[3] Day 2
Tempat 2: Kolam lele 69 ekor
.
.
.
Sepi, masih menjadi kata yang mewakili suasana ruangan kelas. Pukul 6.45 pagi, aku sudah tiba di sekolah karena terlalu bersemangat sang pujaan hati menjadi tour guide selama seminggu. Pastinya, semua orang akan senang jika pujaan hati menjadi orang yang akan membimbing kita selama seminggu. Begitu pula denganku, bagaimana bisa aku menolak kebahagiaan ini.
Telapak tangan menopang sebelah pipi, tatapan bosan kulemparkan pada jendela dan menunggu waktu masuk. Andaikan aku punya kekuatan mengendalikan waktu, pasti akan mempercepat berputarnya waktu sampai Levi datang menghampiriku.
"Oi." Suara berat maskulin menginterupsikan khayalanku. Tubuh seketika kaku, mengenal suara itu, Levi Ackerman. Oh Tuhan, baru saja aku memikirkan kapan dia datang dan dia sudah datang begitu saja!
Berusaha menahan ekspresi wajah sekalem mungkin, kemudian menoleh. Aku perhatikan dia dari atas sampai bawah, serasa lidah keluh untuk menuturkan sapaan singkat. Samar, meneguk saliva sebelum membuka suara. "Selamat pagi," sapaku dengan pelan, kuyakin suaraku mampu didengar pendengarannya, kecuali dia tuli.
"Hn, ayo. Waktu tidak banyak, masih ada satu jam untuk mengunjungi satu tempat," ucap Levi, tanpa memberikan ekspresi lebih. Hanya wajah papan tripleksnya itu.
Tanpa menunggu lebih lama, aku bangkit dan berjalan mendekatinya. Setelah sudah berada di hadapannya, aku menatapnya, tentu, aku sedikit menunduk mengingat tinggiku jauh lebih tinggi sedikit dibanding dia. Omg, aku bangga.
"Tempat selanjutnya apa?" tanyaku.
"Kolam lele," jawabnya singkat. Tetapi benar-benar membuatku melongo. Apa faedahnya sekolah mempelihara ikan lele? Seberapa banyak kejutan yang dipersiapkan SMA ini padaku?
"Oke ...?"
Aku pun hanya terdiam, kemudian mengikuti langkah Levi yang akan mengantarkan aku ke kolam lele yang tersedia. Sungguh, kupikir akan pelihara ikan koi atau mungkin ikan mas, ternyata ikan lele. Jangan-jangan juga ada murid di sana sebagai penjaga kolam? Seperti Dazai kemarin, menjadikan pohon halaman belakang sebagai tempat bunuh dirinya. Jika diingat-ingat, kemarin dia sungguh mengenaskan.
Pandanganku tertuju pada sekitar sekolah, mencari-cari apakah ada murid yang berada di sekolah. Meskipun aku hanya menemukan beberapa orang yang tampaknya kutu buku sehingga datang ke sekolah sangat cepat. Pandanganku terakhir tertuju pada seorang gadis bermahkota hitam yang sedang jongkok di dekat kolam. Aku mengernyit sedikit, setelah aku melihat lebih jelas, ternyata dia sedang memberi makan. Levi yang berada di sampingku beranjak ke arah dimana gadis itu sedang jongkok.
"Oi, El," panggil Levi. Sungguh, seperti preman yang tak beretika. Untung tampan.
Aku menghela napas pelan. Orang yang dipanggil El itu menoleh ke arahku dan Levi, mengangkat tangan dan melambai. Aku pun membalas lambaian itu dengan lambaian kecil. Kemudian menyadari sesuatu lagi, gadis itu kurang lebih mempunyai tinggi 155. Another kurcaci.
"Yo, Levi. Pagi-pagi ajak anak baru mengunjungi kolam leleku ini?" tanya El, melepas tawa. "Aku El, kelas 11, salam kenal!" El mengulurkan tangannya padaku.
Levi hanya berdecak pelan untuk merespon pertanyaan El. Tidak berniat untuk menjawab lebih jauh. Aku menjabat tangan El sembari memperkenalkan diri, "[Full Name], kelas 11, salam kenal."
El kembali menarik tangannya setelah berjabat tangan, begitu juga denganku. Senyuman masih terulas di wajahnya. "Selamat datang di kolam lele dengan 69 ekor!" ucapnya lagi, kembali berhasil membuatku melongo.
Ini lelenya dihitung beneran atau cuma namanya? ucapku dalam hati tanpa mengomentari ucapan El.
"Hitung sendiri kalau tidak percaya." Levi menjawab pertanyaanku seolah-olah membaca pikiranku. Membuatku menoleh ke arahnya, masih terkejut dengan fakta yang baru kudapati. Apa lelenya tidak mampu menghasilkan keturunan selamanya?
El tampak memberi cengiran halus saat mendapati reaksiku. "Setiap ekor lele yang lahir untuk ke-70 selalu meninggal atau lahir yang ke-70, maka yang satu lainnya akan mati! Begitulah ceritanya kenapa kolam lele ini selalu 69," jelas El. Jemari sedikit mengepal dan berada di dagunya, tampak berpikir lama. "Sejujurnya aku juga berpikir bahwa ini semacam kutukan, tetapi entahlah."
Aku masih tercengang dengan apa yang kudengar, sebelum akhirnya berdehem untuk menjaga image agar tidak ketahuan terkejut dengan fakta itu. Memiringkan kepala sedikit dan memberi senyuman tipis, "Kolam yang unik. El yang menjaga sendiri?"
El mengangguk mantap. "Oh ya, aku akan kembali ke kelas dulu. Ada satu hal yang perlu kuurus. Happy tour, Levi, [Name]," ujar El, melambai ke arah kami. Dia membalikkan badan dan beranjak dari posisinya. Saat dia akan berpas-pasan dengan Levi, dia berhenti melangkah sebentar dan berkata, "Hati-hati ada yang cemburu."
Cemburu?
Pandanganku masih tertuju pada El yang kembali beranjak dan meninggalkan kami berdua. Siapa yang akan cemburu? Kenapa? Apa ada yang mengejar Levi juga?
Begitu banyak pertanyaan yang muncul di pikiranku. Ingin sekali aku terang-terangan bertanya. Aku menoleh kembali ke kolam lele, sekilas menunjukkan sorotan sedih tanpa aku sadari. Tangan meraih makanan lele yang ada di dekat kakiku, kembali memberi makan pada lele-lele tersebut. Semakin lama kutaburkan semakin banyak lele yang berkumpul. Tak lama, aku sadari makanan di tanganku sudah habis, membuatku mengernyit.
"Habis?"
"Kau terlalu bersemangat memberi makan lele, Bocah," kata Levi yang bersandar pada dinding di dekat sana.
Aku menoleh, menatapnya lama, sebelum membuang bingkisan makanan ikan pada tong sampah. "Mereka butuh makan untuk bertahan hidup, Levi. Kurasa sebagai seorang SMA kelas 11 sudah mengetahui itu, kan?" sarkasku.
Tidak ada respon yang kudapati dari Levi. Samar, aku melihat mata Levi membulat sedikit. Dia berlari ke arahku, membuatku sedikit bingung.
"Oi!" Seruannya terdengar keras, aku rasakan tubuhku perlahan jatuh ke belakang. Perlahan, Levi memosisikan tubuhnya menjadi di bawah, mataku kemudian tertuju pada pot bunga gantung yang jatuh dari atas.
Tubuh Levi membentur tanah dengan keras. Kepalaku bersandar pada dada bidangnya, mataku masih membelalak. Jantung berpacu cepat, semburat merah kurasa sudah berhasil mendominasi wajahku. Samar, aku melihat sepasang kaki yang menghadap ke arah kami dengan segera membalikkan badan dan berlari pergi. Oh shit, jangan-jangan dia melihat kami.
"Kak Levi! Maafkan kami!" seru salah seorang anak yang berada di lantai atas. Karena masih dalam keadaan yang terkejut, aku masih tak mampu menggerakkan tubuhku. Tak bisa kubayangkan bagaimana jika pot bunga itu jatuh dan mengenai kepalaku. Aku masih merasakan tangan Levi yang melingkar di pinggangku.
"Lakukan dengan benar, Keparat. Sekarang turun dan bersihkan pot bunga itu!" perintah Levi. Terdengar dari suaranya, ada siratan marah di sana.
"Ba-baik, Kak!" balas mereka, kemudian aku mendengar suara langkah kaki mereka yang berlari tergesa-gesa. Tak lama, aku mulai mendengar suara bisik-bisikan.
"Kak Levi memeluk seorang gadis!"
"Lho? Si 'itu', kan?"
"Bukan, anjir! Anak baru di kelas 11!"
Wajahku perlahan semakin memerah, tetapi kata 'itu' benar-benar menghantuiku. Siapa yang mereka maksud?
"Kau sudah bisa bangun, Keparat? Kau berat, bodoh!" ujar Levi. Tak perlu waktu lama, aku segera bangkit berdiri. Memalingkan wajah dari lelaki itu. Berusaha untuk tetap mempertahankan wajah yang datar seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Pandanganku tertuju pada sekitar, mendapati beberapa murid yang memandangi kami. Aku mengernyit sejenak, kemudian beralih menatap ke arah Levi yang mulai melontarkan kata-kata tajam pada murid yang tidak sengaja menjatuhkan pot tadi. Rasa malu sekali, dipandang oleh beberapa orang dengan posisi yang tidak mengenakan.
Aku kembali menunduk. Melirik ke arah di mana aku melihat sepasang kaki yang lari tadi. Rasanya aku tidak asing dengan kaki itu. Entah kenapa, itu benar-benar mengganggu pikiranku. Atensiku kembali beralih pada Levi sebelum kembali mendengar bel berbunyi tanda masuk kelas jam pelajaran pertama. Hari ke dua ini sangat ingin kuabadikan, ternyata ... di pelukan Levi begitu hangat.
Senyuman tipis samar terulas, rasa senang masih menggenjolak di hati. Meskipun satu pertanyaan masih ada di pikiran.
Siapa dia?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top