Kabar Angin
Angin-angin dari lembah utara kadangkala mampir sejenak untuk bercerita. Mereka suka sekali lelucon. Jika kau tidak mendengarnya dengan saksama, ceritanya akan terdengar berbeda. Angin musim datang jarang-jarang, tapi mereka selalu memiliki lebih banyak cerita dari angin mana pun yang pernah kutemui. Mereka pernah bercerita tentang benua-benua di seberang lautan serta negeri antah-berantah yang namanya belum pernah kudengar. Selepasnya mereka akan memberitahuku untuk hati-hati dengan hari hujan yang akan diramaikan oleh angin-angin badai berisik.
Ada angin yang suka lalu lalang dan menyapa saja, tidak mau bercerita atau malah memberiku kabar-kabar tidak penting yang lebih tidak ingin kudengar sama sekali. Tapi angin-angin sebenarnya lebih enak diajak mengobrol ketimbang orang dewasa yang selalu berpikir aku mengkhayal.
Bahkan, mengobrol dengan Cinder—saudara laki-laki yang lebih tua sepuluh menit dariku—tidak serta merta membuatku terhibur. Terlebih jika ia sudah bicara seperti ini, "Tukang bual! Dari mana kau tahu sore ini bakal hujan? Lihat, mataharinya memanggangmu sampai matang!"
Aku biasanya akan merengut melihatnya menoel-noel lenganku yang berwarna lebih gelap. Barangkali sebab terlalu asyik berada di luar untuk bercengkerama dengan angin yang tersangkut pada dahan pohon di pelataran rumah.
Sudah lama sekali sejak kudengar suaranya yang lebih menjengkelkan ketimbang angin badai itu. Kiranya sejak ia pergi dengan Paman ke ibu kota, mengenyam pendidikan lebih tinggi daripada yang bisa anak perempuan macam diriku dapatkan. Angin-angin dari timur mengatakan dirinya sehat-sehat saja, bahkan hidup lebih makmur ketimbang hidup di desa terpencil ini. Aku iri, sungguh demi apa pun yang dapat kumiliki. Barangkali kedengkian yang bertumpuk itu turut memupuk kebencianku terhadapnya.
Kali pertama Cinder kembali, ia membawakanku sebuah kotak perhiasan berlapis beledu dan manik-manik mirah delima. Katanya, "Aku tak tahu apa yang kausuka, tapi itu populer di kalangan gadis-gadis ibu kota akhir-akhir ini."
Kulempar kotak itu melewati pucuk kepalanya dan berakhir menghantam diding kayu rumah hingga engselnya terlepas. "Apa aku tampak seperti gadis ibu kota?"
Aku marah selepas mendengar para angin bercerita tentang apa-apa saja hal baik yang dialami saudara laki-lakiku di ibu kota. Itu bagus, tapi lama kelamaan membuat hati kecilku meradang. Di desa ini, terlahir sebagai anak perempuan adalah sebuah penyesalan. Tinggal menetap dan membusuk di dalamnya bukan sebuah pilihan bagus, setidaknya bagiku yang terlalu banyak berangan. Padahal Cinder dan aku cuma saja terpaut sepuluh menit, tapi segalanya terlalu berbeda bagi masing-masing dari kami.
Kudiamkan Cinder selama ia berada di rumah. Ia tidak bersikeras mengajakku berbicara dan malah memperbaiki kotak perhiasan lalu ditaruhnya di atas nakas kamarku tanpa banyak bicara. Tiga hari kemudian dia berpamitan padaku dari celah pintu. Angin mengabarkan dirinya dijemput kereta kuda sewaan pagi-pagi sekali dan berlalu dari desa kecil kami. Pergi untuk kembali enam bulan selepasnya. Kekukuhannya membawakanku hadiah-hadiah masih tetap sama sejauh ketidakpedulianku. Dan mungkin seterusnya akan begitu.
"Lebih bagus lagi kalau ia membawaku ke ibu kota alih-alih membawa kepingan ibu kota padaku." Aku menggerutu sembari memperbaiki benang yang kusut dalam sulamanku. Benangnya berwarna merah terang dan berkelip-kelip dengan bubuk mutiara. Hadiah dari Cinder yang tidak kuingat lagi pada kepulangannya yang keberapa.
Kudengar dari angin yang singgah bawa kereta sewaan Cinder tiba di pintu masuk hutan, seminggu lebih awal daripada tanggal seharusnya. Petang nanti ia akan tiba di desa, pikirku. Selepasnya angin-angin yang lewat hanya mengabarkanku bahwa hujan deras turun malam nanti, sebagian lagi iseng menceritakan kelahiran kerbau atau sepatu baru Bibi Seli. Aku tak membutuhkan berita macam itu. Sungguh.
Malamnya hujan benar-benar turun seperti tengah mengamuk pada atap rumah, bahkan guntur tak henti-hentinya bersahutan. Malam semakin meninggi, tapi tak ada tanda-tanda kerata kuda tiba di pelataran rumah. Aku menyingkap tirai jendela dengan resah, mendengar riuh angin yang menyapu derai hujan, nyaris brutal.
Ketukan berulang di jendela yang membuatku tak nyaman dari semuanya. Kubuka daunnya lebar-lebar dan disambutlah aku dengan hembus angin beserta guyuran air hujan. Aku gelagapan mengusap wajah, separuh menggigil.
Hutan ... kereta ... Celaka ...
Suara angin yang sama tak jelasnya dengan bisikan dari kejauhan memasuki pendengaranku. Aku mengernyit. Angin dari hutan, pikirku. Angin yang biasanya selalu terbungkam atau berbisik-bisik dalam nada-nada aneh yang terlalu menyeramkan untuk mau kudengar. Aku lebih banyak tidak mendengarkan mereka ketimbang angin badai. Tapi kali itu rasanya ada yang tidak beres.
Hutan ... kereta ... Celaka ...
Bisikannya yang terpenggal-penggal kembali terdengar dan satu nama muncul di benakku. Cinder! Aku berlari ke kamar Ibu tanpa menutup jendela. Teriakanku nyaris histeris, membangunkan Ibu dengan keterkejutan. "Ibu! Cinder ... sesuatu terjadi padanya!"
"Csilla, tenang dan katakan pelan-pelan." Ibu menepuk-nepuk bahuku dan memintaku duduk. Ia tampaknya cukup tidak senang tidurnya diinterupsi.
"Sesuatu terjadi pada kereta yang ditumpangi Cinder! Dia seharusnya tiba petang tadi."
"Nak, tampaknya kau mengalami mimpi buruk," katanya menahan desahan, "Cinder baru kembali seminggu lagi."
"Tapi, Bu, anginnya—"
"Csilla! Ibu mengingatkanmu untuk tidak bicara dengan angin lagi. Kembali ke kamarmu!" Ibu akhirnya meninggikan suaranya. Seperti bagaimana reaksinya selalu sama jika aku membicarakan tentang apa yang dikatakan angin. Semua orang memanggilku gadis gila yang berbicara dengan angin! Terjebak dalam khayal anak-anak bahkan selepas menjadi remaja.
"Ibu ...." Aku memelas, tapi Ibu tampaknya tak ingin dengar lebih banyak.
Aku kembali ke kamar dan masih diresahkan oleh bisikan angin hutan yang kabur ditelan hujan. kugigit bibir, duduk dan berpikir lama sementara jendelaku masih terbuka lebar bagi hujan untuk membuat tirainya basah kuyup. Lalu cepat-cepat beranjak. Kuambil mantel hujan serta lentera, sebelum melompat dari jendela dan berteriak, "Bimbing aku!"
Kudengar angin hutan menyahut dengan suara-suara lirih, Kemari ... di sini ... Mendengarnya, aku menggigil. Kakiku tetap saja melangkah, semakin jauh ke dalam hutan bersama lentera yang tak cukup terang untuk memandu jalan. Tanah hutan licin di bawah sol sepatuku, tak jarang membuat nyaris terpeleset atau malah menjebak dalam kubangan lumpur. Aku merutuk, menyumpah sepanjang dentuman di dada dan perasaan menggeliat di perutku. Rasanya mirip seperti tengah berusaha menggapai kesia-siaan. Sial!
Suara-suara angin yang memanduku juga semakin sulit di tengah semburan hutan. Dan tampaknya aku menjadi gadis yang cukup gila untuk menerobos hutan sementara hujan turun dengan lebat di tengah malam. Pikiranku kacau sekali. Tak sadar seberapa lama kakiku sudah menjamah tanah hutan atau seberapa jauh waktu telah berlalu.
Tirai hujan mulai menipis. Aku terengah menyandarkan sabelah bahuku pada batang pohon pinus. Sayup-sayup, rona merah tampak di langit timur. Aku mendongak, memandanginya cukup lama sampai kusadari fajar betul-betul sudah datang. Sementara aku belum mencapai Cinder atau sekiranya mengetahui apa yang terjadi padanya.
Ke sini ... ke sini ....
Gigiku bergemeretak, aku tak bisa menahan diri untuk menyumpah. "Katakan dengan jelas, angin-angin sialan! Kalian mencoba membawaku ke mana!?"
Namun, jawaban yang datang masih serupa bisikan yang terputus-putus dan diulang-ulang.
Aku lelah. Tubuhku merosot, berkat lututku yang tak punya tenaga lagi untuk menopangnya. Aku baru saja menyadari tubuhku basah kuyup meski memakai mantel hujan. Jari-jariku membiru dan berkerut, seperti tangan orang tua. Gigilanku tak tertahan. Aku tak pernah sadar ke mana aku melangkah atau sejauh apa. Angin-angin hutan betul-betul menyeretku dalam ketidaksadaran!
"Csilla. Itu kau?"
Sontak wajahku menegak mendengar suara familier itu. Seorang pemuda berambut tembaga berdiri tak jauh dariku. Tubuhnya terbalut mantel bulu dan sepatu bot bersol tinggi. Dijinjingnya serta sebuah koper kulit cokelat tua. Ia menatapku dengan alis tertaut, sama herannya dengan diriku sendiri.
"Cinder kau sialan!"
"Kenapa kau menyumpah padaku?!"
Aku beranjak dan menggapai kerahnya sembari melotot. Kami saling menatap untuk beberapa waktu, sebelum tangisku pecah dan keheran di wajahnya kian dalam. "Aku membencimu, Cinder. Aku membencimu."
Berlawanan dengan kalimatku, aku mendekapnya. Memastikan bahwa dirinya masih hidup dan utuh. Dia jauh labih tinggi dariku dari terakhir kali aku menyadarinya. Aku sadar bahwa dirinya dewasa lebih cepat di tempat yang jauh dari rumah, meninggalkanku—yang seperti orang bilang—tenggelam dalam khayal anak-anak. Dia seperti orang yang kukenal dan tidak dalam waktu yang bersamaan.
"Hei ...." Cinder ragu-ragu membalas dekapanku. Aku merasakan lengannya dengan canggung menangkup tubuhku yang mungil. "Ada apa?"
Aku mendongak untuk melihat wajahnya. "Apa yang terjadi dengan keretamu?"
Dahi Cinder mengerut dalam. "Keretaku?" ia masih sama herannya seperti saat melihatku berjongkok sembari menyumpah di tengah hutan. "Ah, bagaimana kau tahu?"
"Jawab saja, astaga!"
Dia menepuk-nepuk bahuku. "Rodanya patah," katanya kemudian. "Dan kemudian aku menyadari aku menyewa sais yang tidak bisa memperbaiki kereta kudanya sendiri! Aku harus berjalan di sisa perjalanku sementara dia berkuda ke kota untuk mencari bantuan. Dan kau tahu apa yang paling sial? Hujan deras! Untungnya aku menemukan gubuk kosong dengan perapian kering untuk bertahan semalaman."
Aku merutuk, kali ini hanya kusimpan dalam hatiku. Sebaiknya aku berhenti mendengarkan angin-angin hutan sialan itu. Sejak awal memang benar untuk berpaling dari suara sayup-sayup yang kadangkala terdengar seperti buaian dari kegelapan hutan. Barangkali angin hutan membuatku berhalusinasi. Mereka mungkin saja memberi informasi, tapi isinya terpecah sampai-sampai membuatku salah paham.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini? Apa kau berjalan di hutan sepanjang malam untuk menyambutku? Oho, aku terharu."
Mendengar omong kosong Cinder, aku melototinya sinis. Aku berbalik dan berjalan duluan, sementara dia memanggil-manggilku menuntut jawaban. Aku membencinya. Sungguh. Tapi separuh diriku sendiri menolak pernyataan itu. Aku berusaha mencapainya dan berjalan dengan putus asa semalaman. Jantungku rasanya seperti diremas setiap berpikir suatu hal buruk terjadi padanya. Barangkali karena kami kembar? Atau sesuatu lebih dalam dari itu.
Aku menoleh padanya dan Cinder terhenyak. Tanganku menadah, lagi-lagi hanya disambut kerut-kerut di dahinya. "Berikan kotak musiknya."
"Hei! Bagaimana kau—"
"Angin."
Cinder merutuk dan merogoh sebuah kotak dari dari dalam kopernya. Kotak itu berwarna biru tua, dengan lekuk ukiran timbul yang tampaknya dipahat hati-hati. Angin dari timur mengatakan padaku beberapa pekan lalu, Cinder memilih hadiah untukku dan hati-hati, barangkali takut aku melemparnya ke dinding seperti hadiah pertamanya.
"Ini seharusnya jadi kejutan."
"Bodoh." Aku menerima kotak itu dan memainkannya di antara jari-jariku. Aku akan memainkannya begitu tiba di rumah. Ah, aku harap Ibu tidak tengah mengumpulkan warga desa untuk mencariku.
"Angin-angin sialan itu lagi, ya. Apa kau menguntitku?"
"Aku hanya mendengar apa yang mereka katakan."
Cinder merengut melihat ringisanku. Ia masih selalu sulit percaya, tapi nyatanya aku selalu punya lebih banyak pembuktian. Barangkali karena kami terhubung, dia selalu lebih dulu memercayaiku sebelum orang lain. Dia lebih memperhatikanku bahkan lebih daripada ibu kami. Dia pula yang berjanji untuk membawaku pergi dari kekang yang disebut rumah ini saat dirinya lebih dewasa. Aku akan selalu pulang. Setidaknya untukmu.
Benar. Aku tidak pernah membencinya. Aku membenci diriku sendiri yang tidak pernah bisa bersabar oleh kedengkian-kedengkian, oleh kisah-kisah yang dibawakan para angin, atau kepengapan dari pandangan aneh orang-orang desa terhadap gadis gila yang berbicara dengan angin. Aku merasa baik-baik saja saat Cinder kembali, saat ia berada di sisiku dan dapat kugenggam tangannya kapan saja.
"Aku kesepian." Aku bergumam di tengah menaggumi kotak musik di tanganku.
Cinder mendengarnya, lalu menyahut, "Aku di sini."
~FIN
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top