OTHERWISE
Hari masih siang, dan seharusnya tidak segelap lingkungan di sekitar sini. Atau, mungkin seperti itulah cuaca di sekitar wilayah distrik Utara yang terisolasi? Entahlah. Kali pertama aku tiba di sini, aku memang merasa aneh dan sedikit gugup. Namun kali ini, aku pikir, aku sudah cukup terbiasa, mungkin kemampuan beradaptasiku bekerja dengan sangat baik.
Aku sudah berjalan cukup jauh dari tempat terakhir bus kota menurunkanku ke dalam hutan yang curam ini. Aku mungkin pernah takut untuk berjalan seorang diri, namun sekali lagi, kemampuan beradaptasiku bekerja dengan sempurna—kurasa. Sejauh mata memandang di antara pepohonan besar yang berada di depanku saat ini, tak lama lagi aku akan menemukan rumah Nanny Diana, seorang peramal, penyihir, atau apalah julukannya lagi.
Dia—Nanny Diana—seperti rumor yang beredar, sedikit menyeramkan dan sangat aneh. Tapi, yah, bagaimana lagi, aku membutuhkannya, dan dengan cepat aku harus memaksakan diri untuk mengakrabkan aura mengerikannya dengan segala logika yang bisa kuterima—meski aku rasa, hanya orang gila yang akan percaya dengan logikaku. Dia memberiku misi yang aneh seminggu yang lalu, yaitu mengumpulkan seluruh barang-barang yang berkaitan dengan ulang tahunku yang ke sembilan dan berjanji akan memenuhi keinginanku, dan aku sangat berharap, dia tidak sedang berbohong padaku. Beruntung, aku bisa mengumpulkan seluruh barang-barang yang aku cari. Meski agak ragu, karena ulang tahun kesembilanku sudah berlalu sejak sepuluh tahun lalu, sulit untuk mengingat barang yang dimaksud oleh Nanny Diana.
Sebuah pintu reyot dengan bau yang menyengat menyambut ketika aku akhirnya mencapai halaman Nanny Diana. Aku berdiri dengan gugup dan sesekali mondar-mandir karena Nanny Diana meskipun aku mengetuk pintunya dengan keras, membutuhkan waktu yang lama untuk membukanya—awalnya itu membuatku ragu untuk percaya mengenai rumor keberadaan Nanny Diana.
Mengabaikan bau busuk itu lagi, aku kembali mengetuk pintu, berharap dia akan membukanya lebih cepat. Sialnya, dia kembali terlambat membukanya. Gedoran pintu berlangsung agak lama sebelum akhirnya dia membukanya dan menatapku dengan pandangan prihatin.
"Bersabar sedikit."
Aku memutar mata saat mendengarnya. Aku tahu sikapku agak kasar, namun jujur saja, aku seolah tahu bahwa Nanny Diana sengaja mempermainkanku. Firasatku mengatakan, dia sedang bersenang-senang denganku—mainan favoritnya. Dan sekali lagi, aku tidak tahu dari mana pikiran itu berasal.
Kami kemudian berjalan ke ruangan dengan meja yang mirip dengan meja makan. Aku duduk di sana tanpa dipersilahkan, dan Nanny Diana sibuk menyalakan kompor tuanya dan memanaskan ketel. Setelah beberapa menit, dia dengan terampil menyiapkan secangkir teh. Melihatnya yang lincah dengan tubuh kecil yang bungkuk membuatku berpikir bahwa Nanny Diana bukanlah tipe nenek-nenek lemah yang rapuh seperti pada umumnya.
Waktu penilaianku berakhir ketika dia akhirnya meletakkan teh di depanku dan duduk di seberang, menatapku dengan prihatin—yang demi Tuhan terasa seolah dia sedang menertawakanku. Matanya, kilau yang dipancarkannya agak—
"Letakkan barangnya."
Mengesampingkan pikiran aneh tadi, aku segera mengikuti perintahnya. Aku mengeluarkan satu per satu barang yang kubawa, dress putih yang mulai menguning, bando bunga, stik bintang yang sudah setengah hancur, sepatu kusam dan kaos kaki kecil milik anak perempuan berusia sembilan tahun.
"Hanya ini yang aku miliki." Mataku meredup dengan sesal, aku sudah mengupayakan segalanya, namun hanya ini yang tersisa.
"Tidak masalah." Nanny Diana merapikan barang-barang yang aku taruh di atas meja dengan asal, sementara matanya mengisyaratkanku untuk mencicipi teh buatannya. "Ini sudah cukup."
Dia menungguku menghabiskan teh buatannya, dan aku terpaksa meminumnya dengan cepat meski panas dari cairan teh itu membakar lidahku. Aku tidak ingin kejadian seminggu yang lalu di mana aku menghabiskan hampir sejam untuk berdebat soal menghabiskan tehnya.
Setelah meletakkan cangkir yang kosong, Nanny Diana menatapku tajam. Aku langsung merasa gugup.
"Aku akan memberi tahumu secara jujur, bahwa sepuluh tahun yang lalu ketika kalian berulang tahun, kau telah membuat kutukan untuk saudari kembarmu," aku memandangnya seolah telah kehilangan akal, minggu lalu dia tak mengatakan apa-apa, "tanpa sengaja."
Aku merasa napasku agak sesak. Kenangan lama yang telah teredam dan tergores paksa, membuatku gelisah. Aku ingat, aku melakukannya ... dengan sengaja, tepatnya. Tapi bagaimana Nanny Diana mengetahuinya?
"Tenanglah." Nanny Diana menepuk pelan tanganku yang terkatup rapat. "Aku bisa membuatmu memutar waktu dan memperbaikinya," bisiknya kemudian. Ada senyum aneh yang harus aku abaikan darinya saat kami saling menatap. Aku—bagaimanapun juga—harus memercayai dia.
*
Nanny Diana membawaku ke sebuah ruangan lain dari rumahnya—yang membuatku sedikit bingung, rumah kumuh yang kelihatan kecil di luar dapat terlihat luas dan lenggang di dalamnya. Di depan pintu sebuah ruangan yang tampak terawat, langkahnya terhenti
"Di sini," ujarnya datar. "Kau bisa menemukan jawaban."
Mataku berkilat semangat, apa pun yang ada di dalam ruangan itu, setidaknya dapat mengembalikan nyawa saudariku kembali. Dia ... seharusnya, bisa hidup lagi.
Nanny Diana tiba-tiba menghentikan tanganku yang memegang gagang pintu. "Selalu ada risiko untuk sebuah permintaan. Kau—"
"Aku tahu," jawabku, keras kepala. "Aku sudah sampai ditahap ini. Aku mempercayai seorang penyihir sepertimu yang bersekutu dengan iblis bukan tanpa alasan. Aku menginginkan ini." Setiap kata kuucapkan dengan tegas. Aku tidak ingin dia menghentikan apa yang sudah kuharapkan dapat terjadi secara nyata.
"Gadis bodoh." Dia melepas tangannya. Aku menghela napas, aku tahu dia tidak tersinggung dengan kata-kataku barusan, karena begitulah adanya, Nanny Diana, seperti rumornya, dia memang seorang penyihir.
Aku memasuki ruangan itu sendirian. Ruangan itu sempit dan kosong. Tak ada apa pun, bahkan bangku atau meja sekalipun. Aku tidak percaya ini, apakah Nanny Diana menipuku? Apa hanya ini kemampuannya? Bukankah ritual yang kami lakukan dengan menaruh darahku di atas barang-barang tadi harus berefek? Atau bisakah aku masuk dalam jebakan sebagai tumbal sihirnya?
Aku mencoba berbalik dan membuka pintu yang entah bagaimana sudah tertutup. Sialnya, aku terjebak, pintu itu terkunci dengan kuat.
Sebelum aku bisa mencerna langkah apa yang harus kulakukan, ruangan itu tampak terguncang. Rasanya seolah-olah terjadi gempa bumi. Aku merasakan pandanganku memburam. Lalu pusing yang hebat menderaku. Aku pikir, aku akan kehilangan kesadaran, namun suara tawa riang anak-anak membuatku segera terjaga.
"Luar biasa," ujarku tanpa sadar. Aku benar-benar telah kembali ke masa lalu, hari di mana kami akan merayakan ulang tahun kesembilan. Hari di mana aku membuat permintaan tak masuk akal sebelum meniup lilin. Aku mengusap mataku berkali-kali, dan kurasa, aku bisa percaya ini, bahwa ya, aku berhasil kembali.
Beberapa anak saling mengejar di ruang tengah rumah lamaku, beberapa yang lain sibuk mengelilingi hiasan pesta. Banyak juga orang dewasa yang sibuk mengobrol. Aku tak ingin menghabiskan waktu hanya untuk menyaksikan mereka dengan takjub, ada misi yang harus kulakukan. Aku menuju tangga, di lantai dua ada kamarku dan saudariku.
Aku terburu-buru menaiki tangga dan kemudian terjebak dalam kebingungan. Siapa yang harus kutemui untuk mencegah bencana ini terjadi? Apakah aku yang berusia sembilan tahun atau saudari yang aku rindukan?
Pintu di sisi kananku terbuka, itu adalah Kamar Jade, saudari kembarku. Seorang anak perempuan dengan mata biru berambut pirang, mengenakan gaun biru muda, berdiri menatapku dengan bingung. "Siapa ... kau?"
Aku terlalu gembira karena melihatnya, tanpa sadar aku menyahutinya dengan bodoh. "Aku Amber, saudarimu dari masa depan!"
Jade mundur selangkah, menatapku dengan waspada. "Siapa kau?"
Aku belum menyadari kebodohanku dan hanya termakan dengan kata-kata Nanny Diana bahwa ada batas waktu tertentu di mana aku tidak bisa berlama-lama di sini. "Amber. Aku Amber, Jade. Dan aku memerlukan bantuan—"
"Siapa kau?" Jade memandangku dengan ketakutan. Kali ini, aku tersadar. Aku ceroboh.
"Jade, dengar ... ini memang agak rumit dan tidak masuk akal. Tapi aku mohon kau harus mendengarku." Aku mendekatinya perlahan, namun bahu Jade yang gemetar membuatku berhenti. Bodoh. Aku sudah mengacaukan segalanya. "Aku ... aku datang untuk menyelamatkanmu!"
Jade semakin mundur, dia kemudian berlari dengan panik ke kamarnya dan mencoba menutup pintu. Namun sebagai anak kecil yang lemah, dia tidak bisa bertarung kekuatan denganku.
"Dengar, Jade. Di hari ini, aku akan membuat permintaan yang akan membuatmu menderita," ujarku di sela-sela pertarungan kami. Kupikir aku bisa menang dari Jade, ternyata dia cukup tangguh untuk menahan pintu dari dalam. "Aku membuat permintaan agar kau menghilang dari hidupku. Dan setelah permintaan itu, kau akan divonis dokter menderita kanker hati stadium akhir." Jade kehilangan kekuatannya dan aku berhasil masuk ke kamar. "Kau ... kau akan meninggal di umur sembilan tahun, sembilan bulan, sembilan hari."
Awalnya, aku berpikir itu hanya sebuah kebetulan. Kebetulan saja bahwa setelah aku mengucapkan permintaanku, Jade di vonis memiliki penyakit mematikan, dan kebetulan dia meninggal di usia yang aneh. Namun, itu terlalu kebetulan untuk disebut kebetulan. Anggap saja aku idiot yang percaya takhayul, namun aku rasa aku telah membuat kesalahan besar karena sebuah permintaan konyol.
Jade masih ketakutan, tapi setidaknya dia telah melonggarkan kewaspadaannya, pikirku. Tapi dia menipuku. Dia berlari melewatiku dan menuruni tangga, menuju orang tua kami. Panik dengan pemikirannya, aku menyusulnya dan dengan cepat bersembunyi di antara para tamu.
Jade sepertinya memaksa orang tua kami untuk mengikutinya sambil menunjuk ke arah kamarnya. Baik Ibu maupun Ayah tampak bingung dengan perilakunya yang agak aneh. Mereka mencoba menenangkannya dan memaksa Jade untuk tenang. Di samping ketiganya, aku melihat seorang gadis yang persis seperti Jade, dia mengenakan gaun putih, dan memandang mereka bertiga dengan jijik. Itu aku, Amber kecil, yang selalu cemburu dan iri pada Jade, yang selalu merasa bahwa Jade adalah penghalang kebahagiaannya. Aku tahu apa yang dia pikirkan sekarang. Dia pasti mengira Jade sengaja mengacaukan ulang tahun kami.
Melihat bahwa Jade belum tenang, para tamu merayunya untuk segera memulai acara. Lilin kue dinyalakan segera. Aku yang bingung dengan situasi yang berjalan lebih cepat dirundung kecemasan. Aku tidak punya pilihan selain mencegah Amber kecil membuat permintaan dengan cara apa pun. Ketika Jade masih menyela acara dengan sikapnya, para tamu mengisyaratkan dengan lagu untuk meniup lilin. Amber kecil segera menutup matanya dan membuka mulutnya untuk mengucapkan doa—yang kutahu betul berisi kutukan kejam agar Jade menghilang dari muka bumi segera. Bagaimana pun caranya, selama lilin belum tertiup permintaan itu tidak akan terjadi, bukan?
Aku mendapatkan ide di situasi yang mendesak itu untuk mengacaukan segalanya. Aku berjalan mendekati orang yang berdiri di dekat Amber dan mendorongnya. Efek domino dari orang itu membuatnya tanpa sengaja mendorong kue jatuh. Lilin yang masih menyala menyambar ke meja yang memiliki bersusun-susun minuman alkohol kesukaan Ayah. Api kecil segera tercipta bersamaan dengan kepanikan semua orang. Aku terdorong di antara mereka dan dengan sengaja menyingkirkan diri. Setidaknya, permintaan itu tidak terjalin, maka kutukan sialan itu akan gagal. Jade ... di masa depan dapat hidup bersamaku.
Aku berpikir semua dapat berjalan dengan baik. Sayangnya, api kecil tadi berubah menjadi api besar yang menyebar dengan cepat. Semua orang semakin panik dan kekacauan besar segera tercipta. Aku tidak tahu bagaimana segalanya semakin tak terkendali dan menyadari bahwa rumah lama kami dilalap api besar.
Semuanya berlangsung cepat. Beberapa ambulans mulai muncul, para petugas pemadam kebakaran segera berkumpul. Aku menjadi linglung. Rasanya kepalaku sangat sakit dan perasaan tak nyaman melandaku. Aku berusaha mencari Jade, namun tubuhku menjadi kaku. Setiap adegan di depanku tampak berubah menjadi klip usang dari sebuah film. Aku merasa keberadaanku tidak lagi menyatu dengan mereka.
*
Aku membuka mata dengan linglung, mencoba beradaptasi dengan keadaan secepat mungkin. Kupikir gambar api melahap rumah lamaku masih akan terlihat, nyatanya aku mendapati diriku terjebak dalam ruangan yang tersekat kaca. Dari tempatku berdiri ada sebuah ruangan yang tampak akrab. Tapi aku lupa di mana tepatnya aku pernah melihatnya.
Seorang gadis dengan pakaian kasual memasuki ruangan itu. Aku memperhatikan wajahnya yang perlahan membuat jantungku berdetak kencang. Wajah itu mirip sepertiku, tapi aku tahu itu bukan aku melainkan ... Jade. Aku rasa jika Jade masih hidup, dia akan memiliki gaya berpakaian dan cara berjalan yang sama seperti orang yang kulihat di depanku saat ini.
Aku ingin memanggilnya, namun jangankan bersuara, bergerak pun tubuhku terasa kaku. Lama aku terdiam dan hanya memperhatikan Jade, aku menyadari Jade memiliki tampilan yang sama seperti aku waktu itu. Jangan bilang—
"Ck, gadis-gadis bodoh." Nanny Diana yang muncul tiba-tiba di sampingku, membuatku terkejut. "Itulah akibat dari melawan takdir." Aku ingin menyelanya, tapi aku tak berdaya.
Dia kemudian berbalik dengan sikap bijaksana. "Yah, jika mereka tidak sebodoh itu, aku akan bosan." Dia tertawa dengan suara terkikik yang aneh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top