SWATKA PANI
Zupa grzybowa = sup jamur krim ala Polandia
02.13 A.M.
Hari masih gelap, matahari belum juga terbit, tapi seorang wanita tua tampak menatap langit yang berawan dengan tatapan resah. Wanita itu melongok ke jalanan yang tampak sepi dan lengang, angin kencang bertiup menggugurkan daun-daun yang telah menguning. Udara semakin dingin, membuat wanita itu merasa seluruh otot kakinya terasa semakin nyeri. Matanya kembali menatap langit dan samar-samar muncullah sekumpulan bayangan bersayap menimbulkan suara bagaikan ribuan kepakan sayap burung.
“Waktunya sudah tiba,” gumam wanita itu lirih.
*****
06.00 A.M.
Seorang gadis berambut pirang keriting berjalan menuju sebuah ruang makan sembari menyeka rambutnya yang masih basah dengan handuk. Di sana ia melihat ayahnya yang telah duduk di meja makan dan tengah membaca koran sementara di sampingnya seorang wanita paruh baya tengah duduk menikmati secangkir teh.
“Pagi Yah, Pagi Bu,” sapa gadis itu pada kedua orangtuanya.
“Pagi Kalina,” sahut ayah dan ibunya bersamaan.
“Pagi Biaca Swatka Pani,” sapanya pada perempuan paruh baya.
“Ow, pagi cucuku Kalina,” balas wanita tua itu ramah.
“Kalina, nanti antarkan nenekmu ke kedai Tuan Heinrich ya?” pinta ayahnya.
Leher gadis itu menoleh ke arah kanan, menatap, sang wanita paruh baya, “Bukankannya hari ini Nenek tidak praktek?”
Wanita paruh baya itu – Swatka Pani – kembali menyunggingkan senyum, “Aku ada janji dengan seseorang, Kalina.”
06.30 A.M.
Kalina mendorong kursi roda neneknya itu menyusuri jalanan yang sepi dan lengang. Hanya ada satu-dua mobil yang sesekali lewat, kadang juga tampak sepeda para pengantar susu yang mengantarkan susu dari satu rumah ke rumah lainnya. Udara dingin musim gugur berhembus kencang dan mendung hitam mulai tampak menghiasi langit.
“Nek, boleh aku bertanya?” tanya gadis itu membuka pembicaraan.
“Apa?” tanggap Swatka Pani tanpa menoleh ke arah Kalina.
“Kenapa aku dan ayah tidak punya kemampuan seperti Nenek? Padahal kami kan darah-daging nenek juga? Bukankah Nenek juga mewarisi bakat ini dari ibu Nenek?”
“Kalina, memangnya kalau kau punya kemampuan yang sama denganku kau mau apa?”
“Menurutku asyik dan keren saja bisa meramal masa depan.”
“Supaya kamu bisa pamer ke teman-temanmu begitu?” Swatka Pani tertawa pelan.
“Iiih, Nenek tahu saja.”
“Aku kan juga bisa membaca pikiran.”
“Memangnya Nenek tidak bisa menularkan kemampuan itu ke orang lain?”
“Sayangnya tidak.”
“Sayang sekali, padahal menurutku kemampuan itu asyik.”
“Kadang memang mengasyikkan, kadang juga tidak, Kalina. Kemampuanku telah banyak membantu orang menemukan solusinya, tapi di sisi lain aku telah melihat banyak sisi gelap dunia.”
“Seperti apa?”
“Aku tak bisa mengatakannya.”
“Nenek selalu mengatakan hal yang sama selama sepuluh tahun ini. Ayolah ceritakan padaku satuuu saja,” tanya Kalina manja.
“Tidak Nak. Belum waktunya.”
“Lalu kapan?”
“Ketika aku memberikan padamu kotak ini,” Swatka Pani menunjuk kepada sebuah kotak berbungkus kain beludru biru yang sedari tadi berada dalam pangkuannya, “berarti itu adalah waktunya.”
Tanpa terasa kedua orang tersebut telah sampai di sebuah komplek pertokoan yang rata-rata terdiri atas bangunan berlantai dua. Kalina mendorong kursi roda neneknya memasuki kedai kopi kecil yang bercat dominan warna coklat kayu. “Oke Nek, kita sudah sampai,” gadis itu melepaskan pegangannya pada kursi roda neneknya dan memasang rem pada kedua rodanya.
“Terima kasih Kalina, sekarang pergilah.”
“Tuan Heinrich, saya titip Nenek,” ujar Kalina pada seorang pria tambun paruh baya yang berdiri di belakang meja bar. Pria tua itu hanya mengangkat dua ibu jarinya sebagai tanda persetujuan sementara Kalina berlari keluar dari kedai tersebut.
Swatka Pani menyaksikan langkah demi langkah Kalina mulai beranjak menjauh dari tempatnya. Ia tersenyum simpul sejenak, lalu mulai membuka tas yang sedari tadi ada di pangkuannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu dengan ukiran dua malaikat Cupid yang saling berhadapan. Tangan keriput wanita tua itu perlahan membuka kotak itu dan mengeluarkan sebanyak 78 lembar kartu bergambar dari dalamnya.
10.00 A.M.
Wanita itu duduk diam sejenak sembari memperhatikan satu demi satu pengunjung yang berlalu-lalang di depan toko hingga sang pria paruh baya yang tampaknya pemilik kedai itu menyodorkan segelas coklat panas padanya.
“Minumlah Swatka Pani,” ujar pria tua itu.
“Oh, terima kasih Heinrich.”
“Hari ini Jumat, seharusnya kau libur bukan? Kenapa kau datang kemari?”
Swatka Pani tidak langsung menjawab, ditatapnya tetes-tetes hujan yang mulai turun di luar toko. Mula-mula rintik-rintik dan tak lama kemudian berubah menjadi hujan deras. “Aku ada janji khusus dengan seseorang Heinrich.”
Heinrich mendesah perlahan, “Oke, tapi kau juga harus ingat kesehatanmu juga Swatka Pani. Aku tidak mau kau terlalu memaksakan diri lalu wafat tiba-tiba di kedaiku. Jangan lakukan itu atau nama kedaiku akan jadi buruk selama beberapa generasi.”
Swatka Pani terkekeh, “Baiklah Heinrich, jangan khawatir soal itu.”
“Baiklah, aku akan kembali ke dapur. Jika butuh apa-apa panggil saja aku.”
“Terima kasih Heinrich.”
Pria paruh baya itu kembali ke dapurnya sementara Swatka Pani tetap memandang keluar, memandang hujan yang semakin lama semakin deras, seolah mencari-cari seseorang di antara lebatnya tetes-tetes hujan tersebut. Matanya kemudian melihat sesosok bayangan manusia – tersembunyi di antaranya titik-titik hujan yang turun dengan derasnya – tengah berjalan dengan tenang menuju tempatnya berada. Mulut wanita itu menyunggingkan senyum ketika melihat sosok itu, seolah telah menunggu kedatangan pemilik sosok itu sedari tadi.
Sosok itu semakin mendekat, memperjelas pandangan Swatka Pani pada sosok pria muda berkemeja dan bercelana jeans biru serta berjaket abu-abu tersebut. Sorot matanya tajam menusuk, ekspresi mukanya datar, sementara rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai sebahu. Pria muda itu mendekat selangkah-demi-selangkah menuju kedai di mana Swatka Pani berada.
“Selamat datang kembali di Revinelle, Helmut Redeemes,” sapa Swatka Pani kepada pria muda yang basah kuyup itu ketika ia telah masuk ke dalam kedai.
“Tuan? Mau pesan apa?” seorang pelayan segera menghampiri Helmut yang mengambil tempat duduk di hadapan Swatka Pani.
“Zupa grzybowa dan segelas moccachino panas,” jawab pria muda itu. Si pelayan mencatat pesanannya lalu segera pergi ke dapur.
“Seleramu masih belum berubah rupanya,” Swatka Pani tersenyum simpul kepada si pria muda.
“Siapa aku sekarang tidak akan merubah siapa diriku yang dulu Swatka Pani,” jawab si pria muda.
“Oh tidak, kau sudah berubah Helmut. Kau telah berubah dari seorang pemuda baik hati yang tidak pernah tega menyakiti seekor kucing sekalipun menjadi sosok dingin yang tega membunuh kawannya sendiri.”
Helmut mendesah, “Kau sudah tahu soal itu Swatka Pani, jadi kau sudah tahu pula mengapa aku kemari bukan?”
“Kau mencari sebuah pembenaran atas tindakan yang kau lakukan bukan? Tapi sebenar-benarnya alasan sebuah pembunuhan, esensinya tetaplah sama Helmut,” Swatka Pani menatap tajam kliennya.
“Esensinya sama, dosa, sebagaimana dikotbahkan para rohaniwan itu di atas mimbar kayu dengan tanda salib di tengahnya.”
“Kau sudah tahu soal itu lalu kenapa kau lakukan.”
“Lebih berdosa mana Swatka Pani, membunuh manusia yang perlu dibunuh atau membunuh abdi-abdi Tuhan yang telah Dia tunjuk sejak awal masa?”
“Kau melayani Tuan yang salah Helmut Redeemes. Tuanmu telah melawan kehendak-Nya karena kebencian butanya pada manusia.”
Pembicaraan mereka terhenti sesaat ketika si pelayan yang tadi kembali membawa segelas moccachino panas dan semangkuk Zupa grzybowa. Helmut menyendok sedikit kuah sup kental itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya sementara Swatka Pani pun kembali meneguk coklat panasnya yang sudah mulai dingin.
“Kalau kau tetap melanjutkan niatmu itu,” Swatka Pani melanjutkan, “Maka tidak ada lagi Zupa grzybowa yang dapat kau makan.”
“Aku sudah membuat perjanjian dengannya, Swatka Pani. Ia akan membiarkan dunia kita tetap ada sebagaimana mestinya, jadi ... tetap akan ada Zupa grzybowa untuk esok hari.”
“Tapi dengan imbalan kehancuran dunia lainnya bukan?”
“Mereka layak mendapatkannya.”
“Jika mereka tidak layak, kitapun tidak layak Helmut.”
“Swatka Pani,” wajah Helmut memerah – tampak tengah berusaha menahan amarah, “Aku lakukan ini semua demi dunia kita. Demi kebahagiaan dan keberlangsungan hidup enam milyar manusia yang hidup di Etria.”
“Bagaimana dengan yang lainnya? Bagaimana dengan Avesta, Sambala, Kasha, Jara, Versigi, dan Arvanda? Apakah kau akan biarkan dunia-dunia itu hancur begitu saja?”
Helmut mengangguk, “Ya.”
Swatka Pani menundukkan kepalanya, menghela nafas panjang, lalu menatap Helmut kembali dengan tatapan menusuk dan tampak menuduh, “Aku rasa waktu ribuan tahun sekalipun tidak dapat merubah siapa yang ada dalam dirimu ... Kairos.”
“Kairos akan selalu menjadi pengkhianat untuk menjadi penyelamat, Swatka Pani. Bergabung bersama para dewata lainnya untuk menantang kekuasaan Surga sama saja bunuh diri. Bukankah lebih baik menyelamatkan satu dengan mengorbankan enam daripada mencoba menyelamatkan tujuh tapi menghancurkan seluruhnya?”
“Kau mau dengar apa yang kulihat Helmut? Kali ini mereka akan kalah. Pasukan Surga itu akan kalah dan tujuh Malaikat Agung akan berpihak pada purwarupa-purwarupa manusia ini. Kau dewata – ras yang dibentuk sebagai purwarupa atas manusia – dan karena hal itu bukankah sudah menjadi kodratmu untuk melindungi seluruh manusia?”
“Tidak, kau lupa dari siapa aku lahir Swatka Pani. Aku dilahirkan dari darah malaikat dan darah dewata. Aku bukan malaikat juga bukan dewata. Aku ras terbuang dan aku hanya akan memihak yang menang.”
Swatka Pani kembali menyeruput coklat panasnya, “Angra Mainyu, Andraste, Tengri, Dyaus Pita, Sedna, dan Vajira Muni, mereka yang dulu telah kau satukan dalam satu panji untuk melawan kekuatan Surga telah kau khianati. Apa menurutmu mereka itu kucing sakit Helmut? Tidak, kau telah membangunkan macan-macan tidur dari tidur mereka, kau mendatangkan musuh-musuh berbahaya atas dirimu sendiri.”
“Mereka bukan masalah. Macan yang mengaum biarlah mengaum, toh sebuas-buasnya seekor macan mereka tetap bisa dibunuh.”
“Kau meremehkan mereka, Helmut. Baiklah kalau begitu, tapi bagaimana dengan Rancasan?”
Garpu dan sendok yang digenggam Helmut jatuh berdenting ke atas mangkuk sup yang masih menyisakan separuh porsi. Matanya menyiratkan rasa cemas yang amat sangat mendengar nama itu. Jari-jarinya gemetaran dan tampak titik-titik keringat mulai bermunculan di pelipisnya.
“Apa yang kaulihat dari Rancasan?” tanya Helmut.
“Rancasan akan terus memburumu dan tidak akan berhenti sebelum membunuhmu. Jika kau teruskan niatmu ini maka kau akan berakhir sebagai mangsa di tangannya tapi kalau kau mau berubah haluan ... .”
“Aku takkan berubah haluan,” potong Helmut.
“Kelemahan terbesarmu Helmut Redeemes adalah ... kau menolak untuk percaya pada orang-orang yang pernah menjadi kawan-kawan seperjuanganmu itu.”
Helmut terdiam dan Swatka Pani pun melanjutkan kata-katanya, “Pikirkanlah masak-masak. Jangan sampai sepanjang usiamu yang mungkin akan mencapai ribuan itu didera rasa berdosa.”
“Baiklah, terima kasih atas waktunya Swatka Pani,” Helmut meneguk moccachino-nya hingga tandas lalu beranjak ke kasir dan membayar pesanannya.
“Sekarang kau akan ke mana?” tanya Swatka Pani ketika Helmut hendak pergi meninggalkan kedai itu.
Helmut mendekat ke arah Swatka Pani lalu berbisik di telinga wanita tua itu, “Pergi dari sini sebelum kehadiranku membahayakan kalian.”
Swatka Pani hanya membalas bisikan itu dengan senyum penuh arti. Mata Helmut sendiri beralih menatap kaki Swatka Pani yang diselimuti oleh sebuah selimut tebal dan bertumpu pada pijakan kursi roadanya. “Aku harap aku dapat menyembuhkan kakimu itu Swatka Pani, membuatmu bisa berjalan kembali seperti dirimu yang dahulu.”
“Kau tak perlu mengkhawatirkan soal kakiku ini, Helmut Redeemes. Ada hal lain yang lebih penting untuk kau perhatikan.”
“Kalau begitu sampai jumpa lagi Swatka Pani.”
“Ya, sampai jumpa,” balas Swatka Pani, “Di kehidupan selanjutnya,” sambungnya lirih.
Pemuda itu beranjak pergi dari kedai itu namun di depan kedai ia bertabrakan dengan seorang gadis berambut ikal dan membuat tas plastik yang dijinjing gadis itu jatuh ke kubangan air.
“Ah maaf,” ujar Helmut sembari membantu memungut beberapa buah buku yang tercecer keluar dari tas plastik gadis itu.
“Ah tidak. Aku yang salah. Maaf aku tidak melihat anda.”
“Ini,” Helmut menyerahkan tiga buah buku yang ia pungut tadi ke tangan gadis itu dan gadis itu pun menerimanya dengan mengucapkan terima kasih ketika matanya tiba-tiba menatap sesuatu yang ganjil dari pria muda di hadapannya.
Dalam pandangannya ia menyaksikan dari punggung pria itu mencuat dua buah sayap berwarna hitam legam. Sayap itu tampak anggun namun juga menakutkan. Gadis itu gemetar dan jika matanya tidak sedang menipunya ia tengah menyaksikan dunia di sekitarnya melambat. Orang-orang di sekitar mereka bicara, melangkah, dan bergerak dengan sangat lambat.
Hanya dia dan pria itu yang tampaknya tak terpengaruh. “Permisi Nona, maaf telah membuat bukumu basah,” ujar Helmut sembari menyodorkan kembali tiga buah buku itu pada si gadis.
“Ah iya ... tak apa. Aku permisi,” gadis itu segera mengambil bukunya dari tangan pria muda itu lalu cepat-cepat masuk ke dalam kedai. Waktu tampak kembali berjalan seperti semula begitu ia menyentuh pintu kedai. Gadis itu langsung bergegas menuju meja di mana neneknya – Swatka Pani – membuka prakteknya.
“Kenapa Kalina?” tanya Swatka Pani pada cucunya yang tampak panik.
“Aku tadi bertemu seorang pria ...,” jawab Kalina gemetaran.
“Seorang pria berjaket abu-abu? Helmut Redeemes? Kenapa dengannya?”
“Dia ... apa dia ... bukan manusia?” tanya Kalina masih dengan bibir gemetar.
“Apa yang kau lihat Nak?”
“Dia itu ... malaikat.”
“Tidak sepenuhnya. Separuh malaikat lebih tepatnya. Apa lagi yang kau lihat darinya Nak?”
“Kekuatan, kehancuran, kebencian, keputusasaan, dan ... penyesalan.”
“Hanya itu? Kau tidak melihat yang lain?”
“Aku ... melihat kematian. Kematiannya di tangan seseorang.”
“Siapa?”
“Seorang pria ... mengenakan topeng kayu berwarna hijau. Namanya ...,”
“Rancasan?”
“Ya.”
*****
15.00 P.M.
Kalina mendorong kursi roda neneknya dengan tidak bersemangat, perjumpaannya dengan pemuda malaikat tadi membuat kepalanya penuh dengan aneka pikiran yang mengganggu dirinya. Neneknya sendiri tidak berkata apa-apa soal itu. Karena itulah keduanya menghabiskan perjalanan itu dengan bungkam satu sama lain.
“Kau sekarang tahu kan mengapa aku tidak mau menceritakan soal apa yang kuketahui padamu, Kalina?” Swatka Pani membuka pembicaraan.
“Kenapa malaikat tadi menemuimu, Nek?”
“Ia meminta nasehat.”
“Nasehat?”
“Ya.”
Keduanya kembali terdiam sebelum Kalina mulai bertanya kembali, “Apa yang mereka lakukan di sini Nek? Bukankah malaikat seharusnya ada di surga?”
“Di sini? Di sini mereka bertempur.”
“Melawan iblis?”
“Tidak selalu. Untuk saat ini mereka datang bukan untuk melawan iblis.”
“Lalu melawan siapa Nek?”
“Mereka hendak mengadakan ‘pembersihan’.”
“Akhir zaman?” wajah Kalina memucat.
“Dan juga melawan kekuatan kuno yang menghalangi mereka melaksanakan niat mereka itu,” sambung Swatka Pani.
“Kekuatan kuno?”
“Entitas yang disembah sebagai Dewata.”
“A-apa yang terjadi antara malaikat dan dewata?”
“Menepilah ke taman sebentar, Nak,” Swatka Pani memotong pembicaraan dan menunjuk ke sebuah taman memiliki air mancur berhias patung dua malaikat kecil yang menyangga dunia.
Kalina mematuhi permintaan neneknya dan membelokkan kursi roda itu ke arah taman. Gadis itu memarkirkan kursi roda neneknya di sebelah sebuah bangku taman di mana ia bermaksud untuk duduk.
Swatka Pani menghela nafas dalam-dalam, menghirup aroma tanah basah yang baru saja disiram hujan, lalu memandang cucunya yang duduk di sampingnya lekat-lekat, “Begitu kau kuberitahu rahasia ini, Kalina, hidupmu takkan sama lagi. Bahkan mungkin aku dan kau takkan berjumpa lagi.
“Ke-kenapa Nenek bicara begitu?” air muka Kalina mulai menampakkan tanda-tanda bahwa dia akan menangis.
“Oh, jangan tangisi sesuatu yang memang harus terjadi Kalina,” tangan Swatka Pani terulur ke wajah Kalina dan mengusap air mata yang sempat mengalir di pipi gadis itu, “Jadi akan kuberitahukan yang kuketahui padamu Kalina. Dunia yang kita tahu saat ini dibangun dengan bantuan sebuah entitas bernama dewata. Sang Alpha atau Sang Pencipta hanya sekedar membentuk sebuah bola pejal berisi daratan dan lautan. Dewatalah yang mengukir pulau-pulau, benua,sungai-sungai, dan danau. Merekalah yang mengajari manusia mengenai peradaban. Namun ... lama-lama mereka menjadi gila hormat, menjadi tamak dan egois, saling berseteru satu sama lain. Masing-masing lalu memaksa manusia menghormati mereka sebagai junjungan utama, memperbudak dan menindas manusia dalam kesemena-menaan. Putus asa akan penindasan dewata, sebagian manusia yang tahu akan adanya Tuhan lain yang lebih tinggi daripada segala junjungan ini memohon kepada-Nya untuk membebaskan mereka dari perbudakan dewata. Dan inilah yang terjadi, Kalina : sepasukan besar malaikat turun ke bumi dan mengalahkan para dewata. Sebagian besar terbunuh sementara yang tersisa lari dan bersembunyi.”
Kalina menatap wajah neneknya dengan penuh perhatian dan wanita tua itu pun melanjutkan kembali ceritanya, “Tapi manusia mulai berbuat jahat pada sesamanya, saling bunuh, saling melukai, dan saling berseteru. Berabad-abad para malaikat itu mencoba mengarahkan manusia kembali ke jalan yang benar, namun belakangan ini mereka menyadari bahwa segala tindakan mereka ini akan sia-sia. Mereka kecewa pada manusia – sebagian besar manusia maksudku – dan memutuskan untuk menghancurkan apa yang Tuhan mereka buat. Tapi Kalina, dewata-dewata itu tidak akan rela apa yang mereka ikut ciptakan, apa yang mereka yang dahulu mereka jaga hancur begitu saja. Mereka melawan Kalina, itulah yang menjadi sebab dunia ini masih tetap ada sampai hari ini.”
“Jadi ... dunia kita seharusnya sudah lenyap?”
“Seharusnya ... ya,” Swatka Pani menghela nafas panjang sebelum akhirnya menatap ke arah langit yang tampak terbelah.
Sesosok kesatria berzirah dan bersayap perak turun di tengah-tengah taman tersebut dan menudingkan sebilah pedang ke arah Swatka Pani. “Kau membocorkan rahasia yang harus kau jaga, Manusia,” bentak malaikat itu dengan suara berat dan kaku.
Kalina menatap malaikat itu dengan tatapan ngeri sementara si malaikat itu menancapkan pedangnya kepada Swatka Pani. Swatka Pani hanya tersenyum manis kepada Kalina sebelum akhirnya menundukkan kepalanya dalam kondisi tak bernyawa. Malaikat itu sendiri mencabut pedangnya dari tubuh wanita renta itu, namun tidak ada luka dan tidak ada darah di tubuh wanita renta itu, seolah pedang itu hanya mencabut jiwanya saja.
“Kau!” malaikat itu menuding ke arah Kalina, “jaga baik-baik mulutmu jika tidak ingin bernasib serupa dengan dia!” Lalu malaikat itu menghilang dan kesadaran Kalina pun sirna.
23.00 P.M.
Kalina terbangun di atas sebuah ranjang putih khas rumah sakit dengan seorang pria muda berjaket abu-abu berdiri di samping tempat tidurnya. Kalina tahu siapa pria itu, itu adalah pria yang sama dengan yang ditemuinya tadi siang – Helmut Redeemes.
“Kau!” Kalina langsung meringkuk, mendekat ke arah kepala ranjang.
“Jangan takut Kalina, aku takkan menyakitimu,” ujar pria muda itu.
“Mana Nenek?”
Helmut hanya menunjukkan sebuah ekspresi penuh duka, “Maafkan aku Kalina, ia sudah tiada.”
“Tidak! Kalian sudah membunuhnya!” Kalina memekik histeris lalu menangis sejadi-jadinya.
“Rahasia yang diwariskannya kepadamu harus tetap kau jaga, hanya dengan cara itulah nyawamu bisa selamat.”
“Aku tak mau rahasia ini!”
“Kau selalu berdoa supaya Tuhan memberikan anugerah yang sama dengan nenekmu. Dan hari ini anugerah itu diberikan padamu. Kau akan menjadi seperti nenekmu, seorang manusia yang diberkahi oleh kekuatan untuk melihat masa depan setiap insan, sekaligus yang dikutuk karena mengetahui rahasia makhluk-makhluk adikodrati namun tak dapat membaginya kepada siapapun juga.”
“Aku tidak menginginkan ini! Tidak! Tidak lagi!”
“Sudah terlambat untuk itu Kalina,” ucap Helmut sebelum akhirnya menghilang seperti debu disapu angin. Meninggalkan si anak gadis dalam rasa penyesalan mendalam atas rasa ingin tahunya yang telah membawa kematian bagi neneknya.
<b>==00==</b>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top