[5] Day 4


Tempat 4: Ruang Seni

.

.

.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku langsung menyusun buku ke dalam tas. Seharian ini terasa benar-benar membosankan. Karena kejadian kemarin, aku sampai telat ke sekolah dan berakhir dihukum oleh pihak OSIS yang sungguh kejam.

Aku kembali menghela napas ke sekian kalinya. Sampai pulang sekolah pun aku belum bertemu dengan Levi. Apa dia kira aku tidak masuk ya hari ini?

Aku menaruh atensi ke luar jendela, melihat murid-murid lain sudah pada bubar. Pasti pada mau nongkrong kali ya.

"Oi." Suara serak nan berat itu membuyarkan lamunanku. Hanya dengan sekali tebak, dapat kuyakinkan bahwa yang mengeluarkan suara adalah dia, Levi Ackerman. Aku menoleh, memberi ekspresi netral yang menyembunyikan perasaan senangku.

"Sore," balasku, mengulas senyuman singkat sebagai formalitas.

Wajah tripleks itu masih tidak memberi ekspresi lain. Dapat aku perhatikan keringat yang alir dari pelipisnya, benar-benar menggoda iman. Sepertinya dia berlari kemari untuk mencariku?

"Hn." Dia membalikkan badan dan beranjak lebih dulu. Tanpa perintah apapun darinya, aku hanya mengekorinya dari belakang. Ini seperti berada di posisi yang terbalik dengan kemarin. Jantungku berdebar-debar, rasanya jantungku akan melompat keluar karena berduaan dengannya di tempat yang sepi seperti ini.

Aku menyesuaikan langkah dengannya. Sebenarnya aku cukup penasaran tujuan selanjutnya dan ada hal menarik apa di sana, mengingat sekolah ini cukup elit. Siapa tahu ternyata sekolah ini mempunyai ruangan sihir yang bisa mematikan umat manusia.

Tak lama, langkah kaki Levi berhenti dan disusul oleh aku. Pandangan tertuju pada daun pintu bernuansa silver dengan ukiran corak burung merak. Indah, itu yang terlintas di benak. Meskipun tahu setiap pintu di sekolah ini sangat unik, tetapi yang ini benar-benar terlihat berestetika yang tinggi. Aku kembali menaruh atensi pada atas pintu yang tertulis ruang seni.

"Ruang seni ...?"

Levi mengeluarkan kunci dari saku celana, kemudian membuka pintu itu. Aku sungguh penasaran dengan isinya, apa dipenuh akan hiasan berestetika? Mengingat dari pintu saja sudah sangat berestetika. Lukisan, mungkin?

Mata mebelalak kaget, menaruh atensi pada seisi ruangan. Terlihat seluruh sisi adalah cermin, seperti berada di dalam dunia cermin. Cukup menakjubkan, pertama kalinya aku tahu bahwa sekolah elit mempunyai ruangan seni seperti ini. Kedua netraku menangkup dua orang yang berada di ruangan, terlihat tiap sisi cermin menunjukkan refleksi diri mereka. Sedangkan cermin di hadapanku menunjukkan refleksi diri.

"Oh, Levi?" panggil seorang lelaki bermahkota maroon. Dia melangkah ke depan, memiringkan kepalanya sedikit, "Aku pikir kau akan membawanya besok, ternyata hari ini." Kakinya berhenti saat sudah berjarak satu meter dari pintu.

Setelah sadar dari lamunan, aku pun langsung beranjak dari posisi untuk melangkah masuk. "Selamat sore. [Full name]," perkenalku, sedikit membungkukkan tubuh. Jika tidak salah ingat, lelaki depanku ini adalah kakak kelas dan menurut kabar yang kudengar dia mempunyai pandangan estetika yang tinggi. Pantas saja dari daun pintu saja sudah terlihat berestetika.

Aku kembali menegapkan tubuh, menatap ke arah lelaki itu sejenak. Kemudian melirik ke arah samping, mendapati seorang gadis bermahkota hitam. Ah, Sansan, ucapku dalam hati. Apa yang mereka lakukan berduaan di ruangan ini, mana tadi dalam keadaan ruangan terkunci?

"Aku Katsuhiko Miyoshi," perkenal lelaki itu—Miyoshi—.

"Selamat siang—maksudku sore," ucap Sansan dengan pelan, mengalihkan pandangan dariku. Hal itu sukses membuatku mengernyit, tetapi aku tidak ingin mempermasalahkan lebih jauh sehingga memutuskan untuk diam.

"Katsuhiko, jelaskan saja apa yang menarik dari ruangan ini," ucap Levi seraya bersandar pada cermin.

Miyoshi yang tadinya menaruh atensi padaku langsung melirik ke arah Levi. Ekspresi netral yang ditujukan, "Sudah berapa kali aku menegurmu untuk memanggilku dengan embel-embel –senpai, Levi?"

Dapat kudengar Levi hanya berdecih pelan, memalingkan wajahnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendapati sang pujaan hati yang begitu. Bisa dilihat dari kepribadan Levi bahwa lelaki itu pasti hanya menggunakan embel-embel seperti itu pada orang yang direspek olehnya.

Sansan tidak lagi kembali berbicara, dia yang berada di sudut ruangan dengan sesuatu yang bersegi panjang dan ditutup oleh kain putih. Dapat aku perhatikan dari wajahnya, dia masih menaruh atensi pada lantai.

"Secara singkat, seperti yang diketahui olehmu, sini merupakan ruang seni. Kau bisa pandangi cermin yang ada di sekitarmu ini, menunjukkan seluruh refleksimu dari seluruh arah. Menunjukkan kebenaran estetika yang ada," jelas Miyoshi secara terperinci, pandangannya tertuju pada cermin di hadapannya. Terlihat jemarinya perlahan bergerak dan menyisir rambut guna merapikan penampilan. Jika dilihat-lihat, lelaki tampan itu mempunyai jiwa wanita yang sangat menjaga estetika.

"Oh, begitu ...," responku. Perlahan aku beranjak mendekat ke arah cermin, memandang refleksi diriku. Kemudian ada sesuatu hal yang membuatku cukup terganggu dan membuat dadaku sesak. Levi, lelaki itu sama sekali tidak menaruh atensi padaku. Melainkan menaruh atensi pada gadis bermahkota hitam yang tak kunjung menatap ke arah lain, hanya memandang lantai.

Sorotan mata Levi masih dingin, tetapi di lain sisi aku mampu melihat matanya menunjukkan hawa kekhawatirin dan kelembutan. Aku menarik napas, kemudian embuskan pelan sebelum kembali menatap Miyoshi. "Jadi, apa kegunaan ruangan ini selain memperhatikan kebenaran estetika? Seperti ... aktivitas apa yang dilakukan?" tanyaku, membuyarkan pikiran negatif.

"Yang berkaitan dengan seni. Melukis, menari, aku yang akan memandang dan menilai. Jika kau mendengar pandangan terhadap estetikaku tinggi, maka itu benar," ucap Miyoshi, melepas senyuman miring yang entah kenapa malah menyebalkan di pandanganku.

"Oh ...," responku pelan. Kemudian aku menatap ke arah refleksi cermin lagi. Sebenarnya bukan untuk memandang diriku, melainkan pria yang berada di belakangku. Aku masih mendapati Levi memandang Sansan sebelum kembali menaruh atensinya padaku.

"Sudah?"

"Sudah," jawabku pada Levi yang bertanya. "Terima kasih atas waktunya, Katsuhiko-senpai. Maaf jadi ganggu waktu kalian berdua," ucapku merasa bersalah.

Miyoshi terdiam sejenak sebelum kembali merespon. "Jika kau berpikir kami mempunyai status sebagai sepasang kekasih, aku hanya akan memberitahu bahwa kekasihku bukan adik kelas pecinta panda ini," jawab Miyoshi.

"...." Tak ada ucapan yang berhasil lolos dari bibir, wajah terasa memanas sesaat. Aku kembali melakukan hal yang memalukan untuk ke sekian kalinya!

"Kami hanya sibuk berdiskusi untuk lomba lukis selanjutnya. Pacar Kak Miyoshi setingkatan dengannya," kata Sansan yang membuka suara yang menarik perhatianku.

"Maaf! Aku sungguh minta maaf!" Aku membungkukkan tubuhku untuk meminta maaf. Meskipun dapat kuketahui dari nada mereka, mereka biasa saja karena kesalahpahaman ini. Apa karena sudah terbiasa?

Aku kembali mendengar suara decihan pelan dari Levi.

"Hari ini sampai sini, kau bisa pulang sekarang." Levi menegapkan tubuh kembali, hendak beranjak dari posisinya. Dia menaruh atensi padaku sejenak sebelum ke arah Miyoshi dan Sansan, kemudian menatap ke arah depan lagi. Dapat aku lihat punggung itu semakin menjauh. "Jangan pulang terlalu larut."

"Baik." Aku sekalem mungkin membalas itu. Dada yang tadinya sesak perlahan menghangat, senyuman tipis tak sadar terulas. Rasanya diperingati seperti itu oleh sang pujaan pasti sungguh membahagiakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top