Yang Tak Kasat Mata

"Yang tak kasat mata di antara kita adalah jarak. Aku di sini dan kamu yang berada jauh di sana."

~~~

Suara bising klakson kendaraan saling bersahutan di tengah cuaca terik Bandung di akhir pekan. Kemacetan sudah menjadi hal yang lumrah di akhir pekan seperti sabtu siang ini. Jika tidak ada sesuatu yang mendesak, sudah pasti aku tidak akan pulang ke kota tempat aku lahir dan dibesarkan pada akhir pekan.

Baru saja aku keluar dari sesaknya pintu gerbang Tol Pasteur, kini aku harus kembali dihadapkan dengan kemacetan yang lebih parah di persimpangan jembatan layang Pasupati, banyaknya kendaraan yang salah jalur sebagai penyebab utama kemacetan.

AC di dalam mobilku seakan-akan tidak berfungsi normal, berkali-kali peluh yang mengalir di pelipis aku usap menggunakan lengan baju kemeja panjang yang kugunakan. Tidak pernah kusangka, Bandung kini tidak sama seperti waktu aku masih anak-anak.

Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, akhirnya mobil yang kukendarai dapat terbebas dari sesaknya kemacetan. Tapi, aku masih belum menaikkan kecepatan, bahkan cenderung pelan jika dibandingkan dengan kendaraan lain yang baru saja terlepas dari kemacetan dan memilih langsung untuk tancap gas, sebelum nanti (jika sesuai prediksiku) akan kembali tertahan lagi oleh kemacetan.

Bukan tanpa alasan aku memelankan laju mobil, karena di jalan layang inilah, berjuta-juta menit sudah kulalui bersama adik perempuan yang paling aku sayangi. Adik yang menjadi alasan utamaku pulang ke kota ini setelah hampir tujuh tahun lamanya aku tidak kembali.

Sembari menyetir, pikiranku membuka kenangan tentang betapa banyaknya waktu yang kulalui bersama adikku di jembatan ini. Saat senang, sedih, bahagia, tawa, tangis dan canda pernah aku dan dia lalui di sini.

Aku masih ingat, waktu itu di minggu kedua bulan Juli 2012. Pagi-pagi sekali adikku terlihat seperti singa jantan yang kelaparan. Dengan rambut yang masih acak-acakan khas orang yang baru saja bangun tidur, ia marah-marah tidak jelas karena terlambat bangun. Padahal hari itu, merupakan hari pertamanya di SMA.

"Mamah, ini ih si Kakaknya. Malah ngetawain adek. Bukannya ngebantuin!" Masih terekam jelas di benakku, ekspresi lucunya dengan bibir yang melengkung ke bawah, sementara jari-jemarinya sibuk menalikan sepatu converse hitam putih khas anak sekolahan yang masih bersih, maklum karena baru saja dibeli kemarin sore.

"Kakak bantu, loh, ini." Aku terkikik saat ia menatap tajam ke arahku yang sedang berkomat-kamit sambil menengadahkan kedua tangan.

"Do'a tanpa aksi sama aja bohong, Kak!"

Sialnya, di hari itu juga merupakan hari pertama adikku kedatangan tamu bulanannya. Sepanjang perjalanan dari rumah kami di daerah Dago menuju sekolahnya yang berada di dalam kompleks TNI Angkatan Udara, ia tidak berhenti mengoceh kesal karena terlambat bangun, dan berkali-kali juga ia mencubit pinggangku terkadang menggigit bahuku hingga menyisakan bekas yang hilangnya lebih dari tiga hari. Untung saja, aku cukup lihai mengendarai motor, jika tidak, bisa saja menjadi oleng dan terjatuh.

Aku tersenyum sambil mengelus pinggangku, sudah lama berlalu, tapi perihnya masih terasa. Haha.

Hari demi hari berlalu, hingga tidak terasa kini adikku sudah menginjak kelas dua SMA. Memang, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, adikku tumbuh menjadi gadis yang cantik penuh dengan pesona dan juga pintar. Ya, bagaimana tidak, DNA kedua orang tuaku benar-benar menurun sempurna padanya. Ayahku tampan, ibuku pintar. Tapi sayang, otak adikku jika disandingkan dengan sebuah komputer mungkin prosesornya masih berada di pentium III, lemot-nya minta ampun dan sering membuatku kesal.

Mungkin, lain kali akan aku ceritakan bagaimana kesalnya aku menghadapi adikku yang super duper lemot. Karena, saat ini aku berada di jalan raya Dago, tempat ter-romantis bagiku, apalagi saat hujan mengguyur jalan ini di kala malam.

Aku dan adikku memiliki satu momen indah di tempat ini. Dan kebetulan, saat itu hujan turun mengganggu perjalanan kami ke arah rumah, akhirnya aku memutuskan untuk berteduh di salah satu pedagang yang selalu menjajakan makanan di trotoar.

Setelah memarkirkan motor, kami berjalan berdampingan sambil memayungi diri menggunakan jaket milikku. Mungkin, orang-orang yang tidak mengenal kami, menganggap kita adalah sepasang kekasih yang dimabuk asmara.

"Kakak, sih, jemputnya telat. Jadi hujan!" keluh adikku setelah duduk di salah satu bangku kosong.

Aku tidak menghiraukan keluhan adikku dan lebih memilih untuk langsung memesan makanan. Tanpa perlu bertanya lagi pada adikku, aku sudah pasti tahu apa yang dia inginkan.

"Mang, Indomie kuah rasa soto hiji make cengek, cengekna lima siki, make endog satengah mateng. Terus Indomie goreng dua endogan, sarua endogna satengah mateng. Nginumna Lemon tea haneut dua." (Mang, Indomie kuah rasa soto satu, pakai cabe rawit, cabe rawitnya lima, pake setengah mateng. Terus Indomie goreng dua pake telor, sama telornya setengah mateng. Minumnya Lemon Tea hangat dua.)

"Siap, Jang!"

Sambil menunggu pesanan jadi, kami berbagi cerita, lebih tepatnya adikku lebih banyak bercerita dan aku hanya menanggapi sesekali.

"Asli, ih, Kak. Gak suka aku mah sama si Ivan. Frik anj--"

"Mau ngomong apa, hm?" Adikku yang nyaris keceplosan A-word, langsung saja menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf "V".

"Lanjut ...."

Adikku melanjutkan ceritanya, tentang seorang lelaki yang terus menerus mengejarnya, berkali-kali ia abaikan. Tapi tetap saja, lelaki itu tidak menyerah mengejar adikku.

"Kenapa kamu enggak mau, Dek?"

"Ada rumor, kalau dia tuh buaya, Kak. Bukan cuman itu, dia juga PK. Ngeri tau, Kak, mana pernah denger dari temen juga, sering banget jadiin cewek bahan taruhan."

Seketika jiwa protektifku keluar setelah mendengar penuturan adikku. Bahaya benar-benar mengancam adikku saat ini.

Perbincangan kami terus berlanjut, sesekali aku mencubit pipi adikku karena gemas, sesekali juga ia menggigit tanganku tanpa alasan. Apakah, semua cewek seperti ini? Selalu tiba-tiba menggigit atau kadang mencubit pasangannya tanpa sebab.

Akhirnya, pesanan yang kami tunggu tersaji, dan di saat yang bersamaan ada sekelompok pengamen yang sudah biasa mencari rezeki di tempat ini.

"Malam Aa, Teteh. Izinkan kami menemani Aa sama Teteh malam ini dengan suara kami yang pas-pasan. Kalau ada sedikit rezeki buat anak istri kami di rumah, mungkin Aa, Teteh berkenan memberikannya kepada kami."

Setelah menyampaikan sepatah dua patah kata, sang vokalis merangkap gitaris memetik senar gitarnya memainkan intro lagu yang akan dibawakan.

Hanya satu pintaku untukmu dan hidupku
Baik baik sayang ada aku untukmu
Hanya satu pintaku di siang dan malammu
Baik baik sayang karna aku untukmu

Lagu Baik-baik Sayang dari Wali Band menemani santap malam kami hari itu. Suara sang vokalis yang merdu membuatku menikmati apa yang dinyanyikan olehnya. Dan entah dorongan dari mana, mengingat cerita adikku tadi dan lagu yang dinyanyikan, aku menggenggam tangan adikku erat.

Ia menoleh kaget karena tiba-tiba aku menggenggam tangannya, aku lalu menatapnya sambil tersenyum. "Adek jangan takut, ada Kakak di sini." Begitulah arti dari tatapanku padanya.

"Aduh, makasih pisan Aa, Teteh. Semoga langgeng sampai pelaminan. Makasih pisan!" ucap sang vokalis begitu menerima selembar uang lima puluh ribu dariku.

Aku dan adikku tersenyum kikuk, sudah kuduga, orang-orang yang tidak mengenal kami akan menganggap kami adalah sepasang kekasih.

Setelah kepergian kelompok pengamen tadi, kami tertawa lepas.

"Kakak, sih! Pake ada acara pegang-pegang tangan adek, jadi aja disangka pacaran."

"Emang gak boleh pegang tangan adek sendiri?" Aku mencoba kembali menyentuh tangannya, namun ia langsung menghindar.

"Jangan mendekat, adek sudah makan, sudah mandi!"

~~~

Setelah perjalanan panjang dari Jakarta, akhirnya sampai juga aku di rumah, tempatku lahir, tempatku menghabiskan waktu kecil, hingga dewasa dan akhirnya pergi.

Tidak banyak yang berubah dari terakhir kali aku membuka gerbang hitam di hadapanku tujuh tahun yang lalu, hingga hari ini. Setiap sudutnya masih sama, hanya yang berbeda, tidak ada ayah dan adikku yang biasa menikmati waktu siang di akhir pekan dengan bermain di kolam samping sambil menyantap rujak buah buatan mamah.

Tapi, saat aku turun dari mobil, ada pemandangan yang baru bagiku. Sepasang anak kembar tengah bermain di ayunan tempatku dan adikku biasa bermain. Ditemani oleh seorang wanita paruh baya yang sudah terlihat ringkih.

"Assalamualaikum!" Tiga orang yang berada di taman itu menoleh ke arahku.

"Waalaikumsalam."

Aku mendekat, mencium punggung tangan mama, wanita paruh baya yang tengah menemani kedua cucunya, keponakanku bermain.

"Kenapa baru pulang?" tanya mama sambil memeluk tubuhku erat.

Jujur, kalau adikku tidak datang ke dalam mimpiku semalam, aku mungkin tidak akan pernah pulang. Karena aku sangat tidak siap kembali membuka luka.

Mama melepaskan pelukanku, lalu menatap sepasang anak kembar yang masih asik duduk di atas ayunan tua di taman rumah kami.

"Vio, VIvi, sini, salim dulu sama Om,"

Keduanya mencium punggung tanganku secara bergantian. Setelahnya, aku mensejajarkan tinggiku dengan mereka lalu memeluk keduanya dengan sangat erat. "Adek, Kakak rindu!"

Hari itu, keluarga kecil bahagia kami mendapatkan petaka. Dan itu penyesalan juga kekecewaanku pada diri sendiri untuk yang pertama kalinya.

Di hari kelulusan adikku dari jenjang Sekolah Menengah Atas, aku berjanji untuk menjemputnya setelah acara pembagian kelulusan di sekolah selesai. Tapi, tiba-tiba dosen pembimbing memanggilku ke kampus, mendadak sekali. Hingga akhirnya aku terlambat menjemput adikku.

Sesampainya di sekolah adikku, keadaan sudah benar-benar sepi. Tidak ada seorang pun di sana, aku mencoba menghubunginya, namun nihil. Hanya ucapan template dari operator yang aku terima.

"Mang, kalau yang kelulusan udah pada pulang?" tanyaku pada satpam sekolah.

"Udah dari dua jam yang lalu, Jang." Perasaanku mulai tidak enak.

"Saya boleh masuk, Mang. Kayanya adek saya nunggu di dalem."

"Iya, sok, Jang."

Setelah mendapat izin dari satpam, aku langsung mengelilingi kompleks sekolah, mencari keberadaan adikku, hingga akhirnya aku mendengar suara tangisan perempuan di salah satu sudut sekolah.

"ADEK!" Aku berlari mendekati adikku yang sudah tidak berdaya. Kancing seragamnya sudah lepas semua, pakaian dalamnya sobek, dan juga ada bercak darah dari bagian vital miliknya.

Tanpa banyak bertanya, aku langsung memeluk adikku, memberikan jaketku untuk menutupi baju seragamnya yang sudah tidak layak pakai. Langsung saja aku membawa pulang adikku. Di atas motor, ia memeluk erat diriku, isak tangisnya masih terdengar dan membuat hatiku perih.

Sesampainya di rumah, adikku langsung berlari menuju kamar sambil menangis.

Hari itu, benar-benar menjadi titik kejatuhan keluarga kami. Ayah yang heran dengan sikap adikku langsung bertanya padaku apa yang baru saja terjadi. Aku hanya menjawab dengan satu kalimat, dan membuat Ayah kehilangan kesadarannya.

"Adek diperkosa, Yah."

Di perjalanan menuju rumah sakit, Ayah meninggal dunia.

Tepat di hari ke-40 Ayah meninggal, adikku mulai menunjukkan gejala-gejala seperti orang hamil. Dan benar saja, setelah diperiksakan, ada janin yang kini hidup di rahim adikku.

Mau tidak mau, adikku akhirnya menceritakan apa yang terjadi, dan siapa pelaku yang tega masa depannya. Lelaki itu adalah Ivan, pemuda yang akhirnya mengambil jalan brengsek untuk mendapatkan adikku.

Untungnya Ivan mau bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat pada adikku. Tanpa menunggu lama lagi, akhirnya adikku dan Ivan menikah.

~~~

Di teras rumah, aku menatap si kembar tengah asik berlarian. Usia mereka kini tujuh menuju delapan tahun. Sayangnya, sejak kecil ia hanya hidup dengan Neneknya dan mereka hanya tahu ibu mereka melalui foto. Sementara ayahnya, aku melarang mama atau siapa pun untuk memperlihatkan sosok ayah mereka.

Hari itu, kulihat pagi-pagi adikku sudah memandikan si kembar. Lalu berjemur di halaman rumah, sesekali ia berkelakar dan membuat kedua anaknya tertawa. Dari teras rumah, aku melihat pagi ini adikku terlihat sangat cerah dan bahagia.

"Dek!" sapaku, membuat adikku tersentak kaget karena sedang asik bercanda dengan anak-anaknya.

"Kebiasaan Kakak, mah!" Ia cemberut. "Vio, nanti kalau udah besar, jangan nyebelin kayak Om kamu, ya!"

Aku terkekeh melihat tingkah lucu adikku.

"Dek, Kakak hari ini mau interview. Do'ain ya."

"Iya, Kak. Semangat!"

Adikku tersenyum sebentar, lalu tiba-tiba memelukku dengan erat.

"Adek bakalan kangen sama Kakak," ucapnya singkat lalu melepaskan lagi pelukan hangatnya itu.

"Entar juga ketemu lagi, Dek," balasku sambil mengacak-acak rambutnya.

Itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar darinya. Sepulang dari interview, aku mendengar tangisan si kembar. Awalnya, aku kira adikku tengah membereskan cucian, tapi yang kulihat, mama sedang menangis, memangku adikku yang bersimbah darah, kepalanya mengeluarkan banyak darah karena membentur ujung meja yang tajam, juga ada bekas cekikan di lehernya.

"IVAN, ANJING MANEH!" Aku kalap, langsung memukuli Ivan yang terduduk di pojok rumah dengan tatapan kosong.

Setelah puas memukuli Ivan, aku langsung menghubungi polisi. Awalnya aku hendak menghubungi ambulan. Namun, setelah memeriksa keadaan adikku, aku mengurungkannya.

"Adek, maafin Kakak. Lagi-lagi kakak enggak bisa jagain kamu."

~~~~

"Om, ayo. Kata Enin mau ketemu Bunda." Vivi menarik-narik tanganku, ia sudah tidak sabar untuk mengunjungi ibunya.

"Iya, ayo. Sini, Vivi Om gendong." Melihat Vivi, aku seperti melihat adikku, ia sangat-sangat mirip seperti ibunya.

Sesampainya di kompleks pemakaman, Vio dan Vivi dengan penuh semangat langsung berlari menuju makam tempat ibunya dikuburkan.

"Adek, Kakak pulang. Seperti keinginan, Adek. Sekarang kita jauh, jarak kita tidak terhitung dan tak kasat mata. Tapi, Dek. Kamu selalu ada di hati Kakak. Akhirnya, kita ketemu lagi, ya!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top