Andraste (The Beginning Night of Olivia Palander)
Pulau Saltholm, Denmark, 25 November 2011, 08.00
Sekumpulan petugas berjaket seragam biru tua dengan tulisan ‘Politi (Polisi – bahasa Denmark)’ di bagian punggung tampak sibuk bekerja di pantai pulau Saltholm, di sebelah timur Kopenhagen, yang tengah tertutup oleh lapisan es dan salju. Tampak di tengah-tengah mereka terdapat jenazah seorang pria berusia empat puluh tahunan, berambut putih, berkemeja biru dan bercelana jeans dalam kondisi basah kuyup. Seorang pria paruh baya berambut putih tampak mendekat ke sosok jenazah itu, pria itu berlutut sejenak sembari memegangi mulut jenazah yang tampak sedikit terbuka itu.
“Mati tenggelam setelah terseret arus, Pak,” ujar seorang wanita berambut pirang dengan potongan rambut pendek. Jika dilihat sekilas orang pasti akan menyangka ia seorang laki-laki.
“Jadi Olivia, apa benar ... dia loncat bunuh diri dari jembatan Øresund itu ya?” pria itu melirik ke arah jembatan yang menghubungkan Kopenhagen dengan Swedia itu.
“Benar Inspektur,” jawab gadis berpotongan rambut pendek itu.
Pria itu mendesah, menghembuskan asap putih dari mulutnya sebab udara di kala itu sangat dingin, “Ini sudah kasus ketujuh! Yesus! Ada apa dengan orang-orang ini?”
“Pak, Koroner Lars ingin bicara dengan Bapak,” seorang pria lain muncul, pria ini mengenakan jaket kepolisian berwarna hitam, dan berambut merah.
“Baiklah Peter, Olivia, aku tunggu laporan kalian berdua,” pria paruh baya itu bangkit dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
“Hari yang melelahkan ya,” pria yang dipanggil Peter itu menepuk bahu kanan gadis bernama Olivia tersebut.
“Sangat, bagaimana dengan temuanmu?”
“Mayat dua orang gadis kecil. Menurut saksi mereka berjalan menuju pantai dan hilang ditelan ombak. Tapi yah ... dua gadis itu warga Swedia, jadi itu pasti akan menjadi yuridiksi tim gabungan.”
“Bunuh diri massal yang aneh.”
“Setuju, ini sangat aneh.”
*****
Kopenhagen, Denmark, 25 November 2011, 11.20
Sebuah mobil patroli berhenti di depan deretan rumah berbahan bata merah. Seorang polisi wanita yang tak lain adalah Olivia tampak keluar dari bangku pengemudi dan berjalan memasuki sebuah rumah yang berada di urutan ketiga dari kiri.
Begitu gadis itu membuka pintu rumah seorang wanita paruh baya, bertubuh tambun, dan mengenakan pakaian hijau muda serta celemek merah tampak menyambutnya, “Pulang cepat Olvia?”
“Oh tidak Marta, aku hanya pulang sebentar untuk melihat kondisi ayah. Di mana beliau?”
“Ayahmu ada di ruang keluarga. Menonton televisi seperti biasanya,” wanita tambun bernama Marta itu kemudian berjalan ke arah dapur yang terletak di bagian belakang, “Kau mau makan Olivia? Aku punya smørrebrød (roti sandwich gandum hitam) dan ikan mackerel asap.”
“Ah bolehlah.”
“Nanti akan kuantar ke ruang keluarga.”
Olivia tidak membalas perkataan Marta lebih jauh. Ia langsung memasuki ruang keluarga di mana tampak seorang pria lanjut usia tidur di sebuah sofa beledu merah. Rambutnya sudah mulai berkurang, hanya menyisakan sedikit rambut putih di sisi kanan-kiri serta bagian belakang kepalanya. Kerutan wajah tampak penuh menghiasi wajahnya, tapi matanya tetap menunjukkan binar semangat kehidupan.
“Kok cepat? Bukankah harusnya kau sibuk dengan investigasi bunuh diri di Saltholm?”
“Rapat yang membahas soal itu akan diadakan 2 jam lagi. Jadi aku mampir sejenak untuk melihat kondisimu.”
“Heiii, kau tidak perlu mengkhawatirkan orangtua macam diriku Olivia. Kalau kau punya waktu senggang di sela-sela tugasmu carilah pacar! Jangan buang-buang waktumu dengan orangtua yang sudah tidak berguna ini,” ujar pria tua itu dengan nada setengah bercanda.
“Belum ada pria yang menarik hatiku.”
“Hehehehe! Bagaimana dengan Peter Suurballe? Kurasa ia pemuda yang cukup menawan.”
Gadis itu langsung terdiam, kegugupan melanda dirinya, dan cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan sembari menatap keluar jendela, “Semoga tahun ini cuacanya bagus.”
“Kau mengalihkan topik pembicaraan lagi Olivia, kenapa? Apa kau memang juga suka pada Peter?” mata pria tua itu melirik nakal pada anak gadisnya.
Gadis itu baru hendak membantah perkataan ayahnya ketika Marta memasuki ruang keluarga dan menaruh dua piring berisi ikan mackerel asap dan empat lembar smørrebrød di sebuah meja yang berada di hadapan sofa merah tersebut. “Silakan,” ujar Marta ramah sebelum kembali keluar.
“Sudahlah, ayo makan,” akhirnya ayahnya menghentikan pembicaraan itu dan bangkit dari pembaringannya untuk menyantap makan siangnya.
*****
Olivia baru saja keluar dari rumahnya dan bersiap untuk memasuki mobil patrolinya ketika sebuah suara tiba-tiba bergaung di telinganya. Andraste! Sayup-sayup telinga Olivia mendengar suara lirih yang memanggil nama seseorang. Suara itu terdengar seperti suara gabungan pria dan wanita yang mendesah. Meski nama itu asing di telinganya, namun entah untuk alasan apa, Olivia merasa suara itu memanggil dirinya.
“Itu tadi apa ya?” pikir Olivia untuk sesaat.
Andraste! Suara itu terdengar sekali lagi. Olivia langsung memusatkan konsentrasinya untuk mendengar jikalau suara itu terdengar kembali. Namun suara itu tak terdengar lagi.
“Mungkin aku salah dengar,” Olivia bergegas menyalakan mesin mobilnya dan memacunya ke kantor pusat.
*****
Jembatan Øresund, 28 November 2011, 20.30
“Cuacanya bagus yah?” ujar Peter kepada Olivia yang duduk di balik kemudi.
“Iya,” jawab Olivia datar sembari terus memperhatikan sekitarnya.
Suasananya hening untuk beberapa saat sebelum Peter mengulangi perkataannya lagi, “Cuacanya bagus yah?”
Olivia langsung mendelik sebal ke arah rekan patrolinya ini, “Peter Suurballe, ada hal lain yang hendak kau katakan selain soal cuaca?”
“Eh aku ... errr ... HEI! Lihat itu!” Peter menunjuk ke sebuah mobil SUV abu-abu yang terparkir sekitar 100 meter di depan mereka. Tampak tak jauh dari mobil itu sepasang ibu dan anak tengah berdiri di pinggir jembatan. Siap untuk terjun ke lautan di bawah mereka kapan saja.
“Astaga!” Olivia segera menyalakan sirene dan memacu mobilnya cepat-cepat ke lokasi tersebut. Begitu tiba kedua polisi itu langsung keluar dari mobil mereka dan masing-masing menarik dua orang itu dari pinggir jembatan. Peter menarik sang ibu dan Olivia menarik sang anak.
“Suara itu! Suara itu memanggilku!” ibu muda itu meracau tidak karuan sementara anak perempuannya terus menatap kosong ke arah deburan air laut di bawahnya.
“Tenanglah Bu! Tenanglah!” Peter berusaha menenangkan ibu muda itu sementara Olivia tampak merangkul bahu anak perempuannya.
“Mama,” tiba-tiba anak perempuan itu menoleh kepada ibunya, “mereka memanggil kita.”
“Siapa? Siapa yang memanggil Adik Kecil?” Olivia berlutut di samping anak itu dan mencoba melakukan kontak mata, tapi anak itu memalingkan wajahnya, seolah tak sudi bertatap muka dengan polisi wanita itu.
“Mari Bu, ikut kami ke kantor polisi,” ajak Peter pada ibu muda tersebut. Si ibu muda tidak langsung membalas ajakan Peter, ia lebih memilih diam seribu bahasa sambil menundukkan kepalanya.
“Ibu, mari ikut kami. Di sini dingin, tidak baik untuk kesehatan anak ibu.”
Si ibu muda secara tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatap Peter dengan tatapan aneh. Ia tersenyum sejenak sebelum berjalan perlahan menuju Olivia.
“Nona, aku ingin bicara dengan anakku,” ujarnya.
Olivia menatap ibu itu dengan tatapan penuh curiga sebab tatapan ibu itu tampak bukan seperti tatapan ibu yang pengasih melainkan seperti tatapan seekor binatang buas yang menatap calon mangsanya. Olivia baru saja hendak membalas perkataan ibu itu ketika sebuah cengkeraman yang kuat mencengkeram tangan kirinya. Olivia menoleh dan melihat gadis kecil itu menatapnya dengan tatapan aneh. Belum sempat bereaksi, ibu muda di sampingnya tiba-tiba memukul dadanya dan mementalkannya hingga membentur rangka-rangka baja yang berada di tengah jembatan.
“Olivia!” terdengar suara Peter memekik, namun ibu muda itu mengibaskan tangannya dan sebuah kekuatan tak terlihat mendorong Peter sehingga pria muda itu terlempar dan menghantam kap mobil patrolinya. Dari kejauhan ia hanya bisa melihat ibu dan anak itu saling berpegangan tangan dan terjun bebas dari jembatan.
“Tidak!” Peter bergegas melongok ke bawah jembatan disusul Olivia yang berjalan dengan terseok-seok. Tapi mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda ibu dan anak tersebut. Hanya deburan ombak yang menimbulkan buih keputihan yang terlihat oleh mata mereka.
“Aku akan panggil bantuan,” Peter segera berlari meminta bantuan melalui radio polisi di mobilnya sementara Olivia masih tampak tercenung menatap deburan ombak yang bergelung-gelung di bawahnya.
*****
<b>Kopenhagen, 3 Desember 2011, 20.30</b>
Olivia mendengar tiga kali suara ketukan di pintu rumahnya. Bergegas ia mengintip melalui jendela untuk melihat siapa tamunya. Begitu ia melihat bahwa tamunya adalah seorang yang ia kenal, buru-buru ia membukakan pintu.
“Halo Peter,” sapa Olivia.
“Halo Olivia. Sedang sibuk?”
“Tidak, kau mau masuk?”
“Tentu saja.”
Peter berjalan memasuki ruang keluarga tersebut dan mendapati seorang pria tua yang tak lain adalah ayah Olivia tengah duduk menghadapi sebuah papan catur.
“Ah, apa kabar Peter?” sapa pria tua tersebut.
“Baik-baik saja Tuan Palander. Bagaimana pula dengan anda?” balas Peter.
“Lumayan untuk seorang tua yang sudah tak bisa apa-apa. Ada perlu apa kau kemari?”
Peter tidak langsung menjawab, matanya menatap sejenak ke arah Olivia yang berdiri tidak jauh dari meja catur sebelum akhirnya kembali menatap sang pria tua, “Tuan Palander, aku ingin bicara sejenak dengan Olivia.”
“Soal apa?” tanya Olivia.
“Ada mayat baru, tapi situasinya semakin aneh. Aku bawa filenya dan aku butuh pendapatmu.”
“Apa aku harus pergi sejenak?” Tuan Palander tampak hendak bangkit dari kursinya.
“Ow tidak Ayah, barangkali saja aku perlu bantuan Ayah,” Olivia buru-buru mencegah ayahnya untuk beranjak pergi.
“Apa yang kau cari dari seorang pensiunan polisi?”
“Pendapat orang ketiga kadang ada baiknya, Yah.”
“Oke,” Peter mendesah sejenak, “Coba kau lihat ini Olivia,” Peter menyodorkan tiga lembar foto disertai sejumlah keterangan kepada Olivia. Foto pertama menunjukkan sosok dua anak remaja berusia belasan, lelaki dan perempuan, yang tampaknya kembar. Foto kedua dan ketiga menunjukkan pemandangan mengerikan dari mayat yang terbelah separuh dari selangkangan hingga dada. Seolah korban digergaji dengan posisi terbalik mulai dari selangkangan sampai dada.
Peter juga menyodorkan foto serupa kepada Tuan Palander yang langsung membelalakkan mata ketika melihat foto-foto itu.
“Mirip,” desis pria tua itu perlahan.
“Mirip? Apa maksud anda Tuan Palander? Mirip dengan apa?”
“Kasus yang sama terjadi 50 tahun yang lalu,” jawab Tuan Palander.
“Apa?” baik Peter maupun Olivia terperangah mendengar perkataan pria tua pensiunan polisi tersebut.
“Kasusnya ditutupi. Korbannya saat itu juga anak kecil. Pelakunya tidak pernah ditemukan, tapi ... entah kenapa para penyidik dilarang melakukan penyisiran di gereja tua di Saxogade.”
“Gereja yang sudah ditinggalkan itu?”
“Ya. Oh ya, gudang di jalan Vesterbo itu juga mencurigakan. Namun kami dilarang untuk mendekat ke sana oleh para Inspektur, entah untuk alasan apa.”
Olivia dan Peter saling berpandangan. Lokasi yang disebutkan tadi tadi jaraknya tidak jauh dari sini.
“Kita ke sana?” tanya Peter.
“Tentu,” Olivia segera menyambar jaket polisinya yang tersampir di sebuah kursi, “Maaf Yah, aku pergi sebentar.”
“Hati-hati Nak,” sahut Tuan Palander sambil menyaksikan dua insan tersebut pergi meninggalkan rumah.
*****
Olivia dan Peter langsung masuk ke dalam mobil patroli yang segera dinyalakan mesinnya oleh Peter. Mobil tersebut segera melesat menuju ke arah Jalan Vesterbo.
“Apa-apaan sebenarnya rentetan kasus ini ? Mula-mula bunuh diri, sekarang pembunuhan? Seolah ada iblis yang bermain di sini,” ujar Peter.
“Iblis?” Olivia terkekeh, “Jangan bilang kau masih percaya pada takhayul macam itu Peter.”
“Iblis bukan takhayul. Kasus-kasus yang terjadi saat ini ... entah kenapa membuatku merasa ada kekuatan di luar manusia yang bermain di sini.”
“Kau berkata seperti itu karena selama 20 tahun terakhir nyaris tidak ada kasus pembunuhan di Denmark. Bahkan nol untuk Kopenhagen. Tapi jelas kasus ini adalah perbuatan manusia, Peter. Perbuatan seorang atau sekelompok maniak yang entah datang dari mana.”
“Yah, mungkin kau benar. Maaf jika aku bicara yang tidak-tidak.”
“Lupakan.”
Tanpa terasa mobil mereka memasuki wilayah Vesterbo. Dari kejauhan Olivia melihat sosok mencurigakan tengah memasuki sebuah gedung tua berdinding bata merah yang seharusnya telah disegel. Peter langsung memandang ke arah rekannya, “Kita turun?”
“Ayo!” Olivia segera membuka pintu mobil dan bersama rekannya berlari ke arah bangunan tersebut. Pintunya tampak telah terkunci namun Olivia segera mendobraknya. Kondisi di dalam bangunan sangat gelap, tanpa penerangan. Baik Peter maupun Olivia segera menyalakan senter mereka.
“Aku cek lantai atas, kau cek lantai dasar,” ujar Peter.
“Oke,” Olivia langsung beranjak menuju sebuah pintu kayu usang dan reyot yang terletak di ujung ruangan sementara Peter segera naik ke lantai dua. Olivia baru saja membuka pintu itu ketika sebuah pemandangan memuakkan tersaji di hadapannya.
Sesosok tubuh wanita tampak terbelah menjadi dua bagian sama besar, terpotong secara vertikal. Tangan kirinya tampak tak utuh lagi dengan jari-jemari yang sudah dihancurkan. Buah dadanya telah dipotong dan dibiarkan tergeletak di lantai semen yang kotor. Jasadnya sudah setengah membusuk, menguarkan bau memuakkan yang membuat Olivia serasa ingin muntah.
Andraste! Suara itu terdengar kembali di telinga Olivia, kali ini terdengar semakin dekat dan jelas. Bahkan Olivia merasa suara itu ada di belakangnya. Karena itu ia membalikkan badan dan melihat dua sosok anak. Seorang anak lelaki dan seorang anak gadis. Usia mereka mungkin 12 tahun. Namun wajah Olivia langsung pucat ketika melihat dua anak itu. Sebab masih segar dalam ingatannya dua anak ini adalah korban pembunuhan yang ia lihat fotonya beberapa saat yang lalu.
“Hantu!”
“Jangan takut Andraste. Kami tidak akan menyakitimu.”
“Apa yang kalian inginkan?”
“Kami ingin kau membantu kami.”
“Membantu apa?”
“Ada iblis mengejar kami. Mereka hendak mengorbankan kami untuk pimpinan mereka. Tolong kami.”
Belum sempat Olivia memberi jawaban kepada dua roh tersebut, terdengar suara langkah kaki seseorang yang mendekat. Olivia menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati seorang opsir polisi telah berdiri di depan pintu ruangan.
“Opsir ... Mikael, ada apa?”
Yang ditanya tidak menjawab, malahan secara mengejutkan menerjang Olivia, mencekiknya lalu menghempaskan tubuh gadis itu ke tembok.
“Kau bukan ... egh Mikael. Siapa kau?” Olivia berusaha melepaskan cengkeraman penyerangnya itu dengan sekuat tenaga.
“Kau tidak perlu tahu, Cantik,” terdengar suara yang bukan suara manusia dari mulut opsir tersebut.
Olivia merasakan kesadarannya makin menipis ketika secara tiba-tiba ia merasakan sebuah ledakan energi dalam dirinya, seolah tenaganya bertambah menjadi berkali-kali lipat. Tangan kiri Olivia mencengkeram tangan kanan lawannya kuat-kuat hingga terdengar bunyi gemeretak tulang yang patah.
“Mustahil!” wajah opsir itu tampak panik ketika melihat Olivia berhasil membebaskan diri, meski tidak terlihat tanda-tanda kesakitan di wajahnya walaupun tangannya tampak telah bengkok – patah.
“Siapa kau?” kali ini giliran Olivia yang mencengkeram leher Mikhael.
“Sudah kubilang kau tak perlu tahu.”
“Jawab atau ...,” belum selesai Olivia berkata-kata jenazah yang termutilasi tadi secara mengejutkan telah mencengkeram kerah jaket Olivia dan mendorongnya dengan kekuatan di luar akal manusia ke dinding di baliknya.
Andraste! Dua roh anak-anak itu muncul kembali. Hanya kau yang bisa menolong kami dari mereka. Tolong kami!
“Buruan kita ada di sini Sef!” terdengar suara seorang pria dari mulut mayat yang termutilasi tersebut.
“Mereka meminta perlindungan kepada seorang gadis manusia? Menyedihkan,” Mikhael meluruskan tangannya yang sempat bengkok tersebut. Suara berderak yang keras terdengar ketika ia melakukannya. Sejenak kemudian ia menodongkan sepucuk pistol ke arah Olivia.
Olivia langsung bangkit berdiri, namun sebuah tenaga tak terlihat mendorongnya dan menahannya untuk tidak beranjak dari tempat tersebut.
“Sayonara Cantik!” Mikhael mengedipkan sebelah matanya ke arah Olivia dan melepaskan satu tembakan.
“Apa?” si mayat hidup tersebut mengeluarkan suara terperanjat ketika menyaksikan peluru yang ditembakkan rekannya melayang-layang di udara, tidak jua menembus tubuh Olivia.
Mata Olivia menatap keduanya dengan tatapan bak singa betina yang diusik anak-anaknya. Dalam sekejap Mikhael dan mayat hidup tersebut ganti terhempas oleh kekuatan tak terlihat sementara Olivia sendiri tampak telah dapat membebaskan diri. Belum sempat kedua lawannya bereaksi, tangan Olivia sudah menghujam ke dada masing-masing lawannya dan mencabut jantung mereka. Dua sosok itupun langsung jatuh terkulai – tak bernyawa.
“Apa sekarang kalian sudah aman?” Olivia menoleh kepada sosok arwah anak-anak tersebut. Mereka berdua hanya mengangguk dan melempar senyuman kemudian menghilang.
“Peter!” Olivia segera berlari keluar dari ruangan itu dan naik ke lantai dua. Di sana ia menyaksikan sosok Peter tengah berdiri mematung di depan sebuah kamar tidur dengan jenazah seorang pemuda remaja tergeletak di dekatnya.
“Peter!” seru Olivia memanggil rekannya. Yang dipanggil tidak menjawab melainkan hanya menoleh dan menatap Olivia dengan tatapan aneh.
“Peter?” Olivia mendekati Peter dengan perlahan-lahan.
“Mereka berkata bahwa jika kami datang kembali ke dunia maka kalian juga akan datang,” terdengar suara aneh seperti campuran puluhan suara baik wanita maupun pria dari mulut Peter, “Andraste, tak kami sangka kau datang secepat ini.”
Olivia mundur satu langkah, “Siapa kau? Apa kau kawan dari iblis-iblis yang kutemui di bawah sana?”
“Kau tahu siapa kami. Tradisimu menceritakan kisah kami dari masa ke masa. Dari bapak ke anak laki-lakinya, dari ibu ke anak perempuannya.”
Sebuah nama entah bagaimana terlintas dalam pikiran Olivia, “Legion!”
“Kami disebut Legion karena jumlah kami yang banyak. Kami adalah kumpulan Ulam dan Set, Syx dan Inea, Kalim, Ferta, Ikoa, Tyx dan Vexas, serta masih banyak lagi.”
“Kalian harusnya tidak ada di sini!”
“Tapi sekarang kami ada di sini. Akhir untuk dunia ini sudah dekat, sebagaimana enam yang lain.”
“Enam yang lain?”
“Pergilah kau Andraste. Jangan halangi kami.”
“Apa kasus orang-orang yang bunuh diri itu tindakan kalian?”
“Ya!”
“Bangsat! Kalian pembunuh!”
“Pembunuh? Kurang tepat? Kami hanya menjalankan perintah.”
“Perintah apa?”
“Dari kota damai, Kopenhagen akan menjadi kota bagi para kaum putus asa.
Dimulai dari satu menjadi dua, lalu menjadi empat hingga akhirnya menjadi seribu.
Seribu akan menjadi sejuta dan sejuta akan menjadi semilyar.
Dunia akan dipenuhi orang-orang putus asa dan pada akhirnya
Orang-orang putus asa akan dibebaskan oleh janji pengabdian.
Itulah perintah kami.”
“Maka jika kau pergi dari sini kasus bunuh diri dan pembunuhan ini juga akan berhenti bukan?” Olivia beranjak mendekat dengan kedua tangan terkepal.
“Jika kau membunuhku, maka pria ini juga akan mati Olivia Palander.”
Olivia berhenti sejenak. Rasa ragu terbersit dalam hatinya. Bagaimanapun juga ia sudah mengenal lama Peter dan lelaki ini adalah sahabat terbaiknya. Jika membunuhnya maka ia akan kehilangan sahabat terbaik yang pernah ia miliki, sementara jika ia membiarkan Peter tetap hidup maka sudah pasti korban-korban tak bersalah akan terus berjatuhan. Di tengah-tengah keraguannya itu secara tiba-tiba tangan Peter mengeluarkan sebuah kobaran api yang langsung mengepung Olivia.
“Peter! Kau!”
“Peter Suurbale sudah tidak ada lagi dalam tubuh ini Nona. Ia sudah mati terbunuh beberapa saat yang lalu.”
“Bangsat kau! Kembali!”
Suara Peter tidak lagi terdengar sementara api dengan cepat mulai menjalar ke segala arah. Seolah api itu hidup dan memiliki kehendak sendiri.
“Butuh bantuan?” terdengar suara seorang pria dari balik api yang berkobar.
“Siapa kau? Iblis lain yang hendak menghabisiku?”
“Tidak. Aku kawanmu Andraste,” sosok pria itu mendekat menembus kobaran api dan menampakkan wujudnya sebagai sosok seorang pria berusia 25 tahunan dengan rambut hitam yang dikuncir ekor kuda.
“Helmut Redeemes,” pria itu mengulurkan tangannya ke arah Olivia, “Pegang tanganku supaya kau bisa keluar dari sini.”
Olivia sempat ragu sejenak namun akhirnya menyambut juga uluran tangan Helmut. Helmut segera mendekap gadis itu erat-erat yang langsung saja diprotes oleh Olivia, “Hei!”
“Jangan protes! Pegangan saja kuat-kuat!” jawab Helmut.
Olivia mengira Helmut akan menerobos api tersebut dan meloncat dari lantai dua melalui jendela sebuah kamar, namun ia salah. Helmut menjejakkan kaki kuat-kuat di lantai dan dalam sekejap tubuhnya melesat ke angkasa dengan membawa Olivia.
“Di mana kau ingin diturunkan?”
“Rumahku. Di sana!” Olivia menunjuk ke satu arah.
“Ya Tuhan,” Olivia tampak terperanjat menyaksikan rumahnya yang tengah dilalap api, “Turunkan aku Helmut!”
Helmut menuruti kemauan wanita itu dan menurunkan Olivia tepat di gang sempit di depan rumahnya. Olivia langsung menghambur ke arah rumahnya, memanggil-manggil ayahnya. Namun langkahnya dihalangi oleh seorang petugas pemadam kebakaran. Namun tak berapa lama kemudian sekumpulan pria dan wanita yang tak lain merupakan tetangga Olivia menudingkan jari mereka ke arah Olivia sembari berseru-seru, “Gadis itu pelakunya! Gadis itu yang melakukan pembakaran!”
Olivia menoleh dan menatap mereka dengan tatapan tak mengerti, “Apa maksud anda?”
“Kami melihatmu membakar rumahmu sendiri! Membakar Maria dan Tuan Palander – ayahmu sendiri hidup-hidup!”
“Tunggu aku tidak melakukannya!”
“Jelaskan saja di kantor polisi Olivia,” seorang pria tanpa ia sadari telah menepuk bahunya. Olivia berbalik dan melihat seorang Peter Suurbale dengan disertai sepasukan polisi telah menodongkan senjata ke arahnya.
“Peter kau ...!”
“Kau kalah Andraste,” suara Legion bergaung dari mulut Peter. Tapi sedetik setelah itu waktu tiba-tiba terhenti. Hanya dirinya yang masih tampak bergerak normal.
“Waktunya kita pergi dari sini, Olivia,” ujar Helmut.
“Aku tidak bisa! Iblis ini telah menghancurkan hidupku!”
“Aku tak bisa menghentikan waktu selamanya Olivia, dan kau maupun aku juga takkan bisa mengalahkan dia saat ini. Ikuti aku dan akan kuberitahu cara untuk menghabisinya suatu hari nanti.”
“Tapi ...,”
“Ayolah,” Helmut dengan kasar langsung membopong tubuh Olivia dan terbang melesat ke angkasa.
*****
4 Desember 2011, 06.30
Pagi itu surat-surat kabar di seluruh Kopenhagen memuat sebuah headline berjudul : ‘Seorang Polisi Wanita Membakar Rumah dan Ayahnya Hidup-Hidup’. Sementara di televisi kasus pembunuhan keji ini dibahas di seluruh stasiun televisi. Suatu kewajaran, sebab Denmark selama ini adalah negara yang damai dan di sini kasus pembunuhan jarang sekali terjadi. Karena itulah kasus pembunuhan kali ini menjadi kasus yang sangat kontroversial.
“Hidupmu takkan sama lagi,” Helmut meletakkan tangannya di bahu Olivia, namun Olivia segera menepisnya dengan kasar.
“Aku bukan anak kecil yang perlu kau hibur Helmut,” Olivia berbalik dan menatap Helmut dengan tatapan bak seorang serigala betina yang buas, “Dan aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Aku hanya mencoba bersikap baik,” ujar Helmut.
“Helmut Redeemes, jika kau berniat untuk bersikap baik maka jauh lebih baik jika dirimu segera membawaku kepada orang yang menjadi dalang dari semua kejadian ini.”
“Apa kau sudah siap? Jika kau menempuh jalan ini maka kau takkan punya rumah untuk kembali.”
“Sekarang pun aku sudah tidak punya rumah untuk kembali. Tetap di sini hanya akan membawaku ke dalam terali besi.”
“Baiklah,” Helmut mengibaskan tangannya dan sebuah cakram sinar biru-ungu muncul di hadapannya, cakram itu berputar-putar pada porosnya yang berwarna hitam, “Ayo ikuti aku, aku akan mengajarkan kepadamu cara mengalahkan mereka.”
Helmut mengulurkan tangan pada Olivia dan gadis itu menyambut uluran tangannya. Keduanya lalu memasuki gerbang cakram itu, sesaat setelah memasukinya, gerbang itu semakin mengecil lalu menghilang.
==00==
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top