Story by Rachel
Kepada Tuan James,
Terima kasih atas naskah yang telah Anda kirimkan ke agensi kami. "Satu Hari di Gedung Putih" benar-benar memikat editor kami dengan gaya bahasa Anda dan alur cerita yang menarik
Meski begitu, kami menyesal harus memberitahu Anda bahwa agensi kami belum bisa menerima naskah Anda untuk diterbitkan. "Rencana presiden untuk menutup mulut para lawan politik" dan "kelompok radikal yang menyerang kediaman menteri" terasa terlalu nyata dan merupakan topik yang agak sensitif akhir-akhir ini.
Kami akan sangat terhormat jika Anda berkenan mengirim naskah lain Anda yang tidak terlalu provokatif.
Salam hangat,
Angie Thompson
Aku menghela napas seraya menutup layar laptop setelah membaca surel terbaru.
Ditolak lagi. Itu balasan penolakan keempat minggu ini dari empat agensi berbeda. Tiga surel pertama bahkan tidak seramah ini. Kukira dengan menggunakan nama pena yang terdengar seperti nama pria bisa meloloskan naskahku, ternyata tidak juga.
"Bah!" umpatku kesal.
Pintu kamar apartemenku terbuka. Jake, tunanganku, masuk dengan dua kantong belanjaan. Ia pasti mendengar umpatanku karena ia bertanya, "Kurang beruntung?"
Bibirku menampilkan senyum kecut sebagai balasan. "Bahkan aku sudah mengganti namaku jadi Alexander James."
Aku membuka laptop lagi, mencoba melihat dari mana naskahku bisa dibilang 'provokatif' dan 'terlalu nyata'. Bukannya ini negara bebas? Sejak kapan cerita tentang mata-mata jadi topik sensitif? Bahkan seharusnya mereka senang karena naskah ini berpotensi menjadi James Bond abad 21.
Jake memelukku dari belakang. Bibirnya mencium puncak kepalaku. "Tenang saja, lain kali pasti diterima. Ingat saja penulis favoritmu ditolak berapa kali."
"Yeah, 12 kali," balasku. Jake selalu bisa mengingatkanku pada sisi positif akan setiap kejadian buruk. Tapi tetap saja aku kesal. "Mungkin minggu depan kediaman menteri akan diserang seperti ceritaku."
"Hush!" tegur Jake. "Jangan mendoakan hal jelek seperti itu."
"Mungkin saja, kok." Aku melepaskan diri dari pelukannya. "Ceritaku, kan, selalu jadi kenyataan. Ingat ketika aku menulis tentang nenek bernama Rebecca dengan sembilan kucing yang meninggal lalu dua hari kemudian nenekku terkena serangan jantung? Atau ketika aku menulis tentang atlet muda peselancar es bernama Isaac yang terpeleset, lalu bulan depannya adikmu juga terpeleset ketika latihan selancar es?"
Jake berdecak. "Itu hanya kebetulan, Rachel. Kau hanya suka menulis cerita tragis untuk terlalu banyak tokoh dengan nama yang sama. Kali ini yang sial Isaac, besoknya Rebecca, pasti minggu depan Levy."
Aku tidak membalas perkataannya. Aku tahu itu bukan kebetulan, dan aku tahu Jake menyadari hal itu. Ia memang agak sebal ketika aku mengingatkan dia tentang bukti-bukti bahwa ceritaku bisa menjadi kenyataan. Entah aku bisa melihat masa depan atau aku menulis masa depan, aku masih menelitinya. Tapi dia ada benarnya. Tokoh naskahku yang ditolak ini bernama Levy.
"Omong-omong soal kebetulan." Aku memulai topik baru. "Ayah dan Ibuku kebetulan ingat mereka punya seorang putri tunggal. Mereka menelpon, mengundang kita makan malam besok."
Alis Jake terangkat tak percaya. Bahuku mengendik sebagai balasan. Orang tuaku tidak pernah menelpon, apalagi mengundang makan malam. Bahkan sejak kecil mereka berlagak seolah-olah aku hanya anak titipan yang bisa kapan saja dijemput orang tuanya. Mungkin mereka takut padaku ketika pertama kali aku menulis tentang perusahaan multinasional yang bangkrut dan minggu depannya ayahku terkena PHK karena cerita yang sama.
Entahlah. Kami hanya bisa menerka hingga besok malam.
"Telur rebusnya... enak, Dad." Itu sebuah kebohongan. Aku hanya makan kacang polong kaleng yang mereka sajikan dan kentang rebus, telur dan dagingnya diam-diam kuberikan pada Jake. Bahkan mereka tidak tahu kalau putrinya sendiri seorang vegan!
Ayahku hanya mengangguk kecil. Sementara ibuku, well, seperti biasa ia menatap ke kejauhan di dalam dunianya sendiri. Itu pertanda bagus karena biasanya Ia lebih suka menangis sendiri di kamar kosong rumah kami.
Ini adalah makan malam tersunyi yang pernah kuhadiri.
"Jadi, bagaimana keadaan kalian?" Jake berusaha mencairkan suasana ketika kami pindah ke ruang keluarga selepas acara makan malam. Aku meremas tangannya mencari kekuatan dari kecanggungan ini.
"Baik, kalian?" balas Ayahku.
"Kami juga baik. Persiapan pernikahan kami berjalan mulus. Terima kasih sudah bertanya."
Ibuku tiba-tiba ikut bertanya, "Bagaimana pekerjaanmu Rachel?"
"Oh." Aku mengigit bibir. "Aku keluar. Hotel tempatku bekerja tidak mau memberiku kenaikan gaji yang layak. Sekarang aku jadi penulis penuh waktu." Ibuku yang melontarkan pertanyaan kembali menghilang ke dunianya, tetapi Ayahku menegang. Ia benci melihatku menulis sejak insiden PHK itu. Namun aku tidak peduli dan meneruskan ceritaku. Sudah waktunya mereka sedikit peduli tentang kehidupan anak mereka satu-satunya. "Yah, belum penuh juga, sih. Naskahku terus ditolak. Tapi Jake terus mendukungku untuk menulis. Cerita selanjutnya yang ingin kutulis adalah tentang tiga remaja bernama Isaac, Rebecca, dan Levy dan petualangan mereka ke---"
Ceritaku terhenti karena hal yang terjadi bersamaan dan terlalu cepat untuk kuproses. Ibuku mengamuk. Ya, mengamuk. Pertama ia menjerit, lalu membalik meja kopi di depan kami, lalu terisak sambil mengarahkan telunjuknya padaku. "Salahmu, semua salahmu!" teriaknya.
Aku membeku. Mulutku terbuka, melongo karena kata-kata kejam yang dilontarkan ibuku sendiri selama tiga menit penuh berikutnya. Aku tidak pernah tahu sebenci itu ia pada putrinya. Padaku.
Ia keluar ruangan dengan ratapan menyayat hati. Tetangga yang mendengar pasti mengira ada yang mati. Aku mengikutinya. Jake berusaha menghalangi tetapi aku menepis tangannya. Aku terlalu marah untuk memikirkan hal yang lain.
Sepuluh tahun aku diperlakukan seperti itu tanpa tahu apa salahku. Kalau benar karena ceritaku ayah di-PHK, kenapa orang tuaku dendam hingga sekarang? Toh, sekarang keuangan keluarga kami sudah stabil.
Seperti yang kuduga, ia mengurung diri di kamar kosong yang biasa. Tepat di seberang kamarku masa kecilku. Aku menggebrak pintunya hingga terbuka.
"Apa maumu?!" bentakku. "Apa tidak cukup kalian menyiksaku ketika kecil? Apa kalian masih kurang puas? Apa kalian tidak ingin melihatku bahagia dan tenang?"
Ibuku berlari keluar, aku ikut mengejar. Di belakangku ada Jake. Sekali lagi ia ingin menghalangiku, tetapi tubuhku lebih kecil darinya. Aku bermanuver menghindar lengannya yang terbuka siap menangkapku.
Ibuku berlari ke atas menuju loteng. Ia berhenti di depan sebuah lemari tua lalu jatuh teduduk di depannya. Amarahku sedikit memudar karena lelah. Selain itu, aku sendiri tidak tahan untuk tidak keheranan melihat kondisi loteng. Ini lebih tepat disebut kamar tidur anak dilihat dari furniturnya. Aku tidak pernah ke sini karena tidak pernah tertarik dengan tempat gelap berdebu penuh serangga.
Aku menyalakan lampu agar lebih jelas.
Benar, ada tiga buah ranjang di ujung ruangan. Satu ranjang tingkat dan satu lagi ranjang biasa. Seprainya tanpa debu. Dekat situ juga ada kotak mainan yang tidak pernah kuingat sebelumnya. Ibuku sedang sesenggukan menggenggam sepotong kain, tapi ketika kulihat lebih dekat ternyata sepotong baju. Ibuku tetap diam ketika aku mengambil sebuah foto berfigura dari pangkuannya.
Di dalam foto itu ada aku. Aku mengingatnya karena rok kotak-kotak merah hitam itu adalah baju favoritku. Ayah menggendongku, senyum lebar menghiasi wajahnya. Ibu mengamit lengan Ayah dengan senyum yang sama. Anehnya ada tiga orang lagi di sana. Dua remaja laki-laki dan seorang remaja perempuan.
"Kakak-kakakmu." Sebuah suara mengagetkanku. Ayah ikut bergabung di loteng pengap ini. Ia mengambil sebuah kotak dari dalam lemari tua. "Bukalah."
Isinya aneh. Hanya kertas-kertas gambar anak kecil. Aku menatap Ayah tidak mengerti.
Ia mengambil selembar. "Ini gambarmu tentang Grandpa terbaring di rumah sakit, besoknya ia masuk ICU." Dan selembar lagi. "Ini gambarmu tentang Kitty tertabrak mobil, sore harinya Mrs. Norris tetangga kita membawa Kitty karena ia tak melihat Kitty ketika sedang memundurkan mobil." Lalu selembar lagi. "Ini ketika kau menggambar tentang sebuah bis sekolah yang mengalami kecelakaan."
"Karya wisata ke DC." Sepenggal fragmen memori menghantamku.
Ayah mengangguk. "Waktu itu si kembar Isaac dan Rebecca kelas 12 dan Levy masih kelas 9." Aku ikut jatuh terduduk di sebelah Ibuku. "Semenjak kejadian itu kau menganggap kakak-kakakmu sebagai imajinasi. Kau pikir mereka yang menceritakan kisah-kisah menarik yang kemudian kau tulis. Kami tak ingin memberitahumu yang sebenarnya. Kata dokter kau trauma, sama seperti ibumu yang tidak kuat menanggungnya. Umurmu masih 10 tahun."
Setelah beberapa saat akhirnya aku menemukan suaraku lagi. "Di mana mereka?"
Ayah tersenyum kecil. "Besok kuantarkan menemui mereka."
Jake menggenggam tanganku erat sepanjang jalan setapak kecil di antara barisan nisan. Pemakaman itu sepi. Sejauh mata memandang hanya kami bertiga yang berada di tempat ini. Ayah memimpin jalan di depan hingga ia berhenti di tempat tujuan kami.
"Rachel, ini kakak-kakakmu," ucap Ayah. "Maafkan orang tuamu yang sudah memperlakukanmu tidak adil selama ini. Berat rasanya. Satu hari kau memiliki empat anak, hari berikutnya hanya tinggal seorang. Dan entah bagaimana kau telah memprediksi hal itu. Ayah ingat kau merengek melarang mereka pergi, tapi Ibumu justru memarahimu. Kurasa rasa bersalahnya terlalu besar hingga ia limpahkan padamu."
Aku hanya berdiam mematung di depan nisan-nisan itu. Tidak bisa menangis, tidak bisa bergerak, tidak bisa mengatakan sesuatu pada kakak-kakaku yang terbaring lima kaki di bawah permukaan. Jake meletakkan bunga di masing-masing nisan menggantikanku. Buket bunga Forget-Me-Not, yang artinya bahwa mereka tidak akan pernah terlupakan. Lucu karena aku tidak punya memori tentang mereka. Seakan ada yang menekan tombol delete di kenangan otakku.
Di sini terbaring Isaac Theodore James (1991 - 2009) dan Rebecca Victoria James (1991 - 2009) tertulis di masing-masing nisan. Kami yang selalu mencintaimu: Abe Nicholas James (Ayah), Sarah Jane James (Ibu), Rachel Alexandra James (Saudari).
"Di mana Levy?" tanya Jake, mengajukan pertanyaan yang sama yang berputar-putar di kepalaku.
"Mari," jawab Ayah. "Kita ke tempat selanjutnya."
Levy terbaring di ranjang Rumah Sakit Seattle Grace. Kedua matanya terbuka ke arah plafon kamar rawatnya, tetapi pandangannya tak berfokus. Ia tidak mati, setidaknya belum, tetapi ia juga tidak hidup. Dokter bilang kemungkinan ia sadar kembali setelah enam tahun dalam tahap vegetatif sangatlah kecil. Ayah sudah pasrah, ia bahkan sudah menyiapkan nisan ketiga tetapi sepertinya Levy belum menyerah. Begitu juga Ibuku yang bersikeras melarang siapa pun mencabut selang-selang yang memasok nutrisi ke tubuh putranya.
"Apa dia bisa mendengar kami?" tanyaku pada seorang perawat yang datang untuk mengecek tanda vital Levy.
Perawat itu mengangguk. "Ia sedang 'bangun'. Kami memang menganjurkan keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan pasien." Lalu ia keluar ruangan, memberi kami privasi.
Jake meremas pelan pundakku.
"Aku baik-baik saja," kataku tanpa memalingkan pandangan dari Levy. "Aku hanya tidak tahu harus mengatakan apa." Aku tidak tahu harus mengatakan apa selain bahwa tanpa sengaja ia hilang dari ingatanku. Selama sepuluh tahun aku menganggapnya imajinasi, selama itu pula ia tumbuh melewati masa remajanya di ranjang rumah sakit. Sadar, tetapi tak dapat berpikir.
Jake berpindah ke sisi lain ranjang di seberangku. "Baiklah, aku bisa memulainya kalau kau mau." Aku mengangguk memberinya izin. Maka Jake memulai. Ia menepuk pelan punggung tangan Levy.
"Hai, Levy. Namaku Jacob Miller-Hall. Aku adalah calon adik iparmu," Jake memulai. "Maafkan kami baru menjengukmu sekarang. Sepuluh tahun terakhir ini sangat berat untuk Rachel. Tapi kau tak perlu khawatir, jauh di bawah alam sadarnya, Rachel selalu mengingatmu. Apa kau tahu? Namamu sudah abadi sekarang berkat adikmu. Entah berapa banyak naskah dengan namamu yang ia gunakan---"
Mataku mulai panas. Aku meremas sebelah tangan Levy. Ia bergerak kecil hanya karena reflek, tetapi tak ada respon lebih. Lalu aku memilih keluar ruangan. Ada suara langkah di belakangku, pasti Jake menyusul.
"Rachel! Tunggu," panggilnya. Aku tidak mengurangi kecepatan kakiku.
Selama ini aku hanya memprediksi kenahasan dan kecelakaan orang-orang di sekitarku saja. Sudah banyak buktinya, termasuk kehidupan tiga saudaraku.
Rahangku mengeras penuh tekad ketika pikiran ini menghantamku.
Bagaimana jika itu bukanlah prediksi? Bagaimana jika hal-hal terjadi karena aku menulis dan melukis peristiwa-peristiwa tersebut? Artinya aku bisa menulis kisah tentang seorang pria bernama Levy yang menjadi keajaiban medis setelah sepuluh tahun terjebak dalam tubuhnya sendiri. Masih ada harapan baginya. Levy akan kembali sadar. Entah itu besok, bulan depan, tahun depan, atau satu dekade lagi.
Lagipula, ceritaku pasti akan menjadi kenyataan, bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top