Meja Makan

Benda yang paling kusukai di dunia adalah meja makan.

Tidak peduli bahannya terbuat dari kayu asal mana, ataukah wujudnya berbentuk bulat atau persegi, atau ia hadir sebagai pelengkap estetika ruang makan pun, asal bisa menyantap makanan di atasnya, hatiku merasa tenang.

Di rumahku, itu berbentuk meja persegi dari kayu jati kota tanpa polesan warna lain selain warna aslinya. Satu kakinya lebih pendek dari yang lain menimbulkan bunyi tuk, tuk dari kayu bertumbukkan dengan lantai tiap kali menaruh makanan di atasnya. Menjadi etiket makan untuk meletakkan makanan di tengah-tengah jika tak ingin ada sup tumpah di meja. Jika makan berdua, maka kamu harus duduk berhadapan, dan jika makan bertiga, dua orang harus duduk di satu sisi dan seorang lagi duduk di seberang menempati tempat di tengah-tengah meja. Kedua orang di satu sisi adalah Bapak dan Kakak, sedang satu orang di tengah adalah tempatku.

Masing-masing kami punya peran di meja makan. Kakak adalah sang juru masak. Dulu sekali itu peran Ibu. Kakak sering cerita betapa lezatnya telur gulung buatan Ibu, yang hanya bisa kubayangkan karena beliau meninggal saat melahirkanku.

Aku mungkin selamanya tidak akan tahu bagaimana lezatnya, juga terkadang menginginkan sosok ibu yang sama sekali tidak kukenali itu duduk di kursi sebelahku, tetapi Kakak mengisi peran yang hilang itu dengan sangat baik. Kakak pintar memasak dari ikan goreng, tempe, sayur asem yang tidak kusukai, telur gulung, dan kuyakini hampir semua jenis makanan di dunia bak memakai sihir. Aku pernah mencoba memasak telur gulung, yang walau teksturnya tidak buruk dan empuk di lidah, rasanya tidak seenak punya Kakak.

Peran kedua adalah milikku, si cekatan yang pandai menata sendok-garpu dan tatakan piring di meja makan. Bapak adalah pemeran selanjutnya, dia yang bertugas mendoakan makanan kami, menahan sesi sendok-sendok berebutan lauk sebelum kami mulai makan. Bersama lauk-pauk disantap, bergulirlah suatu pembicaraan sehari-hari di meja makan, tentang yang remeh dan yang penting, tentang menguak cerita sungguh-sungguh dan yang tipu, tentang canda tawa juga kesedihan dan cemoohan bernada akrab.

Semuanya berubah sejak Kakak mengumumkan kesungguhannya merantau ke luar kota. Bapak menghujat keinginan Kakak begitu banyak, mereka berseteru, dan berakhir Kakak menyeret kopernya keluar pintu rumah untuk terakhir kalinya. Meja makan kami yang hangat perlahan menjadi dingin.

Kukira aku satu-satunya yang merasa begitu, tetapi esoknya aku menemukan Bapak makan di ruang tengah memakai meja lipat. Ternyata Bapak juga merasa kehilangan, tapi dia mendiamkannya dan menyuruhku memakan lauk yang ada di meja makan siang itu. Di hari itu ketika duduk di meja makan sendirian, menatap mata dari ikan goreng yang melotot, dan nasi di piring yang sudah mendingin dan dinding bakulnya berkeringat, aku berpikir, "betapa sepinya".

Di saat itulah aku sadar yang membuat di meja makan menjadi menyenangkan bukan karena makanannya, tetapi kemasan cerita Bapak dan tawa Kakaklah, juga keramaian yang dibawa.

Kebersamaan adalah menu utama terbaik yang bisa disediakan meja makan. Aku kehilangannya mulai hari itu sampai bertahun-tahun kemudian setelah kepergian Kakak.

****

Impian Kakak adalah menjadi seorang penyanyi.

Tak perlu dikatakan gamblang, semua orang pun tahu. Kakak selalu mengantongi harmonika kemana-mana untuk mencari nada-nada dasar suatu lagu sebelum menyanyikannya. Hampir tiap malam aku mendengar permainan harmonikanya dari ruang makan. Kadang itu menghantarku tidur lebih nyenyak, kadang juga aku terbangun dan bergabung dengannya.

Aku selalu suka memandang punggung Kakak dari balik kursi kayu bila ia sedang bermain. Itu seperti lukisan yang keindahannya hanya bisa ditangkap oleh mata. Ia meniup harmonika berbunyi sendu, duduk di meja makan sambil memandang langit malam bertabur bintang dan bulan bulat putih kekuningan yang permukaannya bopeng. Cahaya bulan yang lembut menyinari sosoknya. Saat melihatku, ia memanggilku bergabung. Kemudian, permainannya mengiringiku bernyanyi dengan suara sumbang.

Beda denganku, suara Kakak sangat bagus. Tipe suara berat, sedikit serak, tetapi lembut. Orang-orang di kampung bilang suaranya jauh lebih bagus dari penyanyi ibu kota. Kalau ikut audisi pencari bakat pastilah dia juara satunya. Aku terkikik tiap kali Kakak dipuji, diam-diam merasa bangga punya Kakak berbakat sepertinya. Namun, Bapak tidak berpendapat sama.

"Menjadi penyanyi terlalu beresiko. Bagus kalau rejekinya baik, kalau buruk gimana? Sudah habis usaha dan waktu mengejar mimpi, duit yang didapat tipis. Lebih baik belajar baik-baik di sekolah dan setelah lulus meneruskan usaha toko perkakasnya Bapak, itu lebih punya jaminan masa depan," begitu kata Bapak tiap kali Kakak mengangkat topik itu di meja makan.

Kakak orangnya keras kepala. Bila ia menginginkan A, maka ia harus mendapatkan A, bila ia tidak mau B, maka selamanya menolak B. Jadi, tiap kali mendengar penolakan dari Bapak soal impiannya, mereka akan berdebat panjang. Adu pendapat dan fakta-fakta dunia, memaparkan semuanya panjang-lebar seperti sebuah presentasi kerja kelompok di sekolah. Lalu, saat dirasa debat tidak menemukan titik temu, dengan muka muak Kakak angkat kaki dari ruang makan dan berderap ke kamarnya. Selama ini seluruh pertengkaran mereka berakhir begitu. Kukira itu wajar-wajar saja. Toh, tidak semua pendapat harus sama.

Semuanya berbeda pada malam itu.

Kakak kedapatan mengisi acara kondangan di kampung sebelah padahal hari itu hari ujian. Tingkat kemarahan Bapak akhirnya telah mencapai puncaknya, hari itu emosinya meletus. Ia menggebrak meja makan sampai ikan goreng dan butir-butiran nasi loncat dari piring dan berhamburan di atas meja dan lantai.

"Bapak sudah habis sabar memaklumi sikap bebal kamu! Kalau kamu tidak mau ikut aturan Bapak, jangan tinggal di rumah ini!" bentak Bapak, seluruh mukanya merah padam sampai ke leher-leher-bahkan untuk kulit kecoklatannya.

Kiranya kalimat itu tertancap dalam di hati Kakak. Kakak mengencangkan rahangnya, lantas menghentak-hentakkan kaki ke kamar, mengemasi semua barang dan memasukkannya ke koper, lalu menyeretnya keluar pintu rumah tanpa pamit.

Sejak saat itu sosok Kakak menghilang dari rumah.

Beruntungnya tidak dari hidupku.

Satu bulan sejak kepergian Kakak, ia mengirimiku surat. Isinya tentang keadaannya di perantauan, menanyakan keadaan kami, menceritakan kehidupan memukaunya di kota, menyuruhku tidak usah cemas dan berjanji kalau suatu saat nanti akan datang berkunjung ke kampung. Ia juga menyuruhku menyembunyikan surat itu dari Bapak.

Bapak masih mendendam. Jika orang-orang bertanya keberadaan anak sulungnya, ia jawab kalau ia hanya punya satu anak. Begitulah dalam kemarahan dan kecewanya. Jadi, aku pun menuruti keinginan Kakak dan menyembunyikan surat-surat itu di kotak sepatu di bawah kasurku.

Di kota, Kakak bekerja sebagai penyanyi café. Walau tidak setenar penyanyi ibu kota, uangnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tiap tahun, ia selalu mengirimiku hadiah ulang tahun. Tahun pertama, boneka Barbie yang sedang digandrungi anak-anak kota. Tahun kedua, sepatu roda. Tahun ketiga, terusan berenda pink. Di tahun keempat, ia berjanji akan datang ke kampung.

Dengan memakai terusan berenda pink darinya yang sudah kependekan untuk tubuh bocah kelas enam SD, aku duduk menunggunya di kursi tunggu stasiun kereta yang pinggiran kursinya sudah berkarat. Ia berjanji akan membawakanku kue ulang tahun-kalau tidak salah namanya tart. Apa pun itu, kenyataan kalau sebentar lagi akan menemui Kakak membuatku super-duper senang, seperti hatiku digelitiki bulu-bulu angsa, dan itu berlaku sepanjang hari.

Tiap kali suara decitan kereta berhenti di rel, aku segera berdiri dari kursiku dan memanjangkan leher jelajatan mengamati tiap-tiap orang yang mengalir keluar pintu. Satu kelompok penumpang lewat. Kelompok kedua lewat. Tiga, empat, lima. Lalu hari berganti siang, sore, hingga hari bergulir malam dan pria penjaga loket mengusirku pulang karena kereta terakhir sudah berangkat.

Sosok Kakak yang kutunggu tidak pernah melewati pintu kedatangan itu.

Begitu yang terjadi sampai belasan tahun kemudian.

****

"Aku menemukannya."

Begitu ucapan Bapak suatu hari kala masuk rumah. Nadanya selesu para karyawan kantor mengabari hujan turun lebat lagi di luar tetapi mereka harus tetap pergi bekerja.

Sambil mengalungkan tali kartu tanda pengenal karyawan dan merapikan kerahku di depan cermin yang tergantung di sebelah pintu, aku bertanya, "Siapa?"

"Kakakmu."

Bulu-bulu romaku langsung meremang. Semenjak Kakak menghilang, tersiar kabar tak baik tentang kakak. Ada yang bilang pernah melihatnya menemani tante-tante girang minum-minum di bar. Kabar lain bilang, ia menghamili anak orang dan kabur ke kota lain karena disuruh bertanggung jawab jadi para orang kota sedang memburunya. Baik Bapak dan aku tak percaya, dan hanya mendiamkannya. Kukira Bapak telah melupakan Kakak, tetapi untuk pertama kalinya Bapak menyebut namanya.

Aku menoleh pada Bapak. Ia menaruh sendalnya di rak sembari mendesah melihat wajah gelisahku. Tetapi aku tak repot-repot mengindahkan reaksinya, kutodong tanya yang selama ini berdiam di kepalaku.

"Kakak di mana sekarang?"

Bapak menipiskan bibir, memperdalam garis-garis samar di kulit wajahnya yang telah dimakan usia.

"Sebentar lagi dia datang," katanya tenang.

Pertemuan setelah dua belas tahun tak berjumpa, kumaknai dengan gaun pink terbaikku. Tak lebih indah dari yang diberi Kakak, tetapi aku ingin menggantikan pertemuan terakhir kami yang seharusnya terjadi di stasiun kereta pagi itu. Aku ingin tampil terbaik. Aku ingin kakak terkesan kalau adik kecilnya sudah dewasa. Mungkin baik juga meramu percakapan akrab, menceritakan pencapaian-pencapaianku untuk membuatnya bangga, lalu menghidangkannya nasi hangat, ikan goreng, dan telur gulung kesukaannya.

Kelotak heels-ku menginjak semen kering di pagi itu. Langit biru cerah berawan tipis-tipis mengawang di atas, dan bila aku menarik napas udara segar dari pepohonan hijau mengisi paru-paruku.

Ketika aku berdiri di depan Kakak, aku kagum bagaimana rupanya tidak banyak berubah. Potongan cepak masih jadi rambut andalannya, kulitnya masih kecoklatan khas pria desa, dan senyum cerahnya masih ampuh membuat sudut-sudut bibirku terangkat.

Kuletakkan harmonika kesayangannya dan serantang makanan hangat di sampingnya.

"Juni tahu Kak Okto pasti datang," sambutku sambil mengembangkan senyum lebar padanya dengan mata berlinang-linang.

Kak Okto menyugging senyum yang sama. Sepertinya selamanya aku akan mengingat senyum itu. Kubelai pipinya yang dingin dibatasi kaca pigura. Melupakan semua cakap yang sudah kurangkai di rumah, lalu menatap batu nisan berbunyi nama 'Oktovian Mahatma'.

Kakakku yang tersayang meninggal dalam perantauan. Ia dikuntit dan dibunuh pria tak dikenal. Kabarnya, pelakunya mantan pacar langganan café tempat kakak bekerja. Walau wajah Kakak pas-pasan, suaranya terkenal melelehkan hati para pengunjung café. Ada seorang wanita yang tergila-gila padanya. Tiap-tiap hari ia datang ke café, membelikan kakak minuman, dan merayu-rayu hatinya.

Kakak bukan orang yang suka dirayu wanita, tiap kali diajak keluar ia akan menolak wanita itu tegas, lalu melenggang pergi. Tampaknya penolakan macam apa pun tidak memudarkan perasaan si wanita, ia terus datang bahkan pada harinya putus hubungan dengan pacarnya. Mantan pacarnya yang tidak puas dicampakkan tanpa kejelasan hari itu menguntit pacarnya ke café. Ketika melihatnya berbincang dengan Kakak, dengan gelap mata ia menetapkan kambing hitamnya. Ia mengikuti Kakak pulang dan menikamnya mati dengan pisau. Ketika ditemukan, Kakak terbaring di aspal dengan darah mengucur dari perut dan mulutnya. Ia terbatuk darah, sepertinya organ dalamnya pecah.

"Sialan. Aku harus pulang."

Konon itu kata terakhirnya sebelum meninggal.

Telah dua belas tahun kejadian itu berlalu dan selama itu juga ia ditanam di kuburan rumah sakit sebagai mayat tidak dikenal. Hari ini, Bapak membawanya pulang, tepatnya ke pemakaman umum di kampung.

Tetapi, ketika aku menatap foto Kakak dan menghidangkannya nasi hangat, ikan, dan telur gulung di piring, aku mengingat kenangan hari-hari bahagia kami makan bersama di meja makan keluarga sewaktu kecil. Hari-hari itu terasa dekat pun amat sangat jauh di benak.

Mungkin, Kakak di langit sedang menyantap nasi hangat dan telur gulung milik Ibu yang disukainya. Memainkan harmonika dan bernyanyi untukku, untuk Bapak, dan untuk perayaan pertemuan kami kembali.

[THE END]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top