Kinantan

Kinantan bingung. Pastinya.

Terhitung sudah lima bahkan enam tahun sejak pertemuan terakhirnya dengan sang Kakak. Gadis yang selalu mengenakan syal rajut berwarna merah itu memang selalu menantikan pertemuan ini, selalu menunggu sang Kakak di dekat hutan dekat desa tiap kala kabut tebal menutupi arah pandang mata. Ditemani dengan suara-suara serangga dengan sebuah lentera kecil sebagai alat bantu agar tidak salah menginjak permukaan tanah dan jatuh pada lubang-lubang yang digunakan oleh para leluhur untuk mengurung jiwa anak yang nakal. Tapi kenapa jauh di lubuk hati Kinantan justru merasa takut?

Kemarin salah seorang wanita baik menyampaikan pesan bila seorang gadis muda akan bergabung, dan dari ciri-ciri yang disebutkan entah mengapa Kinantan merasa jika itu adalah kakaknya. Lima tahun yang lalu saat Kinantan masih berusia lima tahun dan jarak usia antara dirinya dan sang Kakak yang juga lima, artinya sosok itu telah berusia lima belas tahun.

Apa sang Kakak masih mengingatnya?

Apa sang Kakak masih terlihat sama? Untuk yang ini Kinantan sedikit pesimis, sang Kakak pasti sudah terlihatlah sedikit lebih dewasa.

Tapi yang paling dia takutkan adalah apakah sang Kakak masih mengingat hari dimana keduanya berpisah? Perasaan Kinantan seperti dicampur aduk untuk hal ini. Jujur saja dia akan merasa sangat bahagia bila sang Kakak mengatakan jika dia mengingat hari itu seperti janji bila itu akan menjadi salah satu hari yang tidak pernah dia lupakan. Tapi itu hanyalah keinginan sesaat seorang bocah berusia lima tahun, tahun-tahun selanjutnya Kinantan seakan belajar bila dia terlalu egois dengan menyuruh sang Kakak mengatakan janji seperti itu. Alasan mengapa kini gadis itu menanti sambil khawatir bilamana sang Kakak justru tersesat karena terlalu lama menatap masa lalu yang pastinya dipenuhi oleh bayang-bayang malam.

Kabut mulai menipis seiring dengan matahari yang meninggi secara perlahan, pertanda jika Kinantan harus kembali. Namun belum sampai gadis itu benar-benar berbalik, sebuah suara langkah kaki yang terdengar berat muncul bersamaan dengan hembusan angin dingin yang seketika mematikan lentera yang dia bawa.

Sang pendatang baru memang seorang gadis muda, namun perawakannya sedikit berbeda. Biasanya yang datang akan mengenakan pakaian yang terbilang lusuh karena perjalanan yang bisa dibilang jauh dan tidak mudah. Gadis dengan tubuh tinggi tegap dengan pundak yang terbilang lebar itu memiliki potongan rambut pendek, Kinantan seakan berani bertaruh jika rambut itu dipotong secara asal. Pakaian gadis itu masih terbilang rapi, tidak seperti kebanyakan gadis muda yang datang dengan sebuah rok agak besar, masih sama-sama menggunakan gaun terusan hanya saja tidak begitu panjang. Celana bahan yang dikenakan gadis itu sedikit terlihat, Kinantan hanya berpikir jika mungkin itu alasan mengapa gadis yang mungkin memiliki kecenderungan untuk bertingkah seperti seorang pemuda ini masih berpakaian rapi.

"Kinantan."

Namun hanya dengan satu kata dan nada bicara yang khas membuat Kinantan terdiam dari geraknya yang hampir pergi berlalu begitu saja. "Kak Nayaka? Kenapa Kakak bisa ada di sini?" Tunggu, bukan itu seharusnya kalimat yang diucapkan oleh Kinantan. Tapi melihat pakaian serba hitam yang dikenakan sang Kakak, Kinantan kini justru menatap ke arah gadis itu nyalang penuh antisipasi.

"Waktu Kakak tidak banyak," ucap Nayaka sambil memegang kedua pundak adiknya. "Kakak juga tahu waktumu tidak banyak, kabut ini akan hilang sebentar lagi tapi Kakak senang karena sudah menemukan dirimu. Tengah malam besok Kakak akan kembali ke tempat ini, Kakak harap lentera itu akan cukup terang untuk menghalau kabut tebal." Suara Nayaka terdengar lebih berat dari apa yang ada di ingatan Kinantan, kakaknya itu pastilah sudah melewati banyak hal berat untuk sampai pada titik ini. Jadi sebagai adik yang baik dia tentu akan bersikap patuh, menurut pada satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki saat ini. Yang dia anggap sebagai keluarga.

Tidak butuh banyak waktu bagi tubuh Nayaka untuk menghilang bersamaan dengan kabut yang membuat panasnya cahaya matahari langsung terasa di kulit Kinantan. Menyadarkan gadis itu untuk segera masuk ke dalam hutan sebelum ada yang menangkap basah dirinya. Sembari memikirkan kembali kalimat apa yang harus dia ucapkan untuk menyambut kedatangan Kakak, mungkin? Kinantan sedikit ragu apakah kakaknya akan singgah dan menemani dirinya atau pertemuan keduanya ini hanya bermakna sebagai sebatas lalu.

Para pujangga yang telah dia temui agaknya tidak banyak membantu Kinantan untuk tidak terlalu berekspektasi tinggi. Melihat keadaan Nayaka yang menurutku jauh dari kata baik seakan mempertegas jika sang Kakak tidak akan bisa singgah di tempat yang sama dengan dirinya, tidak bisa, tidak diperbolehkan.

"Apa yang sudah Kakak lakukan?" Menjadi kalimat yang dipilih Kinantan sebagai pembuka percakapan kali ini. Ditemani cahaya rembulan dan sebuah lentara guna mengusir tebalnya kabut, Kinantan agak terkejut kala Nayaka justru telah datang lebih awal. Masih dengan pakaian yang sama, tanpa ada sedikit rasa takut yang tersirat jika sosok itu akan hilang ditengah-tengah sunyinya malam. "Kakak, tidak baik-baik saja."

"Kakak baik-baik saja, jauh lebih baik sekarang ini," ucap Nayaka dengan sebuah senyum. Garis melengkung yang terefleksikan pada wajah penuh khawatirkan Kinantan. Kedua kakak beradik itu lima tahun yang lalu saling mengenal satu sama lain dengan baik, namun kini semua terasa asing terlebih kala Kinantan sadar bila dia dan Nayaka berada pada dua kubu realitas non fisik yang berbeda. "Lima tahun ini, Kakak selalu berpikir jika kita mungkin tidak akan pernah bisa bertemu lagi."

"Lima tahun ini aku selalu menunggu Kakak," ucap Kinantan sambil mengulum bibir. "Aku mungkin berharap agar kita segera bertemu, tapi dalam kondisi seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi Kak? Apa yang telah mereka lakukan padamu?" Dan dalam sebuah hembusan angin malam yang cukup kuat, sinar rembulan seakan membantu Kinantan untuk melihat rupa asli sang Kakak. Nayaka memang terlihat lebih kurus dengan tulang pipi yang sedikit menonjol mana kala gadis itu berbicara, namun itu tentu tidak sama artinya dengan rupa tengkorak yang diberi tato pada area tulang pelipis dan bawah mata. "Apa yang terjadi pada jasadmu? Orang-orang itu menjualnya pada penyihir gelap?"

Angin kembali berhembus, meniupkan beberapa kabut untuk menghalau sinar rembulan yang dengan lancang telah mengungkap topeng yang dikenakan Nayaka. "Kakak melakukannya atas keinginan Kakak sendiri," ucapnya. "Kakak tidak memiliki pilihan lain."

"Tidak. Kakak punya, Kakak hanya tidak ingin memilihnya." Dengan tatapan kecewa yang tidak bisa lagi Kinantan sembunyikan, gadis itu mendekatkan lentera yang semula berdiri tenang ke arah sang Kakak. Menampilkan lagi bayang-bayang dari tulang dan sebuah tato mirip seperti bunga bawar yang berpendar samar. "Kakak berubah."

"Kita seharusnya memang berubah."

"Kau bukan kakakku, Kak Nayaka tidak akan menjual tubuhnya pada kegelapan! Kau bukan kakakku!"

"Bukan pertemuan seperti ini yang aku harapkan," ucap Nayaka setelah menghela napasnya kasar. "Kau benar-benar tidak ingin menyambutku atau melakukan sesuatu setelah hanya aku yang mau menguburkan jasadmu pada hari itu? Adikku sayang, menurutmu kenapa aku jadi seperti?! Ha?! Menurutmu kenapa? Apa kau pikir aku juga ingin hidup sebagai kaki tangan iblis?"

Kinantan memejamkan matanya. Haruskah dia merasa sedih ataupun bersalah? Coba saja jika para penjaga memperbolehkan memutarbalikkan waktu, dia pasti akan mencobanya agar pada hari itu bukan dirinya yang mati. Bukan dirinya yang harus mati dibakar oleh kaki tangan kerajaan yang berpikir bila keluarganya memiliki kekuatan sihir sebagai tanda seorang pelayan iblis. "Tahu begini, kau saja yang mati pada hari itu," ucap Kinantan kala mengingat hari dimana dirinya berdiri di antara kerumunan warga desa yang dengan suka cita menonton acara pembakaran tubuh seorang anak.

Beberapa hari yang lalu para pengawal kerajaan tengah gencar-gencarnya melakukan eksekusi pada beberapa keluarga yang disinyalir telah membunuh Ratu melalui media sihir. Kedua orang tua telah lebih dahulu berpulang dengan sang Ayah yang meninggal dengan cara dipenggal dan sang Ibu yang menenggak racun dalam penjara bawah tanah. Si bungsu sendiri sebenarnya telah diperingkatkan sang Kakak untuk tidak keluar dari tempat persembunyian hanya saja para manusia yang konon kata tengah memburu monster itu jauh lebih pintar.

"Berapa banyak yang sudah Kakak bunuh?" Kinantan menatap warna pakaian kakaknya yang mungkin lebih gelap daripada langit malam. Pertanda bila tidak hanya satu atau dua nyawa yang telah direnggut oleh tangannya, bila seorang intensitas non fisik dengan pakaian ungu telah menghabisi sebuah keluarga, bagaimana dengan Nayaka? "Kau bukan manusia."

"Mereka tidak pernah menganggap kita sebagai manusia," ucap Nayaka yang kini tidak lebih seperti seorang yang asing. Kinantan tidak ha is pikir dengan pola pikir kakaknya kali ini. "Aku hanya memenuhi harapan mereka, bukankah mereka yang memulai? Mereka menginginkan seseorang untuk dijadikan kambing hitam sebagai tersangka atas kematian Ratu yang jelas-jelas bunuh diri karena tidak kuat untuk tetao bertahan di tengah polemik kerajaan yang dipenuhi para bajingan. Aku membunuh semua prajurit yang pada hari itu menertawakan keluarga kita beserta anak istri mereka agar tidak terlalu sedih karena ditinggalkan. Aku tidak membunuh Raja, tapi aku memanggil jiwa sang Ratu agar membuat pria tua penjahat kelamin itu gila."

"Kau gila Kak. Apa yang sudah iblis tanamkan pada otakmu? Kau sudah jatuh, terlampau jatuh. Kau tidak seharusnya mengetahui tempat ini," ucap Kinantan sedikit meninggikan suaranya. Secara hukum dia diharuskan melawan Nayaka, menghabisi sang Kakak karena telah mengetahui letak hutan tempat para jiwa yang tenang, tapi hati nuraninya seakan berteriak untuk tetap memberikan kesempatan kedua. Semua manusia berhak untuk mendapatkan hal itu, sebuah pertobatan.

"Iblis tidak pernah seburuk yang kau bayangkan, ada kalanya dia justru membuatmu lebih tidak naif, dia temanku. Tapi kau tidak perlu khawatir Kinantan, aku tidak datang untuk melakukan pertobatan, seperti katamu tadi aku kini bukan manusia." Ingin sekali Kinantan menggelengkan kepala, bukan seperti itu maksud ucapannya, tapi ada sedikit rasa ego yang menyuruhnya untuk menanti barang kali ada kalimat lain yang ingin diucapkan Nayaka. "Aku datang dengan damai dan menawarkan kesepakatan, hutan ini bukan lagi permata zamrud yang diincar oleh iblis. Aku datang dengan menawarkan sebuah undangan."

"Tidak ada seorangpun yang tinggal di hutan inj berniat untuk menyanggupi undangan dari seorang kaki tangan iblis."

"Sebenarnya tidak juga, ini undangan dariku," ucap Nayaka. "Aku akan menikah dengan seorang teman."

"Aku cukup terkejut kau masih memiliki seorang teman setelah semua dosamu itu," ucap Kinantan. "Dia pasti sama pendosanya dengan dirimu."

"Bisa dikatakan seperti itu atau lebih parah lagi." Nayaka menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya menyunggingkan sebuah senyuman. "Sebenarnya pengantin prianya adalah iblis."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top