ANGRA MAINYU

Daftar Istilah :

Sipahi = korps kavaleri

Bostanji = penjaga istana, pengawal keluarga sultan.

Effendi = Tuan (Sir / Madam)

Effendim = Yang Mulia

Sehzade = pangeran

Khalifah = gelar lain Sultan Turki

Khalifah Muawiyah = khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib

Asakir-i Mansure-i Muhammediye = Laskar Mansur, laskar elit pengawal Sultan yang menggantikan korps Yeniceri (Janissary).

Alam Semesta Jara, Istanbul, Kesultanan Turki Utsman, Jumaada al-awal 1432 Hijriah

Seorang pria muda berambut ikal tampak menunggu dengan resah saat sebuah kapal feri tampak merapat di Pelabuhan Tanduk Emas. Matanya nyalang dan kepalanya berkali-kali menoleh ke segala arah dengan resah, sampai seorang pria berjanggut tipis dan mengenakan kemeja kotak-kotak biru tampak menghampirinya.

“Ini tiketmu, Haris,” kata pria itu, “Lekas naik sebelum Para Mansur mnemukanmu.”

“Terima kasih atas bantuanmu Shaprut,” sang pria berambut ikal itu bergegas menaiki kapal feri yang merapat itu sambil menutupi wajahnya dengan sebuah sorban. Jantungnya masih berdegup kencang. Para Laskar Mansur atau yang bernama lengkap Asakir-i Mansure-i Muhammediye, nyaris saja mempergokinya tadi. Kalau bukan karena bantuan teman lamanya, Shaprut, sudah pasti mereka bakal menyeretnya ke penjara serta memburu istri dan anak-anaknya.

“Perhatian!” tiba-tiba seseorang berseru melalui sebuah megafon, “Kepada kapten kapal Nazuh Sadak, kami mohon agar anda tidak berlayar dahulu. Kami, Laskar Mansur, hendak memeriksa para penumpang. Seorang bostanji – pengawal keluarga sultan – yang diduga membunuh Sehzade Aydin diduga berada dalam kapal ini.”

Sang kapten kapal yang ada di ruang kemudi segera keluar dan berseru pada Laskar Mansur itu, “Silakan Effendi, silakan periksa semua penumpang kami.”

“Terima kasih Kapten,” sang Laskar Mansur yang berseragam serba hitam dan mengenakan fez – kopiah khas Turki yang dibuat dari kain kaku– warna hitam pula itu segera menaiki kapal.

Melihat hal itu, Haris cepat-cepat bersembunyi ke dalam sebuah toilet dan menatapi mukanya di sebuah cermin buram. “Ayo!” ujarnya pada dirinya sendiri.

Ditatapinya cermin itu lekat-lekat, bayangan wajah seorang pria Turki berjanggut tipis dan berambut ikal terpantul di cermin itu. Tapi di pikirannya, Haris membayangkan sosok lain. Dibayangkannya wajah di cermin itu bukan lagi wajah seorang Haris Rasyid bin Adnan Sina namun seorang yang lain. Ia bayangkan janggutnya memanjang, menutupi leher dan dadanya. Ia bayangkan matanya tak lagi berwarna coklat, melainkan biru. Dan terakhir ia membayangkan rambutnya tak lagi ikal, melainkan lurus dan dipotong  rata.

Semenit menatap cermin, yang ia dapati berubah barulah warna matanya semata. Sementara itu derap Laskar Mansur semakin terdengar berderap di luar sana. Degup jantung Haris meningkat dua kali lebih cepat. Dengan panik ia kembali mengkonsentrasikan perubahan wajahnya. Kali ini perubahannya mulai lebih cepat. Rambut ikalnya sudah menghilang, digantikan oleh rambut rata, janggutnya pun sudah mulai memanjang dan pada akhirnya ia nyaris tak lagi mengenali sosok yang terpantul di cermin itu.

Baru saja ia hendak mengagumi hasil kerjanya, seorang Laskar Mansur menggedor-gedor pintu toilet tempatnya bersembunyi. “Buka! Buka!”

Haris dengan tenang membuka pintu toilet dan tersenyum kepada sang Laskar Mansur, “Ya Effendi. Ada yang bisa saya bantu?”

“Apa anda pernah melihat orang ini?” sang Laskar Mansur itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain adalah foto dirinya.

Hayir – tidak, Effendi,” Haris menggeleng kalem.

“Baiklah, terima kasih atas bantuan anda, Effendi,” sang Laskar Mansur itu segera berlalu dari dirinya, melanjutkan tugasnya memeriksa penumpang lainnya.

Satu jam kemudian, Laskar Mansur itu turun dari kapal karena tidak juga menemukan buronan yang mereka cari. Setelah itu kapal pun dibebaskan untuk berlayar. Haris pun menarik nafas lega dan segera saja menuju ke dek penumpang kelas tiga, di mana dirinya duduk merebahkan diri di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu.

******

Haris tertidur dan ia bermimpi. Mimpinya membawanya kembali ke kejadian naas seminggu yang lalu.

Saat itu ia dan rekan-rekannya sesama bostanji mendampingi Sehzade Aydin, seorang putra Sultan Bayezid IV dari İkinci Kadınefendi – permaisuri kedua, dalam suatu eskavasi sebuah situs purbakala milik para ahli-ahli kitab. Penggalian ini dari awal sudah tidak berjalan lancar, mulai dari penolakan warga desa setempat yang percaya bahwa kuil ini terkutuk, kecelakaan yang membuat seorang bostanji cedera, dan semuanya mencapai titik klimaks dengan meledaknya kuil itu.

Kuil itu sendiri secara karakteristik adalah kuil milik salah satu aliran ahli kitab yang menyebut diri mereka Mazdean atau Zoroasterisme. Sebuah kepercayaan yang awalnya berkembang di Persia, tentang keberadaan suatu zat esa yang disebut Mazda. Tapi kuil itu memiliki satu keanehan. Tulisan-tulisan aksara paku – piktograf – yang terpahat di dinding-dindingnya menyatakan bahwa kuil itu dipersembahkan untuk Angra Mainyu. Haris ingat saat itu ia sudah memperingatkan sang sehzade bahwa kuil ini mungkin saja menyimpan sihir jahat. Ada baiknya penggalian tidak dilanjutkan.

Tapi sang sehzade bersikeras melanjutkan penggalian. “Tak satupun sihir yang dapat mencelakakan siapapun yang berjalan di jalan Allah!” katanya.

“Tentu saja, Effendim,” begitu jawab Haris kala itu, “Tapi harap Effendim pertimbangkan masak-masak. Kuil ini tampaknya dibangun oleh orang-orang mungkar dari kalangan ahli-ahli kitab. Siapapun yang membangun kuil ini adalah pemuja iblis laknat. Tak pantas kiranya putra seorang Khalifah ada di tempat ini. Baiklah kita undur diri dulu, melapor ke Istanbul, dan biarkan dewan ulama memutuskan apakah yang harus dilakukan dengan tempat ini.

“Haris,” Sehzade Aydin memandangnya dengan tatapan tidak suka, “Di antara dewan ulama selalu ada orang picik. Dan orang-orang picik itu hanya mau melihat dan mendengar apa yang ingin mereka lihat dan mereka dengar. Ada kemungkinan tempat ini boleh kita eksplorasi lebih jauh lagi, tapi ada juga kemungkinan mereka akan mengusulkan tempat ini dihancurkan. Tidak, Haris! Sebelum kita tahu lebih banyak soal tempat ini, tak ada yang boleh melapor ke Istanbul! Paham?”

Dua hari kemudian penggalian mereka menemukan sebuah ruangan rahasia di mana terdapat sebuah patung perunggu sesosok makhluk yang wujudnya merupakan campuran antara kepala singa bertanduk kambing, tubuh manusia, dan kaki beruang.

“Angra Mainyu!” desis Sehzade Aydin takjub ketika melihat patung itu. Dan tak berapa lama kemudian terjadilah peristiwa naas itu.

Sehzade Aydin melihat sebuah kijil – pedang melengkung – yang bilahnya memiliki karakteristik seperti logam-logam damascus – logam tertajam di dunia, tertancap di sebuah altar di hadapan patung itu. Tulisan piktograf di altar itu terbaca seperti ini :

Di sini Angra Mainyu menyegel dewa-dewa jahat Yazata guna melindungi umat manusia dari kehancuran.  Yang Mulia telah mengorbankan banyak putra-putranya guna mencapai tujuan ini.

 

“Apa maksudnya ini?” Haris mengernyitkan dahi ketika penerjemah mereka selesai membaca tulisan itu.

“Tampaknya siapapun yang mendirikan kuil ini percaya bahwa dewa mereka, Angra Mainyu, adalah dewa yang baik,” jawab Sehzade Aydin sembari mengulurkan tangannya ke arah kijil tersebut.

“Tunggu sebentar, Sehzade!” Haris hendak memperingatkan sang pangeran tapi terlambat. Kijil itu dengan mudahnya tercabut dari altar oleh tangan sang pangeran dan terjadilah sebuah ledakan hebat. Atap kuil itu runtuh dan bersamaan dengan runtuhnya atap kuil itu, sejumlah besar gumpalan asap putih keluar dari lubang tempat pedang itu tertancap tadi.

Dan segumpal asap hitam masuk ke dalam mulut Haris.

******

Haris terbangun ketika ia merasakan udara di sekitarnya mulai mendingin. Ia bertanya kepada seorang kelasi tentang posisi mereka saat ini dan kelasi itu menjawab, “Masih di Laut Marmara, Effendi, belum sampai ke Laut Aegea. Anda turun di mana, Effendi?”

“Thessaloniki,” jawab Haris.

Dan sesaat kemudian suara adzan maghrib berkumandang di sepenjuru kapal.

“Di mana musalanya?” tanya Haris pada sang kelasi.

“Di sana Effendi,” sang kelasi menunjuk ke satu arah dan Haris pun berjalan ke arah musala untuk shalat.

Usai shalat, ia menuju ke ruang makan, mengambil jatah makan malamnya berupa satu kebab daging, dua potong roti pide – roti panjang khas Turki dengan irisan kacang dan daun basil di atasnya, dan segelas susu, kemudian beranjak ke dek, menatapi ombak Laut Marmara yang tampak merah karena matahari mulai terbenam. Menatapi matahari yang hendak terbenam itu, Haris tiba-tiba teringat pada pesan terakhir Sehzade Aydin sebelum wafat karena dibunuh beberapa hari yang lalu, “Jaga kijil itu Haris! Jangan biarkan seorangpun memilikinya!”

Haris sendiri tidak tahu persis apa sebenarnya asap hitam yang masuk ke dalam dirinya beberapa hari yang lalu. Tapi yang jelas, pasca membawa Sehzade Aydin pulang ke Istanbul dalam kondisi luka parah dan wafat beberapa hari kemudian, tiba-tiba saja Laskar Mansur menuduhnya hendak melakukan pembunuhan terencana pada Sehzade Aydin. Haris meminta diadakan pengadilan untuk membuktikan tuduhan itu, tapi jawaban yang ia terima adalah beberapa lubang peluru di kediamannya. Ia sempat terkena terjangan peluru namun entah kenapa luka akibat serangan peluru itu sembuh dengan cepat. Setelah mengungsikan anak dan istrinya ke tempat yang aman, Haris berkali-kali nyaris tertangkap oleh Laskar Mansur namun selalu berhasil lolos setiap kali ia berbaur dengan kegelapan. Kegelapan memberinya kekuatan baru, menyembunyikan dirinya dari musuh, menyembuhkan luka-lukanya, dan yang lebih hebat lagi : mampu membuatnya merubah rupa dan penampilannya meski untuk melakukan hal yang satu ini agak sulit dan butuh konsentrasi tinggi.

*****

Matahari sudah benar-benar tenggelam saat ini. Kebab dan roti pidenya sudah habis. Ia kini meneguk habis susu hangat dalam cangkirnya sebelum disapa oleh seorang perempuan berkerudung ungu dan berbaju biru lapis lazuli.

“Selamat malam, Effendi. Sendirian saja?” nada suaranya genit, menggoda, dan punya pesona tersendiri. Membuat Haris tiba-tiba saja merasa akrab dengan perempuan itu, entah kenapa.

Evet – ya ,” jawab Haris, “Apa anda juga sendirian Bayan – Nona?”

“Oh tidak, Effendi. Aku bersama saudara lelakiku. Tapi ia merasa agak mabuk laut jadi ia beristirahat saja di dalam kamar.”

“Oh begitu,” Haris tampak manggut-manggut.

“Ke mana tujuan anda, Effendi? Ke Thessaloniki atau Athena?”

“Thessaloniki,” jawab Haris singkat.

“Ke tempat yang tidak dijangkau oleh Laskar Mansur ya, Haris Rasyid bin Adnan Sina?”

Secara refleks Haris langsung melempar gelas susunya ke laut dan mencabut pisau belati yang sedari tadi terselip di pinggangnya.

“Siapa kau?” bentak Haris.

“Para Mansur mungkin bisa dibohongi Haris, tapi kami tidak,” wanita itu tiba-tiba mengibaskan tangannya dan pisau di tangan Haris terlepas dan terlempar ke laut.

Haris terperangah dan wanita itu melemparkan senyum kecil, “Oh ngomong-ngomong aku biasa dipanggil dewi malam.”

“Yazata!” Haris melangkah mundur dan mengambil jarak dengan wanita itu, “Mah?”

“Ah baik sekali kau mengingatku Angra Mainyu.”

“Ternyata kau sesuai sekali dengan deskripsi yang aku baca. Seorang wanita penggoda dan berbahaya,” Haris mengibaskan tangan kirinya dan sebuah pusaran lubang hitam terbentuk di sampingnya. Tangannya ia masukkan ke dalam pusaran itu dan keluarlah sebilah kijil berwarna hitam legam dari gagang hingga bilahnya.

“Telal ya? Humm, aku mau saja menemanimu lebih lama lagi, tapi sayangnya aku tidak punya pedang semacam itu dan ah ... biar saudaraku saja yang urus dirimu. Mithra!” Mah menjentikkan jarinya dan sesaat kemudian Haris merasakan sebilah logam tajam menembus punggungnya.

“Halo Angra Mainyu!” terdengar suara berat seorang pemuda bermata merah menyala di belakang Haris.

“Mithra!” Haris mendesis geram.

“Sekarang waktunya kau kembali ke kurunganmu,” ujar Mithra.

“Tidak sekarang,” Haris balas menusukkan kijilnya ke arah Mithra, tapi Mithra kemudian melompat tinggi dan mendarat tepat di depan Haris. Ia lalu kembali menerjang ke arah Haris. Haris sempat memperhatikan bahwa tangannya tidak memegang senjata, tapi tadi ia jelas-jelas merasakan Mithra menghujamkan sesuatu semacam bilah pedang ke arahnya.

“Di mana dia sembunyikan pedangnya?”  Batin Haris.

Haris tidak perlu waktu lama untuk mendapat jawabannya. Ketika Mithra mengayunkan tangan kanannya, secara refleks Haris langsung menyabetkan kijilnya ke arah tangan Mithra. Kijil miliknya bertubrukan dengan suatu kekuatan tak kasatmata. Senjata Mithra tak kasatmata, wajar jika ia tak bisa melihatnya.

“Setelah abad demi abad berlalu akhirnya kita bisa selesaikan urusan kita, Angra Mainyu,” senjata Mithra yang tak kasatmata bergesek dengan kijil Haris. Suara gesekan pedang itu menggema cukup keras di sepenjuru kapal, tapi anehnya tak ada satupun orang yang mendatangi sumber keributan itu.

“Kau tidak takut seorang akan memergoki kita, Mithra?”

Mithra tersenyum, “Sama sekali tidak. Haoma sudah mengurus semuanya. Seluruh penumpang kapal ini sudah tak sadarkan diri.”

Tekanan Mithra pada kijil Haris makin menguat. Haris menendang kaki Mithra untuk menggoyahkan pertahanannya tapi Mithra bergeming. Ia seperti baru saja menendang pilar besi alih-alih kaki manusia.

“Kenapa Angra Mainyu? Tertidur selama 5000 tahun membuatmu lemah?” Mithra menyentakkan pedang tak kasatmata miliknya dan Haris merasakan sesuatu kekuatan mendorongnya hingga terpental sejauh tiga meter dari tempatnya berpijak. Membawanya langsung jatuh bebas ke tengah laut.

Haris berusaha tetap mengambang di permukaan tapi tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya masuk ke dalam lautan. Di dalam air yang gelap, samar-samar Haris melihat sesosok misterius bersenjatakan lembing tampak hendak menyerangnya. Lembing dan kijil pun bertemu.

“Yeyy!! Ayo Tishtrya!” terdengar suara genit Mah di dalam air. Wanita itu tampak berdiri di atas air sambil bertepuk tangan menyemangati pria berlembing yang tengah menyerang Haris.

Ciğerini sikeyim – terkutuklah livermu!” Haris menyentakkan kijilnya dan mendorong Tishtrya jauh ke dalam air lalu berenang kembali ke permukaan.

Baru saja ia sampai di permukaan, dua tangan yang kuat langsung membenamkan kembali kepalanya ke dalam air. Haris meronta-ronta tapi sesaat kemudian Tishtrya kembali menariknya jauh ke dalam air.

Gelembung udara keluar dari mulut sang mantan pengawal keluarga sultan itu, sementara Tishtrya menariknya semakin ke dalam lautan.

Lalu waktu tiba-tiba terasa berhenti. Tishtrya membeku di tempatnya, ikan-ikan pun berhenti berenang. Gelombang air pun terhenti di tempatnya. Hanya Haris seorang yang mampu bergerak. Ia terpana namun segera saja berusaha berenang kembali ke atas permukaan laut. Prioritas pertamanya saat ini adalah menyelamatkan diri.

Tapi segera saja sebuah kegelapan yang amat pekat mengungkungnya. Haris tercekat. Kegelapan ini terasa sangat menakutkan. Bulu kuduknya meremang, tenggorokannya terasa kering, dan matanya terasa ditusuk-tusuk benda tajam. Satu-satunya hal bagus yang dipersembahkan oleh kegelapan ini adalah daerah sekitarnya menjadi kering dan ada cukup udara bagi dirinya untuk bernafas. Baru sebentar ada di dalam kegelapan ini, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ia pun memuntahkan sesuatu yang basah, pahit, dan liat dari dalam perutnya.

Muntahannya itu segera membentuk sesosok makhluk yang memendarkan cahaya ungu. Sosok yang mirip dengan gambaran iblis yang sering digambarkan dalam literatur-literatur. Sesosok makhluk berkepala serigala, bertanduk, bertubuh layaknya manusia, tapi berkaki singa. Sosok yang lazim diukir di istana-istana raja-raja Persia saat ahli-ahli kitab masih punya pengaruh kuat di sana. Sosok sang raja kejahatan.

“Angra Mainyu,” Haris mendesis, dan mulutnya langsung berkomat-kamit, membacakan Ayat Kursi.

“Tidak perlu repot-repot membaca ayat seperti itu, Haris,” suara makhluk itu terdengar seperti gabungan suara banyak orang, baik pria maupun wanita.

Haris berhenti melafalkan ayat, bukan karena ia ingin, tapi karena lidahnya tiba-tiba kelu dan tangan serta kakinya seperti dijerat sesuatu yang tak nampak.

“Maaf untuk ketidaknyamanannya, tapi kita tidak bisa bicara secara bersamaan kan?” tukas Angra Mainyu.

“Hmmppfff!!” hanya itu suara yang bisa keluar dari mulut Haris.

“Kau ingin tetap hidup atau mati konyol di tangan para Yazata?” tanya Angra Mainyu sembari menjentikkan jemarinya.

Kini Haris bisa merasakan lidahnya tak lagi kelu, “Tentu saja tetap hidup! Tapi tidak dengan bantuanmu! Karena dirimulah aku jadi terseret dalam masalah ini.”

“Aku minta maaf soal itu, tapi kalau kau tetap ingin hidup, kau harus dengarkan aku, Haris.”

“Apa yang harus aku dengar dari iblis?”

“Iblis? Kau bilang aku iblis? Oh ya ampun. Apa di zamanmu, namaku sudah menjadi sebegitu buruknya? Aku bukan iblis, Haris. Kalau aku iblis aku sudah pasti kabur karena bacaan ayat-ayat suci Tuhan.”

“Lalu kau apa?” Haris menatap benci kepada Angra Mainyu.

“Bagaimana kalau kau anggap aku sesama makhluk ciptaan Tuhan?”

“Yang bukan keturunan Adam?”

“Haha,” Angra Mainyu terkekeh, “Adam bukanlah satu-satunya makhluk pertama yang diturunkan di semesta ini. Tapi ya, aku bukan keturunan Adam. Aku lahir oleh karena ritual seorang bernama Zurvan. Aku ada sebagai kegelapan, menyeimbangkan saudaraku, Mazda, guna memastikan dunia yang menjadi tanggung jawab kami tercipta dengan utuh dan tanpa ‘skandal’.”

“Kau? Menciptakan dunia ini?” Haris menyeringai, “Kudengar kau adalah pembohong sekaligus perusak. Pembunuh dan penipu kalau boleh aku tambahkan.”

“Terima kasih atas pujianmu. Oh baiklah, aku sudah menjelajah isi kepalamu selama beberapa saat dan menemukan bahwa dirimu mungkin tidak mempercayai hal ini tapi ... percayakah dirimu akan segala yang tertulis di buku-buku?”

“Ada sebagian buku yang tak pantas diragukan. Dan buku-buku itu menyatakan dirimu adalah musuh umat manusia.”

“Termasuk Kitab Silsilah Raja-Raja yang digembar-gemborkan sebagai silsilah aktual dari para Sultan?”

Haris terdiam. Kitab Silsilah Raja-Raja adalah kitab yang konon memuat silsilah Sultan Turki dari zaman Khalifah Muawiyah hingga Sultan sekaligus Khalifah saat ini. Tapi Sehzade Aydin selaku anggota keluarga Sultan sendiri pernah menyatakan bahwa kitab itu tidak otentik. Orang-orang Turki bukanlah keturunan Bani Ummayah. Orang-orang Turki yang ada sekarang adalah percampuran bangsa Armenia, Persia, dan sub-bangsa Mongol.

“Kitab itu tidak otentik tapi tak ada yang berani menentang keabsahannya. Avesta pun demikian. Kitab itu menyatakan aku sebagai yang jahat, tapi pada kenyataannya tidak demikian. Yazata mungkin tampak sebagai dewa-dewi cinta damai, tapi sebenarnya mereka tunduk pada satu kekuatan yang bukan Tuhan ataupun Iblis. Mereka tunduk pada Amesha Spenta, yang konon merupakan pengawal-pengawal Mazda. Tapi itu bohong Haris. Aku tahu benar bahwa Mazda yang asli sudah lama mati. Kalaupun ia masih hidup tentu ia akan turut membantuku melawan para Yazata ini.”

“Mulutmu berbahaya,” Haris masih saja memilih untuk tidak percaya, meski sedikit banyak ia mulai meragukan keyakinannya.

“Oh ya sudahlah. Mari kita bicarakan soal ini lain waktu saja. Sekarang dirimu tetap ingin melanjutkan pembicaraan ini di lain waktu atau kita sudahi di sini saja dan sampai jumpa di neraka sana?”

“Berani benar kau bilang aku akan masuk neraka?!”

“Aku bilang begitu karena kau sudah menjadikan dirimu musuh Mithra. Percayalah, Mithra punya hubungan khusus dengan Izrail dan Maalik. Ia, Rashnu, dan satu orang lagi punya hak veto untuk memasukkan orang ke neraka. Jadi .... apa jawabanmu?”

Orospu – haram jadah! Tamam – baiklah! Bawa aku keluar dari situasi ini dan kita bicara lagi di Thessaloniki atau kota manapun yang bakal kita singgahi.”

Tamam – sepakat! Kuharap setelah ini kau tidak keberatan dibantu seekor cumi-cumi yang mengalami obesitas.”

Lalu Angra Mainyu lenyap dan Haris kembali merasakan air masuk melalui hidung dan tenggorokannya. Tishtrya – si dewa bertombak dan berjanggut tebal itu – masih keras kepala mendorongnya lebih dalam lagi ke dasar laut. Tapi beberapa saat kemudian Haris melihat sulur-sulur gelap menjulang dari dasar laut yang gelap. Sulur-sulur itu mencengkeram Tishtrya dan Haris pun terlepas dari cengkeraman sang dewa hujan.

Tishtrya tampak menghujamkan tombaknya ke sulur-sulur raksasa itu. Tampaknya ia berhasil melukai dua dari sulur makhluk raksasa itu. Tapi sejenak kemudian Haris mendengar suara Angra Mainyu yang bergema di kepalanya. “Tusuk dia, Haris, dan jadikan dia bagian dari dirimu!”

Satu sulur melilit tubuhnya kemudian melontarkannya ke arah Tishtrya. Tishtrya yang sedang sibuk meladeni beberapa sulur raksasa, tak sempat bereaksi ketika Haris tiba dan segera saja kijil hitam di tangan Haris menusuk sang dewa hujan tepat di tenggorokannya.

“Sialan kau ... AngraMainyu,” itu ucapan terakhir Tishtrya sebelum tubuhnya luruh menjadi partikel-partikel hitam dan masuk ke dalam mulut Haris. Sekarang Haris merasa tidak lagi sulit bernafas dalam air. Air keluar masuk hidungnya bak udara saja.

“Bagaimana?” terdengar suara Angra Mainyu di dalam kepalanya, “Merasa lebih baik?”

“Jauh lebih baik,” jawab Haris dengan perasaan campur aduk – antara lega karena masih hidup, takut karena tanpa sadar ia sudah bersekutu dengan makhluk yang mungkin saja golongan iblis, dan kagum pada sosok yang perlahan menampakkan diri dari dasar laut itu.

Sosok itu adalah monster yang pernah diceritakan dalam buku perjalanan Piri Reis. Sosok monster laut yang menyerupai cumi-cumi raksasa sepanjang satu kilometer. Sosok yang lazim disebut kraken oleh para pelaut Denmark dan Norwegia.

“Dalam kegelapan, kita selalu punya sekutu. Kegelapan adalah wilayah kita, sementara tempat terang adalah wilayah Mithra. Ingat-ingat itu Haris. Pengetahuan ini akan menyelamatkan nyawamu suatu saat nanti,” ujar Angra Mainyu sebelum terdiam.

Sang Kraken tampak mengulurkan salah satu tentakelnya dan melilitkannya ke perut Haris dengan lembut lalu mendudukkan sang pria muda itu di kepalanya sebelum meluncur ke arah barat laut. Menuju Thessaloniki.

*****

Haris tiba di Thessaloniki keesokan paginya. Ia keluar dari dalam laut dalam kondisi basah kuyup. Azan sudah berkumandang di masjid-masjid, memanggil orang-orang untuk shalat subuh. Tapi Haris memutuskan tak akan shalat di tempat ramai seperti masjid karena ada kemungkinan Mithra atau Yazata lainnya ada di sana. Ia mengendap-endap menuju sebuah bangunan kosong di sekitar pelabuhan, lalu dengan tubuh yang masih basah kuyup menghadap ke arah kiblat dan bersujud.

==00==

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top