ruangan meningkat drastis, tubuh mereka bergetar karena melihat seorang bayi perempuan dari Klan Harata tengah menyeringai dengan mata semerah darah bersinar bak api.

*

Langit malam tidak membuat Siera merasa takut, tetapi bulanlah yang membuat perasaannya gelisah. Entah kenapa, setiap kali bertepatan dengan purnama bersinar indah, dirinya menjadi berwujud mengerikan seperti ini? Kondisinya sudah seperti siluman yang sering ia tonton di serial animasi kesukaannya. Ia berpikir-pikir dari penyebab perubahan ini, sebenarnya apa yang terjadi?

Ketika ia kecil dan menanyakan hal ganjil ini kepada kakak lelaki tertuanya, dan akhinya ia tahu bahwa semua yang terjadi pada dirinya di saat bulan purnama karena ada sesuatu yang disebut pelindung. Ia penasaran, kenapa pelindung ini bisa muncul di tubuhnya? Ular berbentuk aura dan sekarang terlihat nyata, bahkan dengan mata telanjang. Padahal biasanya selama satu bulan—kecuali purnama, orang-orang tidak akan melihat sesuatu ... dijelaskan sebagai pelindung oleh kakaknya.

Desahan malas tersembus dari bibir, hal ini memang selalu terjadi, tetapi untungnya hanya malam hari saja di saat purnama. Setelahnya, tubuhnya akan kembali seperti biasa. Rambut hitam panjang indah, matanya yang gelap dan kecokelatan, bibir kemerahan dan tidak ada taring dan kuku hitam yang tumbuh secara mendadak. Yang paling mencolok, aura pelindung itu akan menghilang untuk sebulan kemudian.

Mencoba untuk merileksasikan diri, Siera pun berdiri dan merenggangkan otot. Besok ia akan berangkat ke sekolah baru yang sama sekali tidak ia sukai dan setujui untuk menimba ilmu di sana, tetapi berkat kelicikan kakak-kakaknya, ia akhirnya sekarang telah resmi terdaftar.

"Haaah, kenapa juga aku harus repot ke sekolah baru, kalungku juga masih disita sang Baby Face Mesum itu. Dasar menyebalkan."

Melihat ranjangnya yang menggoda, Siera langsung menjatuhkan tubuh sehingga kasur itu mengenjot beberapa kali. Tatapan matanya berpupil rubi itu sekarang mengarah pada langit-langit kamar, memperhatikan ukir bunga-bunga di sana, bibirnya mengerucut dengan alis mata berkerut tajam karena memikirkan cara apa yang harus dilakukan untuk mengerjai Hoshi.

"Apa aku mogok sekolah saja, ya? Kelihatannya menyenangkan membuatnya kesal." Seringai tercetak di bibir, dalam hati mengiyakan rencana yang akan dilakukanya besok. Yaitu membuat kakaknya repot dan susah karena ia akan mogok untuk ke sekolah. Siapa peduli dengan sekolah bodoh itu 'kan?

Gadis itu pun memutuskan untuk tidur dan meraih negeri abstrak bernama mimpi, beberapa saat setelahnya, tubuhnya yang terlentang dengan boneka panda di pelukan telah nyenak dengan napas yang teratur.

Sejam setelahnya, pintu kamar merah muda dan selalu tidak dikunci pun terbuka karena dimasuki oleh seorang lelaki dewasa, sekarang tengah melangkah mendekat ke arah si gadis. Pandangan mata yang sering terlihat sangar dan tegas, walau berwajah imut diusia cukup matang, kini terlihat tersenyum sekilas dengan sorot mata sedih.

Hoshi yang masih memperhatikan sang Adik ketika pulas tertidur, menggerakkan kaki untuk duduk di ranjang dan menyelimuti tubuh itu, serta memperbaiki tidur Siera yang sembarangan. Penghangat ruangan ia hidupkan agar sang Adik tidak kedinginan, menghelan napas, sebelah tangannya menyentuh dahi berponi menyamping. Mendoakan agar satu-satunya adik perempuan yang ia punya selalu dalam keadaan sehat dan dijauhi musibah.

Ingatannya kembali ketika sang Adik ketika baru petama kali dilahirkan, tidak seperti Sanosuke yang diterima dengan baik, Siera selalu mendapatkan pengecualian dan sangat tidak pantas untuk dilakukan. Gadis itu tumbuh tanpa kasih sayang, apalagi semenjak ayahnya meninggal dunia. Sang Mama selalu kelihatan ketakutan saat berdekatan dengan Siera, hingga ingatan paling kejam itu mengalir begitu saja di kepala Hoshi.

Mendesahkan napas, tatapannya memejam, air mata tiba-tiba mengalir di pipi. Sungguh Siera hidup tanpa kasih sayang kedua orang tua. Apalagi ibunya membenci adiknya begitu dahsyat. Hingga gadis di sampingnya ini, yang tertidur bak malaikat pun selalu sedih ketika melihat anak-anak bercengkerama dengan ibu mereka. Siera bahkan tidak terlalu ingat saat-saat dia bersama sang Mama, jika saja bukan Hoshi yang mengarang berbagai cerita—tentang ibunya yang sakit parah dan harus selalu dirawat intensif bahkan tidak boleh dijenguk sembarang orang selama bertahun-tahun, mungkin Siera akan membenci Ibu yang telah menelantarkannya.

"Mungkin, sudah saatnya nanti Siera bertemu dengan Mama. Kuharap dia telah melupakan masa-masa sulit keluarga kita, ya." Tangannya mengelus ke helaian rambut yang bak darah. Kembali ditatapnya sang Adik, kemudian ia berdiri dan tersenyum karena memikirkan mungkin akhirnya Siera bisa merasakan kasih sayang sang Mama. Semoga saja, nanti akan tercapai dan baik-baik saja. Lagi pula, hal ini terjadi sudah cukup lama, semenjak Siera berusia balita.

Keluar dari kamar, Hoshi kembali ke ruangan kerjanya, banyak dokumen yang belum ia periksa karena hari ini cukup melelahkan, berurusan dengan adiknya yang keras kepala membuatnya merasa lelah bukan main. Sekali lagi, desah napas ia keluarkan, rasanya ingin segera berlabuh ke alam mimpi, tetapi kenyataan terlalu banyak urusan kantor yang belum ia selesaikan membuantya mendecak kesal.

"Sabarlah, sabarlah." Mendengus, ia langsung memasuki ruang kerja sambil sesekali mengumpati kerjaan yang tiada habisnya ini.

"Sepertinya aku butuh liburan untuk cuti, astaga."

.

.

.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top