Nirvataka Nandi (Warning!!! 18+)

                “Hita? Kau tidak mau ke kuil?” seorang gadis menyapa diriku yang masih duduk-duduk di sisi sebuah lapangan basket di depan rumahku.

                “Kuil? Untuk apa?” jawabku sinis.

                “Tentu saja untuk berdoa pada Sang Penabur[1] dan Sang Maina[2]. Selain itu, ini kan masa-masa menjelang bulan suci jadi ada kajian kitab suci bagi muda-mudi di kuil,” jawab gadis itu lagi.

                “Kau masih percaya dengan dongeng pengantar tidur mengenai mukjizat-mukjizat macam tertulis dalam kitab kuno itu, Ica?”

                “Ah! Sudahlah Hita! Aku tak mau berargumen mengenai dogma denganmu. Antarkan saja aku ke sana. Anggap saja ini sebagai tugas seorang kakak yang disumpah untuk menjaga adiknya,” Ica melemparkan argumen yang betul-betul menohok diriku.

                “Wah! Bisa gawat kalau dia kalau dia sampai lapor Mama. Bisa-bisa uang sakuku dipotong!” aku bergumam kesal.

                “Oke …, tapi aku tak akan masuk. Aku hanya akan menunggu di depan kuil.”

                “Ayolah Kak! Masa kau tidak mau menemaniku masuk ke dalam?” Ica menggelayut manja. Adikku ini memang selalu tahu bahwa aku tak akan bisa menolak keinginannya. Tidak… bukannya aku tidak tegas, tapi jika aku tolak keinginannya maka seharian ia bisa membuatku risih dengan segala tingkah polahnya. Mulai dari menguntitku sampai ke kamar mandi lah, memenuhi inbox ponselku dengan sms-sms rengekan lah. Siapa yang tahan punya adik macam gini coba?

                “Oke,” jawabku, “Kita ke sana. Ngomong-ngomong ada angin apa nih kok tiba-tiba maksa-maksa ke kuil.”

                “Ada Nirvataka baru, Kak. Orangnya ganteng dan cute loh! Hehehehehe!” Ica tersenyum-senyum sendiri.

                “Eaaaa!!!” aku menggerutu mendengar alasan sesepele itu.

                Aku bangkit dari tempat dudukku , berjalan menuju rumah, mengeluarkan motorku dari garasi dan mendorong sepeda motor itu sampai ke depan rumah. “Ayo naik!” kupanggil Ica ketika mesin motor itu sudah menyala.

==00==

                Singkatnya dalam 20 menit sejak kami berangkat, aku kini sudah berada dalam kuil Paravandaah [3]Tanah Abang. Ini adalah sebuah kuil yang amat besar. Tingginya sekitar 25 meter, dari dasar sampai ke atap, belum termasuk tinggi menara loncengnya. Bangunan ini disangga oleh 16 pilar marmer putih yang kokoh. Masing-masing pilar menjulang tinggi hingga ke langit-langit setinggi 17 meter. Langit-langit kuil ini dibangun menggunakan kayu jati, konon untuk mengantisipasi gempa bumi. Jangan tanya kepadaku kenapa arsitekturnya begitu, aku ini mahasiswa jurusan SosPol, bukan arsitektur.

                Kami berdua memasuki kuil dan duduk di sebuah bangku panjang, di mana sekelompok muda-mudi usia SMP hingga Mahasiswa tampak duduk di sana sambil memperbincangkan berbagai hal. Kulihat ada sekitar 30 anak yang berkumpul. Cukup banyak juga! Kagum aku melihat kuil ini mampu mengumpulkan muda-mudi dalam satu ruangan, bahkan dalam kuantitas yang lebih banyak daripada rapat rutin Organisasi Intra Kampus atau rapat rutin pengurus OSIS.

                Aku duduk di sebuah bangku dengan malas, kutundukkan kepalaku, mencoba untuk tidur. Aku sama sekali tidak peduli dengan urusan doa-berdoa dan urusan kajian macam ini. Aku nyaris saja masuk ke alam mimpi ketika suara seorang perempuan paruh baya menarik diriku kembali ke alam kesadaran, “Selamat sore, anak-anakku.”

                “Selamat sore, Amma[4]!” jawab seluruh hadirin-minus diriku-serempak.

                “Nah! Anak-anakku, perkenalkan Nirvataka[5] baru di kuil kita, Mahija Nandi. Ia akan membantu Pak Sahere membersihkan dan merawat kuil ini. Usianya baru 19 tahun, tapi ia memutuskan untuk mengabdi di sini karena suatu hal. Mari silakan perkenalkan dirimu Nandi,” Matriakh[6] Anna mempersilakan Nirvataka muda itu untuk memperkenalkan diri.

                Aku yang sedari tadi memalingkan muka saat Matriakh itu berbicara tiba-tiba dipaksa untuk memandang lurus ke depan lekat-lekat. Sosok Nirvataka muda itu … begitu mempesona, ia berbicara tenang dan teduh layaknya seorang guru, namun juga penuh canda layaknya anak-anak muda pada umumnya. Tapi… bukan itu yang menarik perhatianku. Yang menarik perhatianku adalah wajahnya. Ya, wajahnya! Wajahnya tidak laik jika harus menjadi Nirvataka. Aku bukan melihat sosok seorang Nirvataka yang sehari-harinya mengerjakan pekerjaan kasar. Aku seperti melihat seorang pangeran yang terbuang dan dijual sebagai budak.

                “Ya Maina! Kenapa kau harus ciptakan makhluk setampan dia?” batinku bergejolak.

                Semenjak Nirvataka baru itu datang, Patriakh Sumarsono dan Matriakh Anna sering melibatkan dirinya dalam kajian Sakitaba[7] bagi kawula muda. Sempat aku mencibir mengapa sampai seorang Nirvataka dilibatkan dalam kajian Sakitaba? Setahuku Nirvataka itu hanya tahu cara menyiangi rumput, cara mencuci baju dengan cepat dan cara mengepel lantai yang baik. Soal memasak? Hmm… aku pernah mencicipi masakan seorang Nirvataka… dan isi perutku minta keluar dari mulut secara terus menerus selama sehari penuh. Sempat aku mengira dua orang Pandhita[8] itu menempatkan Nirvataka ‘ganteng’ itu untuk menarik minat para cewek untuk ikut dalam kajian Sakitaba. Dan… uhuk… harus kuakui bahwa aku terus menerus menghadiri kajian itu 3 kali seminggu juga karena ingin bertemu dengannya.

                Tapi…. dugaanku ternyata salah telah mengira ia cuma akan jadi pajangan penarik cewek di kajian itu. Opini dan penjelasannya mengenai ayat-ayat Sakitaba sangat mendalam namun aktual. Seorang Kadhara[9] pun pernah dipermalukan oleh Nirvataka Nandi karena ia menjelaskan ayat-ayat Sakitaba dengan irama monoton dan pemaparan yang sangat dogmatis. Bagi kami ia sebenarnya layak menjadi Kadhara… bahkan Patriakh, namun ia selalu menjawab bahwa ia lebih menyukai kehidupannya sebagai Nirvataka.

                Ica dan teman-temannya sesama cewek tidak pernah absen mengikuti kajian-kajian di kuil, dan aku sebagai kakak haruslah mengantar adikku. Saban Rabu, Jumat, dan Sabtu kami berdua selalu berboncengan motor menuju kuil, duduk berdoa sesaat, sebelum mulai membahas Sakitaba. Tentunya bersama Nirvataka Nandi.

                Tapi demi setan! Setiap kali kami pulang dari kuil, tak hentinya Ica membicarakan soal kekagumannya pada Nirvataka Nandi. Mengenai betapa tampannya dia, betapa puitisnya dia, dan betapa pekerja kerasnya dia. Nirvataka Nandi bahkan pernah membuat seluruh muda-mudi yang ikut kajian turut serta menyusun lilin-lilin di kuil menjelang upacara api. Suatu pemandangan yang langka! Karena kami ini anak kota metropolitan biasanya tak bakal mau menyusun 600 batang lilin yang disusun di seluruh penjuru kuil, bahkan sampai disusun di balkon tingkat dua lagi!

                Setiap Ica berbicara tentang Nirvataka Nandi, aku merasakan suatu perasaan tidak senang. Tidak, tidak! Aku tidak membenci Nirvataka Nandi. Aku… hanya cemburu melihat dia dikagumi banyak orang. Dada ini serasa mau meledak menahan rasa yang selalu kutahan dalam dada. Oh, Maina! Aku jatuh cinta pada Nirvataka itu!

==00==

                Perasaanku pada Nirvataka itu semakin lama semakin menguat, terlebih ketika ia dan aku saling berbicara secara personal. Kami berbincang mulai dari politik, dogma, humanisme, fasisme, dan berbagai topik-topik lainnya. Ia memang tidak menguasai semuanya, namun ia jauh lebih moderat daripada para Pandhita. Ia tidak mempermasalahkan sama sekali ketika aku terang-terangan membela kaumku, kaum gay, walau tidak kukatakan secara terbuka bahwa aku juga gay. Alih-alih memberondongku dengan koleksi ayat Sakitaba, ia malah tersenyum dan berkata, “Mereka yang dilahirkan dengan orientasi berbeda dengan kita belum tentu berdosa. Jika sampai kita langsung menghakimi mereka sebagai pendosa, maka mereka malah akan menjadi pendosa sungguhan. Tapi jika kita tak menghakimi mereka secara frontal, suatu saat mereka mungkin saja akan kembali pada jalan Paravandaah.”

                Ah! Kekagumanku pada sosok Nirvataka ini semakin bertambah, dan seiring itu pula makin bertambah pula perasaanku padanya.

                Suatu ketika, kami saling berbincang di kamarnya. Sebuah kamar yang dibuat dari kayu dan seng. Sempit dan panas, namun bersih. Hanya ada sebuah dipan tanpa kasur, sebuah lemari pakaian, dan sebuah meja tulis yang penuh tumpukan buku di sana. Kami berbincang dan berbincang hingga tak kusadari hari sudah beranjak sore.

                “Eh, aku harus memasak untuk makan malam Patriakh dan Matriakh. Maaf Hita, aku pamit dahulu,” Nandi beranjak keluar dari gubuknya itu.

                Tapi belum sempat ia melangkah jauh, kugamit tangannya dar belakang. Perasaanku sudah tak dapat kutahan lagi. Pada akhirnya… keluarlah kata-kata itu, “Nandi… maukah kau hidup bersamaku?”

                Ia berbalik memandangiku, tampak terkejut. Tapi dengan cepat aku melanjutkan, “Sejak pertama kali bertemu denganmu… aku merasa …,” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku lagi.

                “Aku tahu, Hita!” Nandi mendekatiku, memelukku, lalu menciumku mesra.

                Aku dan dia tak berkata apa-apa lagi. Kami larut dalam ciuman mesra selayaknya seorang kekasih.

                Bibirku yang dahaga akan kasih ini akhirnya bertemu dengan bibirnya. Sungguh lembut, seolah aku mencium seorang wanita. Kuusapkan tanganku ini pada pipinya yang selembut satin. Tak berapa lama kemudian kami sudah bergumul dalam gelora asmara. Asmara sesama lelaki, asmara terlarang! Ya! Kami berkubang dalam dosa dalam gubuk itu! Tapi aku tak peduli. Bagiku Nandi adalah segalanya. Jika bisa bersama dia maka meski langit runtuh sekalipun tak akan jadi soal buatku. Persetan dengan aturan Paravandaah! Persetan dengan neraka dan persetan pula dengan pengucilan!”

                Menit demi menit kami bergumul dalam dosa. Dalam tubuh yang mulai berpeluh. Aku berperan sebagai seme[10] dan Nandi sebagai uke[11]. Aku menikmatinya dan dia juga. Tidak ada yang aku sesalkan dan tampaknya dia juga tidak menyesal. Hingga akhirnya… kami harus mengakhiri kenikmatan itu dengan keluarnya sejumlah cairan melalui lingga[12].

                “Aku mencintaimu Nandi,” sahutku di akhir percintaan itu.

                “Dan aku juga mencintaimu Hita,” jawabannya seolah mengantarkan aku melayang sampai langit kelima.

                Tapi…

                KRIIING!

                Suara beker membangunkan aku dari mimpi. Astaga! Hubunganku dengan Nandi itu Cuma mimpi? “Nandi! Nandi yang kudambakan menerimaku sebagai kekasihnya cuma mimpi?” jeritku dalam hati.

                Aku segera melompat dari tempat tidurku, menyambar sebuah jaket dan helm, lalu mengendari motorku menuju kuil. Setibanya di sana kulihat Nirvataka Sahere sedang sibuk menyapu halaman kuil yang dipenuhi dedaunan kering. Aku tidak melihat Nirvataka Nandi sama sekali. Akhirnya kuhampiri Nirvataka Sahere dan bertanya padanya, “Pak, ke mana Nirvataka Nandi?”

                “Nirvataka Nandi dipindahtugaskan secara mendadak ke sebuah kuil di daerah Nepal. Lebih jelasnya saudara bisa tanya pada Patriakh Sumarsono.”

                DER!

                Seolah sebuah petir menyambar kepalaku saat itu juga. Nirvataka Nandi telah pergi dari tempat ini. Mungkin untuk selamanya. Aku mungkin tidak akan pernah lagi melihat wajah tampannya, suaranya yang teduh dan merdu, mata lentiknya, dan… tak mungkin lagi membelai kulitnya yang sehalus sutra.

                Selamat tinggal Nirvataka Nandi. Selamat tinggal cintaku. Semoga kau temukan apa yang kau cari di tempatmu yang baru. Seandainya kau tahu… bahwa di dunia ini… ada satu lagi orang yang akan selalu memikirkanmu. Ya! Aku akan selalu memikirkanmu, dan aku tak akan pernah melupakanmu!


[1] Entitas yang dipercaya oleh masyarakat realm ini sebagai penabur kehidupan di muka bumi

[2] Entitas yang dipercaya oleh masyarakat realm ini sebagai causa prima

[3] Kepercayaan tunggal penduduk Realm Versigi. Kepercayaan lainnya sudah musnah

[4] Panggilan untuk pendeta wanita. Amma berarti ibu.

[5] Pengurus kuil, sama seperti koster gereja atau garin masjid. Bertugas memelihara kebersihan kuil, juga mengurusi kebutuhan sehari-hari para pendeta.

[6] Pendeta wanita

[7] Kitab suci Paravandaah.

[8] Pendeta

[9] Calon pendeta Paravandaah, yang lelaki akan menjadi Patriakh sementara yang wanita akan menjadi Matriakh

[10] Attacker : pria yang berposisi sebagai ‘suami’

[11] Defender : pria yang berposisi sebagai ‘istri’

[12] Organ seksual pria

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top