Lebaran Setelah Papa Pergi
Sholat ied berjamaah di dekat kontrakan tak begitu ramai, mungkin karena banyak yang pulang ke kampung halaman. Saat hari raya, keluarga besar berkumpul demi saling bermaafan dan saling tandang meski sekadar tatap muka dan cium tangan. Namun, tahun ini beda.
Saat saling kunjung, kita boleh mencicipi berbagai macam makanan, dari kue kering sampai lapis legit. Belum lagi bertabur salam tempel dari keluarga yang lebih tua untuk anak-anak. Euforia lebaran membawa kebahagiaan tersendiri. Akan tetapi, tahun ini tak sama.
Lebaran kali ini, adalah raya pertama tanpa Papa. Belum genap sepuluh hari sejak kepulangannya ke sisi Yang Maha Esa. Tak akan ada lagi kenangan kebersamaan bersama sosok panutan. Meski telah lama tidak tinggal satu atap, tetapi biasanya kami masih bersua saat mengunjungi rumah Nenek di mana beliau akan menungguku di sana.
Kebiasaan memang sulit dihilangkan, aku tetap pergi ke rumah nenek. Walau tahu Papa tak akan lagi menyapa di sana.
Rumah Nenek merupakan rumah tua yang menjadi muara pertemuan seluruh keluarga besar Haji Abdulhaq bin Mastari. Bukan rumah besar nan mewah, hanya pondok berkamar tiga yang memiliki halaman luas. Tempat biasa para cucu bermain setelah lepas mengaji.
Seperti biasa, belumlah masuk, aku sudah mendengar celoteh ceria dari para kerabat yang sudah lebih dulu datang. Lengkap mulai dari paman, bibi, sepupu hingga cucu, dan cicit. Ramai, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Dari ambang pintu sudah nampak sosok Nenek dan Kakekku yang tetap mesra meski telah renta. Duduk bersanding bak pengantin di sebuah sofa besar yang diisi oleh kedua orang itu saja. Anggota sanak yang lain lebih memilih ruang keluarga untuk saling cakap bertukar cerita.
"Assalamualaikum," kataku di depan daun pintu yang terbuka lebar.
Diri ini langsung disambut senyum merekah di wajah kedua sejoli yang duduk di ruang tamu.
"Waalaikumussalam." Serentak ramai suara celotehan berhenti demi menjawab salamku.
"Arum, sini duduk sini." Nenek segera membuka kedua lengan agar aku masuk ke dekapan hangatnya. Segera kaki ini berlari kecil lalu memeluk erat wanita yang wanginya bak taman melati bercampur bau daun sirih. Wangi yang memberikan efek rindu kepada dirinya.
Saat dekapannya semakin erat, kurasakan bahu Nenek mulai berguncang. Ia menangis tersedu seraya menambah erat pelukannya.
"Nenek, kenapa nangis?" Tanganku mengusap punggungnya lembut. Walau aku tahu penyebabnya, diri ini berusaha tak memperlihatkan kesedihan yang sama. Namun, ternyata tak bisa.
"Nenek rindu papamu," tangisnya membuat pipi penuh kerut itu semakin basah.
Aku tak kuasa menahan air mata yang sejak tadi ditahan. Tentu saja, Nenek adalah ibu dari Papa, pikirku dalam hati. Kehilangan seorang anak tentu sangat berat bagi ibu manapun di dunia ini.
Diri ini saja sudah amat merindu, apalagi beliau yang mengandung dan mengurus Papa sejak kecil. Meneteslah air mata sampai membasahi kebaya perempuan itu. Tuhan, maafkan aku yang kembali berduka. Ini terlalu berat.
Melihat kami berdua, membuat para saudara yang berada di ruang dalam tak lagi memperdengarkan keceriaan. Semua turut larut dalam kesedihan mengingat satu sosok yang sama, Papa yang telah pergi untuk selamanya.
"Assalamualaikum," suara melengking bagai anak kecil datang dari seorang perempuan mungil dengan pakaian paling indah di antara kami. Ia adalah kakak perempuanku nomor satu, kami memang sudah tidak se rumah karena ia tinggal dengan ibu kandungnya. Setelah kepergian Papa aku memang memilih untuk tinggal sendiri.
Wanita itu duduk di samping nenek dan langsung ikut tersedu, tak ada raut wajah dengan senyum terhias di hari itu, semua larut dalam kerinduannya masing-masing. Hanya pada satu sosok. Anak, Papa, Kakak Tertua, Uak, Kakek sekaligus bagi kami yang tengah berkumpul di hari raya yang seharusnya bergembira. Hari itu, semuanya kembali berduka.
"Sudah, sudah. Baru dateng, kok, pada nangis. Maafin Nenek yang tiba-tiba kangen sama Papa kalian, sebab baru kali ini Nenek melewati lebaran tanpa dia. Biar bagaimanapun dia adalah anak Nenek yang paling Nenek sayang."
Kami berdua melepas pelukan dan mengangguk. Saling usap air mata seraya tersenyum menguatkan.
"Makan, makan," suruh wanita itu dengan suara serak, "kemarin Nenek buat banyak makanan, Arum suka kue lambang sari, 'kan? Yana juga suka sama tape buatan Nenek, 'kan?"
Kami spontan mengangguk cepat dan pergi mendekati meja makan. Hidangan khas lebaran memenuhi meja, tinggal pilih mana yang kami suka. Tangis yang lain pun ikut berhenti walau masih ada tertinggal sedikit genangan di sudut mata. Mereka pun mulai kembali bercanda ringan agar usai segala kesedihan.
Kami semua bersalaman dan menepuk pundak satu sama lain. Tersenyum dalam kehilangan, menghapus luka karena telah ditingggalkan orang tersayang, dan mulai makan dalam diam.
Sebentar kemudian, sedikit keceriaan dimulai. Beberapa kembali tersenyum dan mulai bertukar cerita, resep, dan pengalaman. Sebab keluarga kami jarang berkumpul lengkap jika bukan di momen lebaran. Maklumlah, beberapa dari mereka ada yang bekerja di luar kota, juga ada yang telah sibuk dengan keluarga kecilnya, sedang sebagian kecil lagi sibuk belajar menempuh ilmu.
Dari depan, suara salam kembali terdengar. Kali ini kakak laki-lakiku nomor tiga, yang dikenal sebagai pembuat onar dalam keluarga datang. Ia disambut nenek dengan cara yang sama seperti ia menyambutku dan Kak Yana. Kak Wawan duduk bersimpuh di depan Nenek, meminta maaf dengan wajah merah, matanya basah, lengannya bergetar menahan tangis.
Nenek memeluk pria bertubuh bongsor itu, perempuan itu berusaha merangkul dengan tangan keriputnya berupaya menenangkan cucu yang telah kehilangan sosok ayah di bulan Ramadhan.
Aku duduk di pojok, terus terang malas bertemu pria itu. Sebab terakhir aku bertemu dengannya, adalah setelah terusir dari rumahku sendiri. Masih ingat dalam benak saat itu Papa meraung meminta pertengkaran di antara kami berhenti. Masih lekat dalam ingatan, Papa merangsek masuk ke kamar dan segera menahan jemariku yang sudah meraih pisau cutter.
Saat itu, aku menatap wajah sendu Papa. Ia memohon dengan matanya agar aku tak berbuat nekat. Setelah itu, ia segera membawaku keluar. Pergi ke rumah Bude Rika—Kakak dari ibu kandungku. Papa meminta untuk menenangkan diri sejenak di sana. Namun, aku memutuskan untuk tak lagi pulang.
Setelah menghapus air mata, Kak Wawan beranjak dari depan Nenek dan mulai menyalami dan mendekap saudara yang lain. Kak Yana menyambutnya dengan dingin, padahal keduanya lahir dari rahim yang sama. Namun, memang selalu bersiteru sebelumnya.
Aku pura-pura abai dan mencoba makan dengan nikmat, berharap laki-laki itu melewati atau tak melihatku yang berada di pojokan.
"Rum," panggilnya.
Aku mendongak dengan mulut penuh makanan. "Kak, maaf lahir batin, ya." Diri ini mengangsurkan lengan kanan. Akan tetapi, ia memelukku erat.
"Maafin Kakak, ya, Dek. Kakak selama ini khilaf. Kakak sayang kamu, walau bagaimanapun kita tetap adik-kakak, mamamu gak pernah Kakak anggap sebagai ibu tiri."
Tangisku tumpah, aku pikir aku sendirian selama ini. Diri yang selalu merasa sebagai orang lain, sebab Mama selalu dianggap sebagai pengganggu rumah tangga orang.
Aku merasa sedih setiap kali mereka jarang melibatkan dalam urusan keluarga, dianggap anak kecil, dan tak pernah diperlakukan sama.
Akhirnya, aku memahami. Kak Wawan tak pernah sengaja berbuat buruk, ia anak produk broeken home yang salah memilih jalan. Selalu dalam naungan minuman keras hingga pikirannya kadang tidak realistis.
Seperti aku, pria itu seperti berada di dunia lain selama ini. Ah, ternyata darah memang lebih kental dari air. Tak ada bekas saudara, walau bagaimanapun Wawan adalah kakakku. Aku pun memaafkan dirinya.
"Waalaikumussalam, Indra!" suara Nenek terdengar menyambut cucu lain dalam keluarga—Kakakku nomor dua. Salah satu kakak tiriku yang selama ini bekerja di Medan.
Kaki Indra tampak tak kuat menopang tubuhnya yang lunglai akibat mendengar berita Papa telah berpulang. Waktu itu, ia tak dapat dihubungi sama sekali. Berita kematian Papa baru ia ketahui kemarin dan langsung pulang. Pria kurus dengan kulit hitam legam itu terduduk di depan pintu, air matanya mengalir tak berhenti, meraung bagai anak kecil kehilangan mainan barunya.
Lagi-lagi derai air mata yang tadi tak sempat mengering kembali mengalir. Semua kembali menangisi kepedihan hati masing-masing yang ditinggal seorang yang sangat berarti.
"Indra, gak tahu. Indra baru tahu pas telepon Teh Vera, dia bilang Papa ... Papa, su-sudah." Ia tak sanggup meneruskan kata-katanya. Pundaknya melengkung turun, terbeban rasa penyesalan tak sempat melihat Papa untuk terakhir kalinya.
Kakek berdiri dari duduknya, ia menghampiri cucu terakhir yang datang. Memeluknya dengan erat, seakan memberikan kekuatan agar pria itu kembali berdiri.
Aku kembali menangis di pojokan. Ada sedih dan haru yang terasa. Biasanya, di hari lebaran keluarga kami penuh dengan canda tawa, tak peduli suara lengkingan ceria bernada lebih dari dua oktaf terdengar hingga tetangga.
Namun, kali ini berbeda. Sejak pagi rumah Nenek berisi tangis dan kesedihan mendalam. Pertemuan keluarga yang biasanya berlangsung meriah kini terisi dengan diam dalam isak berkelanjutan, bahkan tamu dari jauh pun turut haru dalam kesedihan.
"Dah, lebaran tahun ini gak ketemu, ya!" kata pria itu kepada tetangga yang menegurnya, sesaat sebelum kepergian yang tiba-tiba.
Sungguh Papa telah menepati janji, lebaran tahun ini tak dapat berkumpul lagi. Semoga husnul khotimah, panutanku, kebanggaanku, ayahku.
**TAMAT**
06 November 2021, 19.03 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top