[8] Day 7

Tempat 7: Perpustakaan

.

.

.

Bel pulang sekolah sudah berdering. Murid yang lain sudah kabur entah ke mana. Nongkrong ataupun langsung pulang. Hanya aku dan beberapa teman lainnya yang masih melakukan tugas piket.

Aku tepuk kedua penghapus di luar jendela guna mengusir debu. Pandanganku ke sana kemari seolah-olah mencari keberadaan seseorang. Benar, Levi yang kucari.

Helaan napas kembali lolos dari bibir, netra [Eye Colour] menunjukkan bosan menunggu. Jangan-jangan dia lupa masih ada sehari lagi? Padahal aku berharap 1 hari bisa jadi 1 tahun.

"Oi." Suara bariton kembali menyapa gendang telinga. Aku menoleh, menutup wajah senang karena sudah menduga siapa itu.

"Selamat sore, Levi," sapaku. Aku beranjak dari posisi, tak kudapati lagi kedua teman yang piket bersamaku. Meletakkan penghapus di penyangga pada papan tulis, kemudian berjalan mendekati Levi. Tak lupa mengambil tas.

Tiada respon, Levi menatapku sejenak sebelum membalikkan badan. Memberi isyarat agar aku mengikuti langkahnya. Huh, benar-benar minim bicara. Meskipun aku juga tipikal kalem, tetapi tidak sampai sepertinya. Orang ganteng mah bebas.

Kaki membawa diriku menyusul Levi, aku perhatikan ruangan-ruangan yang telah kami lewati. Tampaknya murid-murid sudah pada pulang meskipun masih ada beberapa yang nongkrong di kelas. Keheningan menyelimuti kami. Otak bekerja memikirkan topik yang bisa dibahas.

"Levi, event musikal kemarin kenapa memilih lagu Demons?" tanyaku, membuka pembicaraan untuk mengusir kecanggungan.

Hening beberapa saat sebelum dia kembali menjawab, "Keputusan bersama dengan partner. Kami memutuskan menggunakan lagu itu dan memberi kesan dark."

Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Hmm, pantas. Dapat kurasakan waktu itu bahwa yang tersampaikan cinta tidak sehat. Tetapi aku tetap menyukainya. Hati perlahan panas, merasakan cemburu kembali menggerogotiku. Meskipun hanya pentas tetapi aku cemburu mengingat kembali gestur Levi dan partner. Jemari yang saling bertaut, tangan Levi yang berada di pinggang partner. Jujur, sampai sekarang aku belum tahu siapa partnernya.

"Omong-omong, partnermu siapa? Kenapa saat itu dia memakai topeng?" tanyaku lagi.

"Si Bocah Panda," jawabnya. Sekali lagi aku merasakan ada yang meremas-remas hati. Sakit, itu yang kurasakan.

Padahal cuma pentas seni. Kenapa harus Sansan? Kenapa selalu dia? Sebenarnya apa hubungan mereka? Kenapa semua orang di sekolah mendukung mereka?

Pertanyaan per pertanyaan mulai muncul di benakku. Langkah kakiku berhenti saat Levi berhenti dan menaruh atensi ke samping. Tanpa berpikir panjang, aku menoleh.

Dia lagi.

Gadis itu tidak salah. Tetapi kenapa harus dia yang menjadi sainganku? Merasakan mata yang perlahan mulai panas, aku segera kembali beranjak dan mengusap mata seolah-olah mata gatal.

"Masih lama ya sampainya?"

Langkah kaki di belakang kembali terdengar, meninggalkan ruang lukis. Hening kembali menyelimuti kami hingga kami berhenti di depan daun pintu besar. Di atas terdapat tulisan 'perpustakaan' dalam tulisan jepang.

Perpustakaan rasanya mainstream untuk setiap sekolah. Tetapi apa yang spesial dari ini?

Aku masuk ke dalam perpustakaan, sukses melongo saat mendapati lemari-lemari tinggi dan berisi buku. Sepertinya sangat lengkap. Aku perhatikan lebih lama lagi, tidak ada orang. Mungkin sudah pada pu—

"Pintunya mohon ditutup, ya." Suara berat menyapa, membuatku memekik kaget. Aku menoleh ke sana kemari dengan cepat, wajah mulai memucat.

—lang.

"Di sana, Bodoh," ucap Levi, menunjuk ke arah samping di mana seorang lelaki bermahkota putih di sana. Membuat aku melonjak kaget, "Eek!"

Aku mengelus-elus dadaku sendiri. Apa ini yang jadi alasan kenapa perpustakaan spesial? Dengan penjaga perpustakaan yang mempunyai hawa keberadaan minim. Aku mendengus kasar. "Buat kaget saja," ucapku.

Tiada respon yang kudapat, aku perhatikan ekspresi netralnya. Kepala berpikir-pikir, tingkat berapa lelaki ini. "[Full Name], XI-S4," perkenalku, sedikit membungkuk sebagai formalitas. Aku mendengar langkah yang menjauh dari belakang, tampaknya Levi akan berpindah tempat.

"Mayuzumi Chihiro, kelas 12," perkenalnya kembali, membuatku tahu bahwa dia adalah kakak kelas.

"Sampai berjamur kalian berdiri di sana?" tanya Levi, jemari menarik buku yang berada di salah satu lemari sukses membuatku menoleh dan mendapatinya sedang memunggungiku.

Mayuzumi yang diam totalitas kembali membuka suara, "Aku akan berangkat ke gym, kuserahkan padamu untuk mengunci pintu." Usai dia berkata seperti itu, dia beranjak ke luar perpustakaan. Jika aku perhatikan lebih lagi, aku baru menyadari dia adalah salah satu pemain basket di sekolah.

Kini ruangan hanya tinggal aku dan Levi. Aku menaruh atensi pada Levi, memperhatikannya membalikkan lembaran buku. Membiarkan kesunyian menyelimuti.

Kaki membawaku mendekati salah satu bangku, menariknya pelan guna tak menimbulkan suara keras. Aku duduk, kemudian menopang dagu dengan kedua tangan.

Wajah datar, rambut hitam dengan model undercut, mata, hidung, bibir, leher, tubuh, hingga ke ujung kaki aku perhatikan. Tanpa sadar bibir terbuka dan membuka suara, "Menurutmu aku bagaimana?"

Pertanyaanku sukses membuat Levi berhenti membalikkan lembaran buku. Terlihat dia tidak langsung menjawab, membuatku perlahan merona ketika menyadari apa yang kutanyakan.

"Maafkan. Aku bercanda, jangan tegang begitu," ucapku, mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Bocah pendiam," respon Levi. Aku perhatikan, dia kembali membalikkan lembaran kertas tanpa menaruh atensi padaku.

Pendiam ...?

Memang kuakui aku cukup pendiam di luar dan dibilang kalem. Tetapi bukannya itu terlalu sederhana?

"Hanya itu?"

Levi yang masih membaca pun menjawab, "Hn."

Aku mendengus pelan, mengulas senyuman tipis. Mungkin dapat kumaklumi karena kami baru mengenal selama 7 hari. Memikirkan hal itu, membuatku merenung. Rasanya tidak ingin waktu berlalu.

"Bagaimana dengan Sansan?" tanyaku, menunduk.

"Bocah panda yang mudah tegang dan panik. Bocah itu takut gelap dan selalu menahan amarah," jawabnya.

Ya, itu sukses membuatku berpikir negatif. Seharusnya aku sudah menduga itu, bahwa Levi lebih mengenal Sansan. Bahkan yang dia sebutkan tak pernah diketahui olehku. Karena belum kenal jauh, sih.

"Kenapa kau begitu marah saat kemarin aku tanya hubunganmu dengan Sansan?" tanyaku.

Levi kembali mendecih. Seolah-olah tidak menyukai pertanyaanku atau semacamnya.

"Apa urusannya denganmu?" tanyanya dengan ketus. Sukses membuatku terdiam sejenak.

"Tidak ada salahnya penasaran akan sesuatu, kan? Menurut dari rumor yang kudengar kalian itu sepasang kekasih," jelasku. Meskipun wajahku netral, tetapi dalam lubuk hati aku menyembunyikan rasa sakit dalam hati.

Levi mengerang pelan, menutup bukunya dan memasukan kembali ke lemari. "Kami tidak pernah pacaran, jika bertanya kami dekat. Iya, itu dulu, kau puas sekarang?"

Perasaan sakit hati perlahan pulih saat mendengarnya. Kenapa aku bisa selega ini?

"Dulu ...?"

"Tch. Jika kau memutuskan mengejarku itu hakmu, tetapi kau tidak punya hak untuk bertanya lebih jauh dari itu," jelasnya. Kembali membuatku tertampar kedua kali.

Selama ini dia tahu bahwa aku mengejarnya? Tidak, tidak, itu dia berkata 'jika'. Pikiranku perlahan kacau. Rasanya hati terasa teriris-iris, apakah tindakanku salah hanya sekadar bertanya-tanya?

Pandangan menggelap. Tidak, aku tidak pingsan, ruangan perpustakaan kini gelap sepenuhnya. "Mati lampu?" gumamku pelan, seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Levi.

Duk.

Suara itu membuat kami berdua tersentak. Pandangan tertuju pada pintu perpustakaan, suara terdengar asal dari luar. Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bangkit berdiri.

Samar aku masih bisa melihat keberadaan Levi, ketika lelaki itu membuka tirai jendela, menunjukkan langit senja.

Pandangan kami bertemu, saling melemparkan tanda tanya. Dia perlahan melangkah mendahuluiku, membiarkan aku menyusul. Pikiran kembali memikirkan posibilitas yang ada.

Ketika kami menelusuri koridor, pupil kami sama-sama mengecil saat mendapati seorang gadis yang duduk tengah memeluk lututnya. Helaian hitam menutup wajah membuat kami tidak dapat mengetahui siapa identitas itu. Belum sempat aku kembali melangkah, Levi mendahului dengan cepat segera mendekati gadis itu.

"Oi! Bocah panda!" Panggilan Levi terdengar siratan khawatir membuatku merasakan amarah. Dengan panggilan itu aku mengetahui identitas itu adalah Sansan. Ekspresi menunjukkan raut wajah khawatir, tangan menggenggam bahu gadis itu.

Pandanganku kini tertuju pada kanvas yang jatuh. Bulir air mata jatuh dari mata Sansan. Gadis itu terlihat menengadah, menampakkan wajah yang pucat, tak lama memeluk Levi, melepas tangisnya.

Bocah itu takut gelap.

Ucapan Levi kembali terngiang di kepala. Sudah kusimpulkan bahwa Sansan terlalu takut dengan gelap hingga menangis tersedu-sedu seperti itu. Tetapi hati yang terbakar rasa cemburu ini tidak dapat diredakan.

Aku pandangi adegan itu, berdiri membatu di sana. Tak mampu bergerak, membiarkan hati terkikis begitu saja. Entah kenapa, aku menyadari, pandangan Levi pada Sansan berbeda. Seperti pandanganku ... padanya.

Levi, do I have a chance?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top