[2] Day 1

Tempat 1: Pohon halaman belakang.

.
.
.

SMA PAW, sekolah musikal yang terkenal elit dan cukup berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Informasi yang didapati salah satunya adalah 7 tempat keajaiban di sekolah. Tentu, informasi itu sukses membuat aku mengernyit. Memangnya apa yang ajaib sampai ada informasi seperti itu. Tetapi aku ingin membuktikannya sekarang.

Oh, jelas itu bukan tujuan utama. Tujuan utamaku di sini untuk bertemu dengannya. Ya, dia, pria bermahkota hitam dengan raut wajah datar bagaikan papan tripleks. Mungkin terdengar konyol memasuki sekolah elit ini hanya untuk bertemu dengan orang yang dicintai, tetapi itulah kekuatan cinta.

Raut wajah netral kuberikan pada wali kelas baruku, Bu Asakura Haruka. Jujur, menyebut namanya membuat lidahku terbelit-belit secara aku bukanlah orang Jepang asli. Aku mempunyai keturunan Jerman-Indonesia.

"Tunggu sebentar ya, Nak, Ibu sedang memanggil anak kelas 10," ucap Bu Haruka. Senyuman lembut aku dapatkan darinya membuatku merasa lebih nyaman di sekolah ini.

"Tidak apa-apa, aku tidak keberatan menunggu," ujarku. Netra [Eyes colour] tampak bergerak melihat ke sana kemari untuk melihat ruangan bernuansa krim.

"Bu." Suara seorang gadis refleks membuatku menoleh, aku dapati seorang gadis bermahkota hitam dengan tinggi kurang lebih 156. Apa di sekolah ini tidak ada manusia tinggi? Apa aku akan menjadi tiang listrik mengingat tinggiku 167.

"Oh, Sansan! Kau sudah datang! Nah, Ibu mau minta tolong buat ajak murid baru ini berjalan-jalan sekitar sekolah. Seperti biasa, 1 minggu saja, kok," jelas Bu Haruka. Dapat kusimpulkan bahwa gadis ini bernama Sansan. Oke, namanya terdengar aneh buatku.

Aku tatap Sansan sejenak, melihatnya dari atas sampai bawah. Pipi tembam, mata yang sedikit lebih kecil, terlihat seperti keturunan Cina.

"Salam kenal, aku [Full name]," kataku, mengulurkan tangan padanya. Senyuman tipis aku ulas sebagai formalitas.

Tak lama Sansan menerima uluran tanganku dan berjabat sejenak. Dapat kulihat wajah datar yang tengah berusaha menutup ekspresi canggung.

"Sansan."

"Jadi, Sansan akan memandumu selama seminggu di sekolah ini, [Name]!" kekeh Bu Haruka.

Sejujurnya aku lebih berharap yang memanduku itu pria saat itu. Pasti duniaku akan lebih berwarna jika dia yang memanduku.

"Baikla—"

Ucapanku terpotong oleh Sansan yang tengah menunjuk ke satu arah di belakang Bu Haruka. "Kak Levi saja, Bu! Aku nanti kesasar gimana, dong?" ucap Sansan yang sepertinya memang mencari alasan.

Mataku tertuju pada arah yang ditunjuk oleh Sansan, sukses melebar seketika. Jantung perlahan mulai berdegup kencang dan wajah memanas. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Kebahagiaan apa lagi yang kudustakan?

Oh my god, oh my god, oh my god, batinku layaknya mantra.

"Ha?" Suara berat nan serak itu lolos dari bibir Levi. Sorotan mata tajam tak berubah semenjak terakhir kali bertemu, masih mengintimidasi.

"Yah, Sansan tidak mau bantu Ibu?" tanya Bu Haruka.

Mataku kembali tertuju pada Sansan yang hendak menjawab. Oh, ayolah! Tolak saja! Biarkan aku bisa bersama Levi! ucapku dalam hati.

"Saya sebenarnya mager, Bu," ujar Sansan lagi, memberi tatapan malasnya.

Aku kembali melirik ke arah Levi, mendapati matanya tertuju pada Sansan sebelum akhirnya melirik ke arah aku. Refleks, wajahku kembali terasa semakin memanas. Tentu aku tutup dengan senyuman lembut.

"Biar aku saja, Haru-sensei," kata Levi. Seketika ingin tebar confetti saat mendengar suara itu.

Bu Haruka menghela napas panjang sebelum akhirnya menyetujui. Sansan kemudian pamit dan melangkah keluar dari ruang guru. Sedangkan Levi berjalan mendekat sebelum berhenti di hadapanku.

"S-salam kenal, aku [Full name]," kataku seraya mengulurkan tangan guna mengajaknya berjabat tangan. Dapat kurasakan telapak tangan yang mulai berkeringat dingin, tanpa sadar suaraku sekilas terdengar gugup.

Levi menatapku sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan dan berjabat singkat.

"Levi Ackerman."

Tidak akan kucuci tangan ini, ucapku dalam hati.

"Baiklah," Bu Haruka menepuk tangannya sekali, "seperti biasa, Levi. Memandu mereka keliling sekolah terutama 7 tempat khusus, ya."

Levi memiringkan kepalanya sedikit, raut wajah netral nan dingin masih tak kunjung sirna. Tidak ada respon lebih dari pria itu selain 'hn' yang lolos. Meskipun begitu, tampaknya Bu Hatuka sudah terbiasa dengan respon yang diberikan, jadi tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut.

Aku tidak memberi respon kembali. Tak lama, Levi membalikkan badan dan beranjak dari posisi. Alis berkedut, menatapnya sedikit bingung. Apa aku harus mengikutinya atau tidak?

"Cepat, bocah," ucap Levi.

"O-oh— saya permisi, Bu Haruka," pamitku, sedikit membungkuk singkat. Kemudian mengikuti langkah Levi keluar dari ruangan guru.

Dalam diri aku masih mencerna maksud dari 'bocah' ini, apa itu semacam nama panggilan sayang? Oh—apakah cintaku akan dengan mulusnya bersemi di sini?

Tidak, tidak, jangan berhadap ketinggian, [Full name]!

Pandanganku terus tertuju pada punggung milik Levi. Kusadari bahwa dari cara dia berjalan pun sangat menarik perhatian. Punggung juga terlihat kekar, ingin sekali aku bersandar di punggung itu. Hal terakhir yang kusadari adalah dia lebih pendek dariku beberapa sentimeter. Tetapi cinta itu buta, kan?

"Jalan lebih cepat, waktuku akan tersisa banyak jika kau terusan berhalusinasi di belakang," sarkasnya.

Aku terdiam sejenak sebelum menyesuaikan langkah dan berjalan di sampingnya. Pandangan tertuju pada setiap sisi yang sedang dikunjungi, terlihat sepi. Tampaknya jam pelajaran masih berlangsung sehingga tidak begitu banyak orang yang terlihat.

"Levi, sekarang kita akan berkunjung ke salah satu tempat dari tujuh tempat keajaiban PAW, kah?" tanyaku. Tidak segan-segan aku memanggilnya dengan nama, mengingat aku adalah kelas 11, sebaya dengannya.

Levi tak merespon, tak lama langkah kaki berhenti. Refleks, membuat tubuhku sedikit menegang, was-was jika salah berbicara. Perlahan, dia membalik badan dan menghadap ke arah berlawanan dariku. Aku pun mengikuti pergerakannya dan mendapati pohon besar yang rindang di depan. Mataku sedikit membelalak lebar, dedaunan hijau terlihat menyegarkan. Ditambah lagi ada banyak tanaman lain yang memperindah halaman tersebut.

"Pohon halaman belakang sekolah," ucap Levi dengan datar. Kemudian beranjak dari posisi dan  duduk di bangku yang telah disediakan. Raut wajah netral masih senantiasa di wajah tampan itu.

Mataku berbinar-binar sesaat, perlahan aku mendekat ke arah pohon tersebut dengan pelan. Tetapi ada sesuatu yang janggal untukku. Ada genangan air merah di batang pohon, membuatku menengadah. Mata membelak lebar, jantung seolah-olah henti berdetak, keringat dingin mengalir dari pelipis.

"Hn?"

Suara berat itu tak berhasil membuatku bergerak dari posisi, tatapanku masih tertuju ke atas. Seorang lelaki dengan mahkota hitam, mata terpejam, dapat kulihat bagian jantungnya noda merah. Aku mencoba menenangkan diri, merasakan Levi yang berjalan mendekat.

"I-ini boneka?" tanyaku, berusaha untuk menyembunyikan kegelisahan.

"Hn," respon Levi. Aku lihat dia mengangkat kaki dan menendang kasar batang pohon tersebut membuatku melongo.

Boneka yang kulihat jatuh dari pohon dan meringis kesakitan. Jadi---bukan boneka? batinku.

"Aduh, aduh, sakit! Belum mati, ih!" ucapnya. Menoleh ke arah Levi, melempar cengiran halus. "Yo, Levi! Aku baru saja mencoba bunuh diri ke-239 kali di minggu ini!" lanjutnya.

Levi tidak memberi ekspresi lebih selain wajah datarnya itu. "Bersihkan ulahmu, Keparat," kata Levi, merujuk ke genangan merah yang mengalir dari pohon. Aku melongo sebentar, kemudian menatap ke arah batang pohon, semakin memperhatikan genangan merah, bertanya-tanya itu darah beneran atau hanya prank lainnya.

"Duh, Levi, aku kirain kau mau menemani aku bunuh diri," tawa Dazai sebelum matanya tertuju padaku. Perlahan, dia melangkah dan mendekat ke arahku, kemudian merangkul bahuku. Refleks, tubuhku sedikit menjadi kaku karena tidak biasa berkontak fisik dengan lawan jenis. 

"Mau bunuh diri bersam---"

Belum sempat yang bernama Dazai itu selesai berbicara dan aku bertindak, sudah ada yang menarik belakang kerah pria itu yang tak lain adalah Levi. Aku menoleh, kemudian meneguk saliva saat mendapati raut wajah menyeramkan milik Levi.

"Bersihkan sebelum kau yang kutebas, Keparat."

Terdengar dari suara berat nan serak itu begitu tegas. Serasa jantungku kembali berdetak kencang, wajah terasa perlahan memanas. Apakah ini rasanya seorang putri ditolong oleh pangeran berkuda putih? Imajiner air mata terharu turun dari sudut mata karena membayangkan hal tersebut. 

"Oh, Levi! Kau ini clean freak sekali! Itu hanya genangan air dari pewarna makanan!" seru Dazai dan melepas tawa lebar. Ucapannya itu sukses membuatku melongo untuk ke sekian kalinya. Tetapi yang lebih berbahaya sekarang adalah Levi, aura gelapnya sekarang jauh lebih gelap. Apa lebih baik aku kabur? Tapi dia terlihat tampan juga seperti ini!

"Le-levi?" panggilku pelan dengan ragu. Was-was jika saja lelaki itu naik tensi semakin tinggi. Niatku hanya ingin melerai sebelum terjadi kejadian pembunuhan. Saat Levi menoleh ke arahku, aku membungkam, tak ada satu suara pun yang bisa keluar dari mulut, rasanya lidahku jadi keluh. Aku menggeleng kepalaku dan Levi kembali fokus pada Dazai.

"Kalem, Levi!"

Aku melangkah mundur dan hanya bisa menatap mereka dari sana. Aku doakan yang terbaik untukmu, siapapun namamu. Semoga kamu masih diberi kesempatan hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top