Keinginan Terakhir

Akhirnya aku bisa keluar dari kereta dengan perasaan lega. Setelah tiga puluh menit berhimpitan, aku melepaskan diri dari rombongan orang-orang bau keringat yang baru pulang kerja.

Sebelum pulang, aku memutuskan untuk membeli minuman dingin di seberang jalan. Namun, belum sampai aku di penjual es, kulihat seorang gadis yang kukenal tak jauh dari tempatku berada.

"Melly! Kamu kok ada di sini?!" tanyaku kaget melihat adikku sedang melamun di depan toko roti.

"Kakak apa kabar? Sudah lama tidak bertemu," sapanya dengan mata dan bibir yang membentuk lengkungan senyum.

"Aku baik. Bagaimana denganmu?" tanyaku membalas. Sedikit basa-basi setelah beberapa tahun tidak bertemu, hanya bertukar kabar melalui telepon dari Ibu karena gadis itu selalu kabur saat di telepon.

"Baik ... mungkin? Entahlah." Senyum yang tadinya mengembang, perlahan hilang. Tatapan Melly mulai kosong.

Melihatnya mulai murung, aku mencoba mengalihkan pembicaraan—sayangnya aku bukan orang yang mudah memberi solusi—kuharap dengan itu Melly dapat sedikit melupakan masalahnya.

"Ayo bertukar kontak. Kamu ganti nomor, kan? Kemarin aku kirim pesan nggak dibalas."

Melly melambaikan tangannya di depan wajahku "Aku tidak punya ponsel."

Aneh sekali. Tapi, apa mungkin ponselnya dicuri orang? Padahal aku baru saja mendapatkan kontaknya dari teman lama beberapa hari lalu.

"Mau makan bareng?" tawarku. "Aku traktir." Melly langsung mengangguk mendengarnya. Senyum gadis itu kembali mengambang.

*

"Makasih ya, Kak." Aku membalas ucapan Melly dengan anggukan.

Mungkin sudah tiga tahun aku tidak bertemu Melly. Terakhir kulihat dia masih kuliah. Tahu-tahu sekarang sudah merantau di Ibu Kota. Dia dan Ibu juga tidak mengatakan apapun tentang kepergiannya ke sini.

"Kakak kenapa tidak pulang? Aku dan Ibu menunggu." Melly tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.

Untuk beberapa alasan, aku tidak pulang ke rumah. Salah satunya aku tak ingin melihat lagi wajah manusia itu—tetangga menyebalkan yang selalu menyalahkanku tanpa bukti. Dituduh mencuri lah, pake susuk lah. Semua ucapan buruk rasanya sudah wanita tua itu lontarkan kepadaku semenjak lamaran anaknya kutolak beberapa tahun lalu. Sayangnya, cibirannya tak berhenti padaku. Kadang pada Melly dan Ibu juga. Untungnya, tetanggaku yang lain bilang bahwa wanita dia sedikit lebih tenang semenjak aku pergi.

Eh, apa itu bisa disebut keberuntungan? Aku kan tidak bisa pulang.

"Kemarin aku menghubungi Ibu. Ibu bilang kalian baik-baik saja. Syukurlah, meskipun aku juga sebenarnya berencana untuk pulang dalam waktu dekat." Aku sudah terlalu lama pergi. Walau mungkin akan mendapat perbuatan yang tidak menyenangkan, aku tetap harus kembali.

"Begitu," ucap Melly yang mampu kudengar, karena kulihat bibirnya masih bergerak, seperti tengah mengucapkan kata-kata lain tanpa suara. Tapi mungkin dia hanya bernyanyi tanpa suara, jadi tak kuhiraukan karena biasanya juga begitu.

"Ceritain dong, gimana kuliahmu." Aku berkata setelah memberikan daftar menu pada Melly.

Kudengar ocehannya tentang dunia perkuliahan yang tak pernah aku rasakan. Melly bercerita dengan wajah berseri. Pipinya bersemu ketika ia menceritakan tentang seseorang yang disukainya semasa kuliah. Aku ikut senang mendengarnya. Dia baik-baik saja selama aku pergi.

Tidak lama kemudian, pesanan kami datang.

"Bagaimana rasanya?"

Melly mengangkat jempol sambil menyeruput mie. Dia memang paling suka dengan mie ayam. Maka dari itu, kuajak dia ke angkringan favorit di tempatku yang setiap malamnya selalu penuh dengan orang-orang.

"Sekarang, kamu tinggal dimana?" tanyaku.

"Jalan Ros nomor tiga," katanya.

"Jauh sekali. Kamu pulang denganku saja hari ini, ya. Kosanku dekat. Juga kalau kamu belum bayar tahunan, bulan depan tinggal bersamaku saja. Lebih dekat ke stasiun dan nanti kita bisa bayar patungan."

Melly mengangguk. "Iya. Makasih, Kak."

*

Di samping kasur singleku, aku menyimpan kasur lain yang kusewa dari Ibu Kos untuk Melly beristirahat. Saat melakukannya, aku jadi teringat kenangan lama. Karena dulu hanya ada dua kamar, aku dan Melly harus tidur di satu tempat. Saat itu, kami suka pura-pura tidur saat Ibu mengecek kamar dan mematikan lampu. Setelah ibu pergi, kami akan mengobrol sampai larut. Lalu di keesokan paginya, Ibu akan memarahi kami karena sulit bangun.

"Tempat ini agak menyeramkan. Kakak tidak takut?" tanya Melly sembari merebahkan dirinya di kasur.

"Tidak, kok. Kebetulan lampu kos di depan mati kemarin. Besok pasti sudah dipasang yang baru." Aku mengikuti Melly dan berbaring di sampingnya.

Setelah aku berbicara, suasananya jadi canggung karena tidak ada suara lagi kecuali suara cicak yang sepertinya sedang membawa rombongan hari ini. Atap kamarku jadi berisik sekali.

Melly jadi sedikit pendiam hari ini, membuatku jadi ingat perkataannya beberapa jam lalu. Aku ingin sekali membantu meskipun hanya bisa menjadi pendengar. Jika aku terlalu gegabah, bisa-bisa jadi masalah seperti bantuanku pada teman-temanku dulu. "Kamu lagi ada masalah? Sini, cerita." Aku berbalik dan menghadap Melly yang tengah melihat langit-langit ruangan.

"Tidak apa-apa, Kak. Tak perlu khawatir," balas gadis itu sambil menutup mata. Ia sudah siap tidur, sebelum suaranya kembali kudengar.

"Kak, besok temani aku jalan-jalan, dong. Aku belum lama di sini, jadi masih bingung."

"Oke."

*

Hari ini aku mengajak Melly ke taman hiburan. Dia terlihat senang sekali saat mendengarnya. Namun karena tidak membawa baju ganti, kupinjamkan ia bajuku yang ukurannya sedikit lebih besar.

Permainan yang pertama kali kami naiki adalah roller coaster. Awalnya aku ingin menyombong--sok mau naik permainan ini di depan Melly yang tengah ketakutan. Namun setelahnya, malah aku yang pusing dan adikku ingin naik lagi. Tapi, gadis itu tak ingin mengantri--akhirnya memikirkan hiburan lain sambil menaiki komidi putar.

Aku yang masih pusing lalu menunggu di kursi tak jauh dari tempat penjualan makanan. Lalu, setelah merasa lebih baik, aku membeli eskrim dan makanan ringan. Akan kuberikan pada Melly setelah gadis itu kembali.

*

"Kak, aku mau naik itu," tunjuk Melly pada kincir ria besar yang sebentar lagi berjalan.

Aku mengiyakan. Sudah lama aku tidak naik kincir ria. Setelah mendapat izin dariku, Melly langsung berlari. Namun, baru saja aku melangkah untuk menyusulnya, seorang pria penjaga taman menghampiriku dengan wajah galak. "Dilarang buang sampah sembarangan!" serunya.

"Lah, Pak. Mana ada saya buang sampah sembarangan." Aneh sekali. Aku kan masyarakat baik yang berbudi pekerti, jadi, tidak mungkin aku buang sampah dengan cara yang tidak estetik seperti itu.

"Ta—"

"Udah ya, Pak. Saya mau naik itu." Aku menunjuk benda bulat dengan kotak yang menggantung di depan kami dan berlari menyusul adikku.

Aku masuk ke dalam kincir ria beberapa saat sebelum mesinnya kembali dinyalakan. Untung saja masih sempat.

"Rumah kita keliatan gak ya dari sini?" tanya Melly saat kami berada di puncak.

"Rumah kita kejauhan. Kalau mau kelihatan, naiknya kincir pasar malam di Desa sebelah." Aku membalas.

"Iya, sih. Padahal kincir ini udah tinggi banget, ya."

Setelah puas bermain, Melly izin pergi ke toilet. Ada panggilan alam, katanya. Tapi, hampir satu jam aku menunggu, gadis itu tidak kembali. Setelah aku cek, tidak ada siapapun di toilet dan di bagian taman lainnya. Kejadian ini langsung kulaporkan ke pihak yang berwenang karena aku tidak dapat menghubunginya.

Kutunggu gadis itu hingga hari menjelang malam. Namun, dia tak kunjung kembali. Padahal, pengumuman kehilangan disiarkan setiap jam karena aku percaya Melly tidak akan pergi tanpa mengabariku terlebih dahulu.

"Taman akan tutup. Adikmu mungkin sudah pulang beberapa waktu lalu," ucap seorang penjaga yang tadi siang memperingatkanku.

"Jika tidak ada yang bisa dihubungi mungkin sebaiknya kamu cek rumahmu."

Belum sempat aku membalas ucapan pengawas yang lain, ponselku berdering. Kulihat, nama "Ibu" terpampang di layar. Segera aku menjawabnya.

Ibu tidak langsung berbicara, yang kudengar di awal adalah isakan yang membuat perasaanku tidak enak.

"Ra, kamu pulang, ya."

.

Baru beberapa jam lalu aku bermain dengan Melly, Ibu bilang gadis itu sudah pergi? Tidak mungkin! Aku tidak percaya sampai aku melihatnya sendiri---melihatnya ... dengan mataku sendiri.

Seorang gadis dengan rambut panjang terbaring di rumah duka. Wajahnya tenang seperti orang yang sedang tidur. Dia memang sedang tidur, kan? Di rumah yang salah!

Bukankah beberapa jam lalu dia masih bermain denganku? Kenapa dia ada di sini? Ini pasti bukan Melly. Pasti bukan. Karena dia sedang ada di Ibu Kota dan membutuhkan bejam-jam untuk sampai ke rumah.

Ibu menggenggam tanganku erat, lalu mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. "Kemarin Melly bilang mau kasih kamu kejutan ...."

Dalam perjalanan menuju kos-ku untuk memberi kejutan, sebuah mobil dengan rem blong melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak halte tempat Melly menunggu. Ia dan si pengendara mengalami luka berat. Mereka sempat dirawat selama beberapa waktu sebelum akhirnya gadis itu pergi untuk selamanya.

Adikku meninggal pada hari di mana aku mengajaknya makan malam. Lalu, siapa yang kutemui saat itu? Apa perwujudan dari keinginan terakhirnya untuk bermain bersamaku seharian setelah sekian lama? Aku tidak tahu.

"Aku ingin kita main seharian!" kalimat yang diucapkan Melly dua hari lalu tiba-tiba terngiang di otakku.

Saat aku melamunkannya, Ibu memelukku. Detak jantungnya begitu terasa—sangat cepat.

"Kita akan mengantarkannya dengan tenang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top