[9] Epilog

Epilog

.

.

.

Katanya, cinta itu tidak selalu indah. Katanya, cinta itu buta. Katanya cinta itu seperti bunga yang akan layu pada waktunya. Katanya, aku dan kau itu tidak mungkin.

Jemari lentik membuat pena menari-nari di atas carik kertas putih, semua kutulis tanpa ada rasa terhambat. Begitu lancar, seperti air terjun yang mengalir deras. Dalam ruangan bernuansa krim dengan keheningan tanpa ada polusi suara apapun. Benakku tak hentinya menampilkan wajah datarmu, sorotan tajammu, hawa serammu, entah kenapa aku menyukai itu. Bahkan sampai aku tergila-gila dengan itu.

Levi Ackerman, lelaki yang telah berhasil mencuri hatiku dengan suara emasnya. Suara berat, maskulin, setiap detiknya terus terngiang-ngiang jelas. Semakin kumengingat, maka semakin aku mencintainya. Sejak itu, aku tak pernah peduli apa latar belakangmu. Aku mengagumimu tetapi juga mencintaimu. 

Bisakah kau berada di sisiku?

Aku mempunyai hak dalam mencintai. Aku mempunyai hak untuk memilih keputusan. Aku punya hak untuk melakukan apa yang kumau. Aku punya hak untuk membuatmu menjadi kekasihku. Selama aku menggunakan cara bersih.

Sorotan khawatir yang kau tujukan pada gadis itu, kapan akan tertuju padaku juga? Aku mungkin terdengar seperti budak cinta, tetapi aku tidak merasa ada yang salah dengan hal itu selama masih dalam takaran yang baik. Aku tak melukai gadis itu, tidak melakukan cara yang kotor untuk membuatmu jadi milikku.

Jemari lentik menaruh pena di meja. Iris [Eye colour] tertuju ke luar jendela, mendapati cakrawala jingga menandakan bahwa mentari sudah akan kembali ke rumah. Angin berembus masuk dari jendela yang terbuka, membuat helaian rambut berayun.

"Oi, Bocah."

Suara bariton itu, suara yang telah menjadi favoritku. Tanpa aku menoleh, aku sudah tahu siapa yang berada di depan pintu kelas. Aku perlahan bangkit dari kursi sebelum menaruh atensi pada lelaki itu, Levi yang berada di depan pintu kelas dengan sorotan datar biasanya.

Kedua kakiku membawaku berjalan mendekati, tangan menggenggam secarik kertas putih. Kemudian berhenti tepat di depan Levi, aku menengadah, menaruh atensiku sepenuhnya pada mereka. Sudah setahun berlalu, pada akhirnya aku memutuskan untuk menghadapinya sekarang. Jemari bergerak meraih pergelangan tangannya.

---

When you feel my heat

Look into my eyes

---

Tangan kami bersentuhan, itu sukses membuatnya mengernyit. Tetapi, dia tidak langsung menyingkir tanganku. Senyuman tipis kuulas saat mengerti akan hal itu. Pandangan kami bertemu. Aku lihat sorotan tajam indah miliknya. Aku melepas kekehan berat yang tertahan di leher.

"Aku menyukaimu, Levi Ackerman."

---

Don't get too close
It's dark inside
It's where my demons hide

---

Matanya sukses membelalak, membuatku masih mengulas senyuman puas. Pandanganku masih tertuju padanya, takku alihkan sama sekali. Benar, Levi, di matamu terlihat jelas bahwa kau adalah iblis. Iblis tak berperasaan yang gelap, bahkan bisa membuat orang menderita dengan ucapanmu. Aku berbeda, Levi. Terimalah aku. 

"Jangan bercanda, Bocah," ketusnya.

Lihat, apa yang telah dirimu katakan. Dengan nada yang begitu indah membuatku menahan kekehan, berusaha menjaga sifatku yang kalem. "Aku serius, Levi," balasku.

Hening. Tidak ada lagi respon tertuju padaku. Aku cukup yakin, Levi benar-benar memikirkan hal ini. Memang, dia bukanlah tipikal yang mau mempertimbangkan seperti ini, tetapi mungkin karena hal yang tak kuketahui, dia mempertimbangkan hal ini, huh?

"Jawab aku, Levi," ucapku lagi, mengulas senyuman tipis dengan siratan masam, menunggu kepastiannya. Meskipun aku terlihat biasa saja, tetapi jantungku benar-benar berdebar tak karuan.

Keheningan masih terjadi beberapa saat, aku pandangi dirinya. Kedua pupil mataku mengecil, hanya beberapa kata yang lolos dari bibirnya membuat air mataku mulai tumpah. Entah ini adalah air mata kebahagiaan atau air mata kesedihan.

Entah ini adalah awalan atau akhiran.


-end-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top