Pulang

Suara berderu dari mesin bus tua, air hujan yang mengetuk jendelanya, serta kilat yang sesekali menerangi sawah-sawah gelap di subuh hari. Tujuh tahun aku tidak melihat pemandangan ini, dan hanya mengingatnya ketika awal pindah ke ibukota. Dan sekarang, aku kembali di saat semua tidak akan pernah sama, meski aku pun membenci sebagian besar apa yang telah terjadi di masa lalu.

Suara derit bus berbunyi ketika Pak Sopir menginjak pedal rem. Aku turun, tapi perjalannya masih panjang. Setidaknya aku harus naik bus lokal—yang lebih tua dan tanpa pintu—sekali lagi, serta ojek, jadi aku menunggu di tepi jalan sambil berteduh dan memegangi erat koper besarku. Dan jalanan sunyi yang berpenerangan temaram seperti melukiskan bahwa mungkin seperti itulah hidupku ke depan.

Ya, aku putus asa.

Dan cahaya terang dari lampu bus yang kutunggu menarikku kembali pada realita. Melambaikan tangan ke jalan, lalu bus yang diisi oleh orang-orang tua itu berhenti—setidaknya setengah lebih adalah wanita lanjut usia yang membawa bakul jerami, gendongan kain, yang sebagiannya memiliki bibir merah karena terlalu sering mengunyah daun sirih. Aku duduk di kursi tengah dekat jendela. Celotehan ceria mereka menggunakan bahasa Jawa membuatku tersenyum masam. Bus kembali berjalan.

--

Setidaknya butuh satu jam berdiri di bawah emperan toko di pasar sebelum satu tukang ojek muncul. Hujan telah reda.

"Arep neng ngendi, Mbak?"

"Desa Tegalan, Pak."

Koperku diletakkan di antara kami, dan seseorang yang memboncengku—seorang pria paruh baya kurus dengan jaket kumal—mengajakku mengobrol mungkin karena dia benci hening, atau, dia membaca air mukaku yang terlalu kentara pudung, sampai sekitar sepuluh menit kemudian kami sama-sama diam.

Aku memerhatikan. Tempat ini sedikit-banyak berubah. Orang-orang lebih banyak yang mengendarai motor daripada berjalan kaki, rumah-rumah baru, dan mungkin ada lebih banyak lagi perubahan yang akan aku temui ketika kakiku menginjak halaman rumah.

Rumah. Aku sedih mengingatnya, tapi kini aku sudah berada di hadapannya. Bangunan kayu tua, dengan genting tanah liat, dan lantai dari tanah cokelat yang agak berdebu. Halaman rumah kami yang dulunya dipenuhi tumbuh-tumbuhan kini tampak gersang, dengan daun-daun dari pohon melinjo yang berserakan, serta rumput liar di beberapa bagian.

Pintu rumah tua itu tertutup, padahal dulu ia selalu terbuka, dengan Bapak yang duduk di kursi sambil menyesap tembakau dengan kertas yang dilinting, lengkap dengan teh tubruk hangat tanpa gula, serta sepiring singkong dan ubi rebus.

Aku mengambil napas, kemudian memaksa kakiku yang berat melangkah. Pintu kuketuk tiga kali. Hening. Lalu kuketuk lagi. Kali ini, Tiar yang membukanya. Wajahnya kusut. Matanya sembab. Ia tidak berkata-kata.

"Aku ... muleh," kataku dengan bahasa Jawa yang berarti "pulang".

Tiar mengangguk, lalu menepi. Memberi aba-aba supaya aku masuk.

Rumah ini tidak banyak berubah, hanya saja tampak jauh lebih tua dengan beberapa genting yang hilang dan kayu palang yang sebagiannya mengeropos dimakan rayap.

Saat itu, Ibu muncul dari kamarnya sambil menyibak tirai. Menunjukkan wajahnya yang penuh kerut serta kepayahan. Lantas, air matanya tumpah ketika aku menghampiri, dan ia memelukku dengan rekat. Pelukan itu, terasa seperti tanpa akhir.

--

Rumah ini terasa berbeda tanpa kehadiran Bapak, dan aku yakin Tiar yang duduk di sebelahku pun merasakannya.

"Aku sudah menikah," katanya, membuka percakapan setelah jeda yang terasa selamanya. "Aku dan Mas Tris tinggal di Bekasi."

Mataku membola, melepaskan fokusku pada cangkir—bercorak seragam TNI milik Bapak—di tangan. "Kapan?" tanyaku, nyaris suaraku tak keluar.

"Beberapa bulan setelah Mbak pergi ke Jakarta."

"Dan kamu enggak mengabariku?"

"Aku marah karo Mbak, sama seperti Mbak marah karo aku."

Aku terdiam.

"Aku ora salah," imbuhnya lagi. Seolah memberi pembenaran atas rasa bersalahnya sendiri. "Ora koyo Mbak. Aku ninggali Bu'e karo Pa'e karena terpaksa. Bu'e terima pinangane Mas Tris. Aku ora iso opo-opo."

Pagi itu terasa begitu lambat, juga begitu senyap setelahnya. Pikiranku tanpa bisa dicegah kembali menukil masa lampau, tujuh tahun lalu, di mana terjadi pertengkaran hebat di antara kami. Aku dan Tiara—adikku satu-satunya—menjadi saling membenci.

Dan pertanyaan itu kembali. Apakah ... aku salah?

Hari itu adalah hari terbahagia dalam hidup, setidaknya, begitu awalnya. Aku mendapat kabar dari Ruq—teman yang juga mendaftar di universitas yang sama di Jakarta—bahwa aku diterima. Sejak awal aku yakin, meski Bapak dan Ibu tampak keberatan atas keinginanku melanjutkan pendidikan, pikiran itu pasti akan berubah setelah aku menunjukkan bahwa itu bukan sekadar angan-angan yang tidak mungkin digapai.

Tapi, sekali lagi aku salah. Mereka tetap tidak berubah. Keras kepala.

"Kenapa?" teriakku kala itu. "Kenapa aku enggak boleh kuliah? Temen-temenku kuliah, Pak, Bu!"

"Temenmu sing ngendi, Mbak?" balas Tiar marah karena aku membentak Bapak-Ibu. "Mbak Ruq? Opo Mas Jun? Orang tua mereka kaya! Terus aku piye? Aku piye, Mbak!"

"Bapak punya sawah karo sapi! Uang Bapak bisa pinjam!"

"Iku sawah karo sapi Bapak, Ndok," seru Bapak dengan wajah pedih. "Iku hak Bapak. Kalau kamu mau kuliah ya silakan, tapi kamu usaha sendiri."

Kemudian aku pergi bersama Ruq ke Jakarta, dengan amarah dan kecewa yang tetumpuk sejak lama, lalu mengakar dan bertumbuh menjadi pohon kebencian. Aku tidak pernah pulang.

Ada pertanyaan lain yang selalu mengedar di kepala, yang awalnya tercelus dari bibir tipis Ruq, "Aku ora ngerti. Kenapa bapakmu enggak jual sapinya saja? Toh kamu sudah dapat beasiswa. Apa bapakmu enggak kasihan, ya, kamu kuliah sama kerja setengah mati?"

Memang, rasanya persis seperti aku mau mati, dan memang hampir mati setelah jatuh pingsan dan terkena tipes hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Tapi semua itu sepadan, aku lulus dan tak lama mendapatkan pekerjaan, setelahnya keluargaku sepenuhnya terlupakan. Dan aku pun lupa bahwa aku punya segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

--

Makan malam kali ini terasa aneh untukku; daun adas, tempe goreng dan sambal bawang terhidang di atas meja kayu mahoni, dengan segelas air rebus yang rasanya pun berbeda dengan air yang kuminum dari galon atau air kemasan. Rasa yang terkecap pun bisa menjadi pemicu akan masa lalu.

"Bapak sakit, Ndok," seru Ibu setelah suapan pertamanya. "Tapi Bapak ora pengen ke dokter. Katanya uangnya untuk sekolah Tiar."

Aku menatap anak itu, yang duduk di kursi dan memakan makanannya dalam diam.

"Tiar masih SMA. Seenggaknya Almarhum Bapak karo Ibu mau adil. Kamu bisa lulus SMA, berarti Tiar juga. Almarhum Bapak pengen kamu kuliah, tapi kalau jual sawah bapakmu dapat penghasilan dari mana? Dan bapakmu enggak bisa jual sapi, karena itu untuk persiapan kelulusan adimu nanti. Dan Almarhum Bapak pun enggak pengen berhutang, karena waktu itu almarhum sadar sudah tua dan enggak bisa bekerja sekeras sebelumnya. Ibu sama Almarhum Bapak minta maaf ya, Ndok."

Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan nyaris tidak bisa mengunyah makanan dalam mulutku. Aku menahan air mata, tapi rasanya perih, dan dadaku sesak sekali. Tiar sudah menangis di kursinya, tanpa suara. Ibu diam saja, sama sepertiku, menahan air mata.

Aku menyesal, bahwa aku pulang karena Bapak pergi. Aku menyesal, bahwa aku tak mencoba menjadi Bapak, Ibu, bahkan Tiar sejenak saja, supaya mengerti mereka.

"Nak," kata Ibu lagi yang membuat dadaku bergetar tak keruan, "Bu'e nitip Tiar."

Ibu tahu, bahwa beliau akan pergi, cepat atau lambat, esok atau nanti, menyusul Bapak. Sekarang, aku tidak mau pergi lagi.

-Selesai-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top