Dua Sisi (Merah-Putih)- Sidestory Contra Mundi
Dua Sisi
Bedebah yang sudah lupa akan penderitaan rakyatnya, lebih baik mati saja.
(SEER- C. Suryo Laksono)
Alam Semesta Versigi, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 16 Agustus 2008
<Sanjaya>
Aku mengambil sebuah binokular dari dashboard mobilku. Kuletakkan mataku di corong binokular itu, dan kuamat-amati lalu lalang para prajurit Paspampres tampak sibuk berjaga di seputaran Istana Negara. Di sisi lain aku melihat sekelompok remaja berseragam putih-putih menghentak-hentakkan kakinya dalam ritme yang teratur – PASKIBRAKA.
Derap-derap langkah pasukan pengibar bendera dan pasukan-pasukan militer yang akan turut dalam upacara kemerdekaan terdengar membahana sampai ke luar gerbang istana. Yah… aku harus jujur bahwa barisan-barisan pasukan itu amat tertata dengan apik. Sungguh agung dan megah, salah satu dari sedikit hal yang membuat aku masih bangga menjadi bagian dari sebuah negara bernama Indonesia. Tak banyak negara yang memiliki PASKIBRA sedisiplin ini.
Tapi di sisi lain negeri ini adalah negeri yang dikuasai para bedebah, yang hanya peduli pada persoalan perut mereka semata. Yang menutup mata atas kematian sia-sia rakyatnya, yang menutup telinga atas segala keluh kesah rakyatnya, dan yang gemar menari-narikan lidahnya di atas panggung kebohongan.
“Elang Hitam! Laporkan Kondisi! Ganti!” suara seorang pria terdengar dari walkie talkie yang kupegang.
“Kondisi aman terkendali! Ganti!” jawabku.
“Diterima Elang Hitam! Tetap waspada! Ganti!”
“Dimengerti Komandan!”
Oh yah, semua orang tampak tegang di sini. Polisi, koki, dekorator panggung, floris, dan Paspampres seluruhnya tampak tegang. Adanya surat ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada Sang Presiden dan Sang Perdana Menteri membuat dua insan paranoid itu menjadi lebih paranoid lagi.
Sudah sejak 3 hari ini para kuli tinta tidak diperbolehkan lagi berlalu lalang di Istana Negara. Para petinggi-petinggi negara yang sudah mabuk akan air anggur ini tidak bakal mau para kuli tinta itu menulis artikel-artikel yang bisa mengacaukan kondisi mental Sang Presiden dan Sang Perdana Menteri (yang sebenarnya sudah kacau seperti desa yang diterjang banjir). Selain itu dewan menteri pasti juga sedang sibuk mencari jurus-jurus baru untuk mempertahankan posisi mereka dalam beberapa tahun ke depan, baik dengan cara politis biasa maupun cara-cara yang lebih tak bermoral. Ah! Negeri ini tengah menuju kehancurannya. Harus ada yang merubahnya.
Alam Semesta Versigi, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 17 Agustus 2008
<Sanjaya>
Aku membawa kakiku ini menaiki anak-anak tangga menuju tingkat 7 sebuah gedung bertingkat berjarak 450 meter dari Istana Negara. Aku tiba di puncak gedung, yang berangin kencang dan sepi-lengang. Aku berjalan dengan membawa sebuah kotak hitam panjang. Ketika tiba di tempat tujuanku aku meletakkan kotak itu di lantai semen.
Aku membuka kotak di sampingku ini, di dalamnya terdapat sebuah sniper rifle berwarna hitam metalik. Segera kurakit komponen-komponen senapan ini hingga membentuk sebuah senapan yang utuh. Aku mengisikan peluru ke dalam senapan ini dan perlahan kubidikkan senapan itu ke arah tempat duduk Sang Perdana Menteri.
Masih ada waktu 10 menit sebelum amanat pembina upacara dimulai dan kurasakan ada seorang yang hadir di belakangku. Kupalingkan wajahku ke arah belakang dan kulihat dia. Seorang wanita bertudung merah. Seorang yang aku kenal di masa lalu, seorang Kadhara yang telah lama aku kenal.
“Mau apa kau kemari?” tanyaku pada sang Kadhara.
“Kau serius hendak melakukannya, Sanjaya?” tanya wanita itu datar.
“Oh, pernahkah aku bergurau dengan ucapanku?”
“Tidakkah sebaiknya kau pikirkan lagi perbuatanmu Sanjaya?”
“Aku telah memikirkan perbuatanku ini masak-masak, Santi. Ucapanmu tak akan bisa hentikan aku.”
“Sebegitu bencikah dirimu pada negeri ini? Sampai-sampai kau hendak tumpahkan darah seseorang di kala negeri ini sedang larut dalam dirgahayunya?”
Aku terdiam sejenak dan ia melanjutkan kata-katanya, “Meskipun banyak hal yang mencoreng bangsa ini, namun jangan lupa di sinilah kita berpijak, di sinilah lahir dan mati kita, maka kita harus tetap cinta.”
“Aku melakukan ini semua atas dasar cinta pada negeri ini, Santi.”
“Cinta? Kau mencintai negeri ini dengan menumpahkan darah?” nada suaranya sedikit meninggi.
“Santi, merah adalah gelora keberanian, tapi jangan lupa bahwa merah itu warna darah. Itu artinya aku akan tumpahkan darah. Putih adalah kesucian, tapi jangan lupa kesucian berarti terus berjalan lurus dalam jalan Tuhan. Kesucian itu menentang adanya pertumpahan darah sesama manusia. Aku merah dan kau putih, bersama-sama kita membangun negeri ini. Aku adalah tindakan sementara dirimu adalah gagasan.”
Ia kini terdiam sehingga aku bisa melanjutkan kata-kataku setelah sejenak menghela nafas, “Tapi kita telah melupakan makna warna biru pada bendera Belanda itu. Aku dengar biru adalah berkat Tuhan. Apakah menurutmu… negeri ini tidak lagi diberkati oleh Tuhan?”
“Sang Maina tidak memihak sebuah negeri. Negeri manapun itu,” jawabnya.
“Jika Tuhan tidak memihak sebuah negeri manapun. Maka kita harus membangun sebuah negeri dengan tangan kita sendiri.”
“Tapi jika kau membunuh Presiden dan Perdana Menteri maka dirimu tak akan pernah mencapai Ahura Mazda.”
“Itulah bedanya dirimu dan dirimu, Santi. Kau selalu takut akan neraka, sementara aku? Aku sudah lupakan segala bentuk janji-janji dari Sang Maina.”
“Kau tenggelam dalam merahnya darah dan semangat yang merah membara sehingga dirimu sampai lupa daratan, Sanjaya.”
“Salahkah aku berpikiran seperti itu sebagai manusia?”
“Salah!”
“Menurut siapa? Menurut kitab suci? Menurut hukum? Menurut Sang Maina?”
“Menurut….,” ia terdiam.
“Percayakah kau atas segala hal yang tertulis?”
“Jika kita tak mempercayai kesucian ayat dan sabda maka apa yang dapat kita jadikan pegangan?”
“Pembuktian empiris, Santi. Negeri ini sudah kacau. Dikacaukan oleh sekumpulan orang bejat. Negeri ini dibangun di atas darah-darah merah para pahlawan serta niat-niat tulus yang putih seputih awan dari segenap rakyatnya. Tapi zaman sudah berubah, para bedebah-bedebah pengkhianat negeri itu kini bangkit mencengkeram negeri ini, merenggutnya dari tangan orang-orang benar. ”
“Dan siapa yang memberimu hak mencabut nyawa manusia?”
“Kita sudah diberi hak oleh alam, Santi. Namanya hukum alam. Ada pemburu dan ada buruan. Kita diberi tangan dan kaki untuk menaklukkan dunia.”
“Kita diberi dunia untuk diolah, bukan ditaklukkan!”
“Kalau begitu tangan dan kaki ini akan menjaga dunia. Tapi pertama-tama, tangan dan kaki ini akan menjaga segenap rakyat Indonesia dari bedebah ini. Bedebah yang sudah lupa akan penderitaan rakyatnya, lebih baik mati saja.”
“Stop, Sanjaya!” tangan Santi bergerak sedikit dan kurasakan tanganku kaku, tak bisa kugerakkan.
“Kau gunakan kemampuan telekinesismu untuk menghambat langkahku, Santi?”
“Aku tak bisa membiarkan kau menumpahkan darah seorang manusia.”
“Lepaskan aku, Santi. Aku adalah manusia yang bebas berkehendak. Biarlah aku yang dibakar gelora api yang merah membara ini melaksanakan niatku!”
“Aku tak akan bisa biarkan dirimu lakukan itu. Aku sebagai pemilik nurani yang berjalan di atas cahaya putih tidak akan bisa membiarkanmu menumpahkan darah orang lain!”
“Meski itu darah seorang bedebah?”
“Meskipun itu darah seorang yang sebenarnya tak layak nikmati hidup!”
“Tapi sayang kekuatanmu tak bisa menahanku, Santi!” aku menghentakkan tangan kiriku sekuat tenaga, lalu mencabut sebuah revolver yang terselip di kaus kaki kiriku dan menembaknya.
Ia jatuh tersungkur ke atas lantai aspal yang keras dan kasar. Mati? Jangan khawatir. Dia tidak mati, hanya pingsan. Aku gunakan peluru bius untuk pistol ini.
“Nah, tidurlah dengan tenang di pulau-pulau awan dalam mimpimu, Santi,” ujarku sembari mengkokang senapanku.
Sang Pembina Upacara – Sang Presiden telah berdiri di podium dan mulai meracau akan segala gagasan-gagasan ideal yang tak pernah ia wujudkan dalam dunia nyata. Di belakangnya, Sang Perdana Menteri berdiri di tengah-tengah belasan pengawal berseragam militer.
Ah, bahkan Julius Caesar pun menolak untuk diberi pengawal. Tapi mereka, bedebah-bedebah yang bahkan tidak bisa melakukan separuh apa yang dilakukan Caesar, kini dikelilingi oleh para pengawal yang siap serahkan nyawa demi keselamatan mereka. Bedebah-bedebah ini jauh lebih buruk daripada Caesar, tapi mereka berlagak lebih hebat daripada Caesar.
“Oh yah, kalian berdua adalah adalah Caesar dan aku adalah Brutus. Dan kau tahu sendiri Brutus datang menghampiri Caesar untuk menuntut nyawa. Begitupun aku, yang datang kemari untuk menuntut nyawa!” gumamku dalam hati.
Aku bidikkan senapan ini dengan hati-hati ke arah pelipis kanan Sang Presiden, kuremas-remas jari-jari tanganku sejenak dan… DOR!
Pelatuk senapanku telah kutekan. Sebuah peluru melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Sang Presiden, menembus pelipis kanannya dan bersaran di dalam otaknya. Sosok Sang Presiden yang berwibawa itu pun akhirnya jatuh bersimbah darah di atas karpet merah. Terjadilah kepanikan, para Paspampres dengan cepat berkumpul mengelilingi jenazah Sang Presiden, beberapa dari mereka turut pula mengelilingi Sang Perdana Menteri.
Aku mengambil sebuah walkie talkie dan berbicara dengan seseorang, “Vox Populi, Vox Dei! Suara rakyat adalah suara Tuhan!”
Masih aku membidikkan teropongku ke arah Sang Perdana Menteri yang tengah dikawal menuju tempat yang aman. Salah satu Paspampres menatap ke arahku, menyunggingkan seulas senyum lalu menarik sebuah revolver dari saku jasnya dan menembak jatuh keempat rekan Paspamresnya. Kontan saja para Paspamres yang tersisa segera memberondongi dia dengan tembakan beruntun sehingga dirinya rubuh ke tanah. Darah seorang anak manusia lagi kembali tertumpah di atas tanah Nusantara, tapi kali ini demi kebaikan banyak orang.
“Jangan khawatir Saudaraku, darahmu yang tertumpah ini tidak akan sia-sia!” ujarku sembari melepaskan kembali sebutir peluru yang mengenai dahi Sang Perdana Menteri dengan telak. Tubuh itu akhirnya limbung dan terjatuh menghantam bumi. Kembali kepanikan terjadi, para peserta upacara berlarian, mencoba menyelamatkan hidup mereka yang rata-rata menyedihkan itu lari dari jangkauan tembak. PASKIBRAKA ditarik mundur ke sudut lapangan. Barisan prajurit yang gagah berani dalam seragam-seragam militer mereka segera berbaris, berisap dalam posisi tempur.
“Misi selesai!” ujarku di hadapan sebuah walkie-talkie. Kukemasi senapanku dan cepat-cepat aku turun, setelah sebelumnya menyandarkan tubuh Santi yang lemah terkulai ke sebuah dinding.
Alam Semesta Versigi, Surabaya, Ibukota Region Jawa, 21 Agustus 2012
<Santi>
“Kau benar, Sanjaya! Warna putih tidak akan bisa meluruhkan warna merah. Alih-alih justru warna putih yang perlahan memerah karena terkena lunturan warna merah. Ya, aku mengerti jalan pikiranmu Sanjaya. Kau telah menempuh jalan penuh darah demi negerimu dan hasratmu. Tapi kau lupa… bahwa tanpa warna putih, merah akan membabi buta seperti banteng gila,” ujarku pada semilir-semilir angin di hadapan sebuah nisan.
Dan di nisan itu tertulis sebuah nama:
TEGUH HARIMURTI SANJAYA
Lahir : Bogor, 21 Januari 1984
Wafat : Surabaya, 12 Agustus 2010
“Ah, tapi putih tanpa merah juga akan hancur,” jawab sebuah suara yang berasal dari belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan kudapati seorang pria berkepala botak datang mendekatiku sembari membawa seikat bunga.
“Masih berdebat soal itu dengan Sanjaya, Santi?”
“Masih. Dengan segala kebodohannya itu ia pantas untuk diganggu dengan sebuah topik yang usang ini,” jawabku sambil tersenyum getir.
“Meskipun itu akan mengganggu tidurnya?” tanya sang pria.
“Oh kau tidak tahu perasaanku, Calya!”
“Aku tahu, kalian sepasang kekasih yang memutuskan untuk menjaga ikatan kasih sebatas teman. Ia mencintaimu tapi sama sekali tidak berniat menikahimu yah? Tapi di sisi lain kau tak mampu mencintai pria lain. Maka dari itu kau memutuskan menjadi Khadara, walau kau tahu bahwa dirimu pasti akan berakhir sebagai perawan tua.”
“Dari mana kau tahu soal itu?” aku mendelik.
“Dari isi kepalanya,” jawab Calya santai.
“Kau! Kau yang mengirimkan dia ke alam sana bukan, Iblis?” ujarku geram.
“Oh ya. Benar sekali. Ia maju dengan gagah berani, menantang diriku dengan segala kefanaannya,” jawabnya sambil menyeringai.
“Kau!” aku menghunus sebuah belati perak dari balik jubahku dan menusukkannya ke dada Calya, tapi ia sama sekali tidak bergeming. Ia mencabut pisau itu dengan tenangnya dan tiada satu pun tetes darah yang aku lihat merembes di pakaiannya.
“Negeri ini adalah negeri merah dan putih yang tengah dicat oleh warna hitam. Kau… sang putih telah tergerus oleh merah, dan tak lama lagi warna hitam akan menutupi warna putih itu. Aku sendirilah… yang akan mewarnai negeri ini dengan warna hitam sekelam malam,” pria itu menudingkan jarinya dengan seulas seringai ke arahku.
“Tapi jangan kau pikir merah akan membiarkanmu menelan putih. Kau tidak tahu ikatan apa yang ada antara merah dan putih.”
“Merah akan tertelan pula oleh hitam, Santi. Hanya tinggal menunggu waktu. Tiada yang bisa menghentikannya, Santi. Tidak dirimu, tidak dengan para pengikut Paravandaah. Sang Maina-mu tak akan menurunkan barang satu makhluk langit pun untuk menghalangi kami. Kalian sudah kalah, ”
“Putih adalah cahaya! Ia akan mampu menembus hitamnya kegelapan!”
“Tidak, putih adalah warna yang rentan tersaput oleh seluruh warna! Jika ia ternoda oleh warna merah maka ia akan turut beringas. Jika ia ternoda oleh hitam maka ia akan musnah.”
“Kita lihat saja nanti,” ujarku sambil beranjak pergi.
Tapi sebelum aku sempat berjalan cukup jauh, sayup-sayup kudengar sebuah suara.
“Selamat tidur Sanjaya. Tidurlah dengan tenang dalam istirahat abadimu, walau aku ragukan jika kau tidur nyenyak di alam sana,” ujar Calya sambil meletakkan bunga di atas makam itu.
==TAMAT==
Penjelasan :
Versigi adalah sebuah dunia paralel yang memiliki 80% kemiripan dengan dunia kita. Di Versigi, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak pernah dikeluarkan sehingga Indonesia tetap berbentuk Negara Serikat. Kepala negara tetaplah Presiden tapi kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri. Kepercayaan di semesta ini hanya ada 2, Paravandaah yang memuja Maina dan Abaravand yang bisa disetarakan dengan kaum atheis.
Paravandaah dipimpin oleh Patriakh (pendeta pria) dan Matriakh (pendeta wanita). Calon pendetanya disebut Khadara. Baik Patriakh maupun Matriakh dilarang untuk menikah.
Cerita ini adalah kisah masa lalu Sanjaya yang muncul di bab-bab awal Contra Mundi seri Putra Bumi dan menjadi salah satu tokoh utama di Contra Mundi seri Anak-Anak Manusia :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top