[7] Day 6
Tempat 6: Kandang merpati di atap sekolah
.
.
.
Jam istirahat berbunyi, membuatku merasa lega, seperti membebaskan diri dari neraka yang penuh dengan ajaran menyeramkan. Andaikan otakku seencer Albert Einstein aku pasti bisa lalui semua ini dengan mudah.
Aku bangkit berdiri dari bangku, hendak menuju ke kantin sekolah untuk membeli makanan. Rasanya energi sudah terkuras habis karena pelajaran fisika bagai kutukan ini.
Saat aku berada di ambang pintu dan membukanya, aku terkejut dengan kehadiran Levi yang sepertinya baru mau membuka pintu. Tetapi tidak ada wajah terkejut dari wajahnya. Tetap sedatar papan tripleks. Astaga, apa sih yang aku sukai darinya.
Aku kembali memasang wajah biasa saja. Mengangguk kecil sebagai sapaan formalitas. "Selamat pagi menjelang siang," sapaku.
"Hn." Dia memiringkan kepalanya sedikit, masih menatap datar. "Tempat ke-6," sambungnya, kemudian membalikkan badan membuatku melongo.
Oke, dia memang to the point. Aku juga begitu, apa tanda jodoh? Aku kemudian menggelengkan kepala, mengusir pikiran yang bodoh itu. Tanpa membiarkan Levi menunggu lama, aku beranjak mengikutinya. Melihatnya saja sudah kenyang. Sepertinya aku tidak usah ke kantin hari ini.
Aku mensejajarkan langkahnya. Aku dapati beberapa pasang mata yang menatap ke arah kami, sesekali berkomat-kamit.
"Eh, eh, kemarin katanya Sansan diantar pulang Mas Tatang!"
"Eh? Masa sih?"
"Kalau tidak salah masih ada Levi-senpai sama anak baru itu deh!"
"Masa iya Levi-senpai membiarkan Sansan pulang dengan Mas Tatang?"
Pikiranku mendadak kosong. Apa maksud dari pembicaraan itu? Apa itu secara tidak langsung bilang bahwa Levi dan Sansan mempunyai hubungan khusus dan Mas Tatang adalah orang ketiga?
Decakan Levi sukses membuyarkan pikiranku. Langkah kami sama-sama berhenti di depan pintu atap. Meskipun aku cukup bingung kenapa di atap lagi, bukankah sudah pernah?
"Ini atap yang berbeda dari kemarin." Suara bariton itu kembali menyapa gendang telinga, membuatku sedikit tersentak. Aku meluruskan pandangan, kemudian kembali terbelalak. Aku dapati beberapa burung merpati yang terbang ke sana-kemari.
"Oh."
Aku melangkah hingga benar-benar tiba di atap. Ternyata yang tadi itu bukan halusinasiku. Merpati beneran yang sangat banyak tengah mengelilingi seorang pria yang lebih tinggi dariku pastinya.
Ternyata lumayan banyak juga yang tinggi, ya, batinku.
"Levi-senpai dan ... [Surname]-senpai?" Suaranya terdengar maskulin, serasa akan membuat orang mabuk. Wajahnya juga datar.
Tunggu--
"Apa?" Itu sukses lolos dari bibirku. Lelaki tinggi itu ternyata adik kelasku. Sekilas aku melirik ke arah Levi, seolah-olah membandingkan tinggi mereka.
"Otakmu, Bocah," kata Levi seolah-olah membaca pikiranku. Aku hanya mendengus geli sebelum menaruh atensi pada lelaki itu.
"Saya Tazaki, Senpai."
Aku pandangi merpati-merpati yang mengelilinginya, sangat jinak. "Apa kau yang menjaga sini?" tanyaku seraya melangkah ke depan. Kedua tangan kugunakan untuk di sisi samping rok berjaga-jaga agar tidak terembus oleh angin kencang.
"Benar, Senpai," balasnya kembali, mengulas senyuman tipis. Hatiku mendadak terasa adem. Senyumannya lembut sekali.
Aku mengangguk-angguk. Tak lama, satu burung merpati mendarat di bahuku. Sedikit menoleh, jemari refleks bergerak mengelus lembut tubuh merpati itu.
Pandangan kini beralih ke arah lawanan. Aku mendapati Levi yang memandang ke arah luar dari, seperti di atap yang satunya lagi.
"Bel sudah berbunyi, sepertinya saya harus pergi, Senpai," kata Tazaki dengan sopan. Dia kembali membuka kandang merpati, mengatur merpati-merpatinya masuk kembali ke dalam kandang. Membiarkan satu yang bertengger di bahuku.
"Oh, baiklah."
Aku merespon sebelum kembali menaruh atensiku pada Levi setelah Tazaki pergi meninggalkan kami. Aku perlahan berjalan mendekat ke arah pembatas atap, memandang ke arah pandangan Levi, kandang panda.
Mendapati Sansan yang tengah duduk dan berbicara dengan Tatang. Aku rasakan kobaran api membakar hatiku. Apa jangan-jangan mereka memang mempunyai hubungan khusus?
"Apa pandanganmu tertuju pada Sansan?" tanyaku pelan, membuatnya menaruh atensi padaku.
Tidak ada respon darinya. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku menganggap jawaban itu benar.
"Kalian punya hubungan khusus?" tanyaku lagi.
Levi terdiam sejenak sebelum menjawab. "Belum pernah selain hubungan kakak-adik kelas," jawabnya.
Entah kenapa hatiku terasa lega, selama janur belum melengkung masih ada kesempatan buat tikung. Tetapi karena penasaran, aku kembali bertanya, "Apa kau menyukainya?"
Kembali tidak ada jawaban. Rasanya kobaran api kembali menyala, terasa hatiku yang panas. Jawab tidak, Levi. Kumohon.
"Bukan urusanmu."
Respon itu, yang kudapati. Tidak tahu bagaimana aku harus bereaksi. Aku hanya melepas tawa hambar, "Aku hanya penasaran."
Aku jauh lebih baik dari dia, Levi. Pandanglah aku.
"Hanya orang bego yang akan menyukai Bocah itu."
Aku merenung sejenak, senyuman tipis terulas. Ya, benar, aku masih punya kesempatan. Pasti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top