Pulang
Aku tak begitu ingat apa yang terjadi di ruang temaram itu. Tapi, yang pasti aku mendengar perdebatan yang tiada habis dari dua suara familiar bagi telingaku. Kurasa semua tetangga juga mendengar apa yang kudengar, hanya saja lebih memilih diam seolah menganggap semuanya lumrah terjadi dalam keseharian.
Di sudut gelap kami bersembunyi; aku dan gadis kecil dengan paras yang tak begitu kuingat wajahnya. Konon hendak berpaling kepada sosok tersebut, suara piring menghantam lantai kontan meramaikan suasana. Pun, sukses membuat jantung kami sukses terlonjak. Aku yakin, pastilah piring itu sudah tak lagi utuh seperti sedia kala.
Sementara gadis kecil yang sedari tadi kurengkuh mulai tak kuasa menahan isak tangisnya. Aku menelan ludah, berbisik menenangkan si gadis. Kuputuskan untuk menutup kedua mata bulatnya yang berlinang air mata. Manik berkilauan itu tidak pantas melihat pertengkaran ini.
Tak lama, derap langkah mendekat. Empunya menarik si gadis kecil dariku, sekuat tenaga tepat kala aku lengah.
Gadis kecil itu menjerit sejadi-jadi, "Kakak! Kakak!"
Suaranya seketika samar-samar dari telingaku. Setidaknya sukses menghindarkanku dari tangan besar yang hendak menamparku. Satu tarikan napas mengembalikanku ke suasana kamar yang menenangkan.
Sinar matahari terik menyilaukan mata, memaksa kesadaranku naik ke permukaan. Sukses mengundangku untuk bangkit. Sialnya, otot-ototku terasa kaku sebab bergerak tanpa aba-aba.
"Ah, mimpi siang bolong memang selalu terasa nyata," gumamku dengan suara berat dan parau.
Tanpa menunggu kesadaran utuh terkumpul, segera aku menggerakkan kaki beranjak dari kamar. Hasilnya, langkah yang kuciptakan sama sekali tidak enak dipandang. Persis seperti orang mabuk. Tapi toh, tak perlu khawatir karena tidak akan ada yang menyaksikan. Tiada seorang pun yang tinggal di sini selain aku. Karenanya, rumah ini selalu bersih tanpa aku harus sering-sering membersihkannya.
Kecuali ... wastafel dapur yang selalu penuh dengan piring kotor.
Aku sekadar mengamatinya sembari menghilangkan dahaga. Seusai aku memasukkan vitamin bubuk ke dalam air minum, aku menegaknya sampai habis.
Memang sama sekali tak sebersit pun niat untuk mencuci piring sekarang. Tidak akan ada tamu yang datang atau bahkan pesta. Aman. Jadi tidak salah jika aku mengulur kegiatan itu, bukan?
Pandanganku tertarik kepada altar yang tampak rapi di ruang tengah dari bar dapur. Sembari meletakkan gelas ke sembarang di atas bar, aku mulai memandang lekat-lekat kepada foto seorang wanita dengan senyum berseri-seri.
Ibu ....
Sejenak aku terpaku kepada pelmeni* yang kusajikan pagi ini. Ibu benar-benar menyukainya dan hampir setiap minggu aku memasakkan itu untuk beliau. Meskipun aku tak yakin apakah masakanku terasa enak seperti masakannya.
Dengkusan meletus selagi manikku tertuju kepada foto Ibu. Demikian sudut bibirku tertarik hendaknya aku berpamitan.
"Aku pergi dulu, ya, Ibu?"
Air pancuran menyala, sukses mengembalikanku ke bangku taman. Demikian kulihat teramat banyak manusia berlalu lalang.
Berapa lama aku melamun di sini?
... lagi, mengapa aku berada di taman?
Eh, kupikir aku tak perlu menunggu jawaban atas pertanyaan batinku.
Kala manikku tertuju pada selembar kertas yang masih setia di dalam genggamanku, aku kembali tertegun lama. Aku mengamati wajah seorang gadis kecil yang tertera di atas kertas.
Gadis kecil ini memiliki paras yang menggemaskan. Maniknya bulat lagi cemerlang, seindah lautan. Hidung si mungil, bibirnya tipis agak merona. Berikut pipi bulat yang siapa pun tidak akan tahan untuk tidak mencubitinya.
Ketahuilah, rambutnya yang pirang keriting selalu dirawat dan tertata rapi. Setiap hari, gaya rambutnya akan bermacam-macam. Mulai dari dikucir kuda, diikat dua, dikepang, disanggul ... ah, pokoknya begitu. Aku tak begitu paham dengan gaya rambut perempuan.
Kali ini—di dalam foto—ia sekadar menggerainya. Pastilah senyum yang ia umbar merupakan bentuk kebanggaan darinya sebab ia berhasil memanjangkan rambutnya mencapai punggung. Saat itu dia mengenakan terusan merah muda bermotif kelinci, berikut hiasan pita merah bertengger manis di kepalanya.
Seusai berfoto, aku ingat telah menembus janji membelikannya es krim stroberi yang sangat ia suka. Sembari menerima es krim, dia tertawa sampai pipi gemuknya merona. Tawanya seperti gemerincing kumpulan lonceng kecil.
Dia senang menikmati es krim di taman. Kala itu, dia masihlah seorang gadis kecil bertubuh pendek. Sering kudapati ia mengayun-ngayunkan kedua kakinya sembari menjilati es krim, juga menikmati pemandangan taman yang seadanya.
Kemudian kami lomba lari. Puncaknya tepat di depan rumah.
Dibandingkan dengan diriku, dia memang memiliki energi yang banyak. Meski demikian, larinya lebih lambat dariku. Aku selalu memilih untuk mengalah guna mengawasinya. Alhasil, aku akan mendengar pekikan kemenangan darinya.
Lamunanku terpecah. Enggan rasanya untuk melanjutkan apa yang terjadi setelah itu.
Dengkusanku meletus. Kalau boleh mengaku, aku teramat sangat merindukannya. Tapi sayang, sedikit pun kabar sama sekali tak kudapat.
Sudah bertahun-tahun aku mencoba mencari jarum emasku yang hilang tertelan tumpukan jerami. Memang sedikit naif mencari seseorang hanya dengan bermodal petunjuk-petunjuk lama. Hanya itu yang kupunya. Tapi tidak ada pilihan selain berharap kalau saja ada yang mengenal seorang gadis dengan nama Evgenia Georgievna Ilyina.
Jika saja ada yang menghubungiku dan lewat telepon ia mengatakan, "Aku melihat postermu. Akulah Zhenya*, gadis yang sudah lama kau cari."
Tentu keajaiban semacam itu hanya terjadi di opera sabun, bukan? Lagi pula, tanpa menunggu keajaiban, aku masih terus mencarinya.
Bagaimanapun, aku harus menemukan Zhenya.
Kala mata terpejam, aku mendengar suara klakson kereta api. Terlampau dekat, mengusik ketenangan.
Sepertinya aku memilih gerbong yang salah. Di sini terlalu sepi. Yah, memangnya siapa yang mau berada di gerbong yang paling dekat dengan bagian kendali?
Lagi pula, aku tak begitu ingat mengapa aku bisa berada di sini. Mungkinkah semua kepingan ingatan ini mengantarkanku kemari? Aku tak tahu.
Aku berusaha untuk tidak menghiraukan semuanya. Bahkan hingga sekarang pun, masih kuurungkan niat untuk membuka mata.
Sedari tadi pikiranku berkutat mengenai Zhenya. Mengingat bertahun-tahun tak kutemukan kabar Zhenya, tentu sedikit pun batinku enggan absen menanyakan dirinya.
Apakah rambutnya masih panjang seperti dulu? Bagaimana dengan mata bulat itu? Masihkah tertinggal di parasnya? Bagaimana dengan kehidupannya?
Oh, aku tak pernah lupa mengajarkannya ... jika terjadi hari yang sedang ia jalani tidak seindah kemarin, kuharap ia hanya menganggap saat-saat itu sekadar mimpi buruk lalu. Semoga saja ia mendengarkan nasihatku.
... dan semoga saja aku menemukanmu setelah segala usaha yang kukerahkan ini.
Pemberhentian terakhir diumumkan, suaranya berdistorsi. Kupikir mereka perlu memperbaiki speaker-nya. Tapi aku tak berminat untuk mencuri dengar mengingat pemberhentian ini tak lain merupakan tujuanku.
Sungguh, aku tersentak kala gerbongku melewati terowongan. Terowongan yang sangat panjang dan gelap.
Selagi suara kereta api terus memantul mengantarkan gema, tampak sebuah tampilan koran dengan bermacam-macam judul berita tepat di jendela kereta. Manikku mencoba membacanya satu per satu, tetapi sayang penglihatanku ini kalah cepat dengan kecepatan kereta.
Selanjutnya aku telah mendapati hasil pemotretan seorang gadis. Kuamati kumpulan foto terus bergulir secepat kilat. Hingga akhir, sedikit pun tak kudapat bagaimana rupa dan sosok gadis di dalam foto-foto tersebut.
Entah mengapa batinku mengatakan semua yang baru menumpang lewat barusan merupakan sebuah petunjuk yang sudah lama kuinginkan.
Kereta lolos dari terowongan. Aku segera dihadapkan oleh pemandangan indah lengkap dengan lembayung senja. Kemilau matahari jingga terpaksa membuatku sedikit menyipit barang sebentar. Syukurlah itu tak berlangsung lama.
Sampailah aku di pemberhentian terakhir. Pintu terbuka dengan suara desisan; menyuruhku untuk segera angkat kaki dari gerbong tanpa sepatah kata. Lekaslah aku bergegas meninggalkan kereta.
Aku dihadapkan ke setapak jalan sepi yang mengarahkanku ke gedung antik yang dibangun dengan batu bata merah. Spontan manikku lebih tertarik kepada sesosok wanita yang tengah menunggu di depan pintu yang masih ia tutup rapat-rapat.
Dia tersenyum kepadaku. Sebagai sambutan, tentu saja. Hanya dengan bahasa tubuh, ia memintaku untuk segera masuk ke dalam gedung.
Semula aku biasa-biasa saja. Seusai mencapai ambang pintu aku mengerjap. Tiada hal yang kutemukan selain ruangan putih tak berujung.
"Mau sampai kapan berada di ambang pintu?" suara Dokter Petrova memecah hening. "Zhenya menunggu di sana."
Enggan rasanya menoleh ke belakang. Pun, masih terasa berat kakiku melanjutkan langkah. Sulit tubuhku merespon setiap perintah yang terinterupsi oleh kumpulan ingatan di dalam kepala.
Anehnya aku tidak merasa pusing.
"Hei." Aku memanggil Dokter Petrova. "Aku mengerti semuanya."
"Mengenai apa?" Tanpa menoleh pun, aku tahu ia tengah tersenyum simpul. Demi menunggu jawaban, Dokter Petrova bahkan sudi mengekor. Aku pula tak begitu berminat mengindahkan gema yang tercipta dari langkah kami.
Aku tak tahu berapa lama kami menciptakan jejak tak kasat mata, tetapi aku yakin perjalanan ini sangat panjang. Hingga sejauh ini, aku tak menemukan pemandangan menarik. Itu sebabnya kakiku terus membujuk agar aku terus melangkah lurus.
Pun, sekian lama aku menggantung pertanyaan Dokter Petrova. Ya, aku baru menyadari itu. Kuharap dia tidak tersinggung. Mau tak mau akhirnya aku memutuskan untuk bersuara.
"Aku sudah mati."
"Ah, memang," balas Dokter Petrova cepat. "Sejak minum racun bubuk."
Jadi itu bukan vitamin bubuk?
"Tahu dari mana kalau sudah mati?"
Sejak berada di taman, tentu saja. Hal yang tak mungkin kulakukan dalam waktu singkat; mengunjungi taman hanya dengan sekejap lamunan. Hanya sekadar membangkitkan nostalgia? Yang benar saja.
Pastilah kereta tak berpenumpang itu merupakan kehendak Dokter Petrova. Dia menjemputku untuk membawaku ke sini. Kereta tersebut memiliki hal-hal aneh. Koran-koran ... dan foto-foto melintas secepat kereta. Benar-benar seperti masa depan, hanya saja tak beraturan.
Lalu, Dokter Petrova ini bukanlah Dokter Petrova yang waktu itu bekerja di rumah sakit.
Tentu saja. Bukankah itu sudah jelas?
Aku hendak menjawab semua pertanyaan dengan tuturanku. Tapi sepertinya aku tak perlu melakukannya. Seolah mendengarkan penuturan yang kutelan dalam-dalam di hati, aku bisa mendengarkan kekehan semerdu lonceng gereja dari wanita yang masih setia berdiri di belakangku.
"Menyangkal bahwa adikmu meninggal setelah menjadi korban prostitusi. Lalu, meminum racun itu bermaksud menemuinya kembali." Ujarannya terdengar tenang. Tapi selanjutnya malah lebih menuju iba. "Tahukah kau, menggunakan cara itu hanya akan menjerumuskanmu ke dalam api, Dimitri?"
Aku tak bergeming.
"Aku memahami tekadmu untuk mendapatkan Zhenya meski harus mempertaruhkan hayat." Seketika ia muncul di hadapanku. Barulah kudapati maniknya yang menyorot kasihan. "Tapi tidak secara harfiah."
Sudah terlanjur, bukan?
Akhirnya aku mendapatkan hembusan napas dari Dokter Petrova sekian detik seusai mendapatkan jawaban hatiku. Yah, terpaksa aku harus menyebutnya demikian karena saat ini dia sedang mengambil wujud si dokter.
Dia kemudian berbalik, mengangkat tangan tinggi-tinggi. Tidak tengah menggapai sesuatu, tetapi seperti memanggil. Tak lama sebuah pintu muncul di hadapan kami. Tanpa ragu Dokter Petrova melayang menghampiri pintu. Sungguh aku terperangah dibuatnya, meskipun aku tahu seharusnya aku tak perlu repot-repot terheran di sini.
Aku mengatup mulut tepat ia setengah berbalik.
"Akhirmu adalah dosa. Tapi ... kami tidak bisa mengabaikan kebaikan-kebaikan yang pernah kau buat di masa hidupmu. Jadi kami memberikanmu sedikit waktu ...." Sebentar ia menjeda. "Untuk menemui Zhenya."
Apa? Dia menyerah secepat itu?
"Mau tidak?"
"Tentu aku mau! Tapi ...."
Aku tahu Dokter Petrova sedang berusaha memandangi wajahku yang tersembunyi di tundukan dalam-dalam tanpa harus menengoknya sendiri.
Pikiranku kembali berkutat kepada Zhenya di dalam foto-foto yang sempat bergulir di kereta. Agaknya, Dokter Petrova mengetahui hal ini. Habis, kuamati dia tersenyum lebar setelah membacanya.
"Dia baik-baik saja, tidak seperti yang berada di dalam pikiran yang kau enyahkan di dalam kereta," katanya memecah hening. "Dia menunggumu."
Aku menghela napas panjang, lantas mengangguk mantap. Makin lebar pula senyumnya, pun tanpa menunggu kesiapanku segera membukakan pintu.
Cahaya yang menyilaukan menyambutku. Kemilau hangat menyirami tubuhku, terasa sangat hangat. Kala manik sukses menyesuaikan diri dengan silau, perlahan-lahan kubuka mata. Segera kudapati bola kristal bersinar terang.
Aku terpana karena sinarnya. Rasa penasaran mendorong tanganku untuk menyentuh bola kristal tersebut.
Sejurus kemudian, bola kristal membentuk sesosok gadis. Cahaya yang menyembunyikannya terpecah kala aku menggenggam tangan si gadis. Begitu anggun kakinya mendarat, rambut pirang yang semula mengembang tertiup angin jatuh menjuntai di pundak ringkih itu.
Manik si gadis berpaku tatap dengan mataku. Biru cemerlang, penuh sukacita. Kala senyum teduh merekah di wajahnya, batinku terenyuh.
Zhenya ....
Sulit memungkiri ia adalah gadis kurus kerontang di foto-foto itu. Syukurlah kini ia persis seperti ekspektasi yang sempat kukubur dalam-dalam.
Syukurlah kelak ia mendapatkan tempat yang lebih aman.
Tiada sepatah kata pun yang mampu kukeluarkan sekarang. Kami hanya saling berpaku tatap, agaknya mengerti cara ini sudah lebih dari cukup untuk menyampaikan rasa rindu. Bahkan kalau perlu membuktikannya, aku menangkup wajah Zhenya; berharap dengan itu, ia tidak perlu berpaling.
"Kita pulang bersama-sama?" Suaranya lembut sekali, cukup menyenangkan hatiku meski ia tidak bersenandung.
Lama aku tertegun. Maka aku memeluk Zhenya erat-erat, lebih memilih untuk bungkam atas pertanyaannya.
Aku mengecup puncak kepala Zhenya sebelum luluh lantak menjelma abu.
~*~*~*~*~
Pelmeni : dumpling dari Rusia yang diisi dengan daging babi, sapi, atau ayam.
Zhenya merupakan nama kecil atau panggilan dari setiap orang yang bernama Evgeni/Evgenia. Hal ini serupa dengan Sasha untuk Alexander/Alexandra.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top