DIMANA SURGAKU
Sepasang suami istri akan selalu mendambakan hadirnya sang buah hati ke dunia ini untuk melengkapi hidup mereka. Seorang anak adalah investasi untuk akhirat kelak, jika mereka bisa mendidiknya di jalan yang benar. Namun berbeda dengan kelahiran Anyelir Rahayu, kelahirannya seperti membawa petaka, lahirnya dia ke dunia membuat kedua orang tuanya berpisah. Entah apa yang menyebabkan mereka memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tangganya. Lahir dari keluarga yang tidak sempurna membuat Anyelir tidak pernah mendapatkan sentuhan seorang Ibu. Setelah kata talak terucap dari bibir yang seharusnya membawanya ke surga, Ibunya pergi meninggalkannya ketika Anyelir masih dalam keadaan bayi merah. Takdir seolah sedang mengujinya sejak ia dilahirkan ke dunia.
"Abah, Umi kemana?" tanya Anyelir kepada abah.
"Umi pergi beli sayur, tunggulah sebentar," jawab Abah.
Abah dan Umi adalah orang tua angkat Anyelir, ketika orang tua kandungnya resmi berpisah, Ayahnya menitipkan Anyelir kepada Abah dan Umi. Anyelir sudah menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri. Tanpa segan Anyelir akan bersikap manja atau pun merengek ingin membeli mainan baru. Usia Abah dan Umi tidak lagi muda sekitaran empat puluh tahunan. Dengan sepenuhnya mereka merawat Anyelir dari bayi merah hingga sekarang menginjak usia tujuh tahun, tanpa pamrih, tanpa imbalan yang setimpal yang diberikan Ayah kandung Anyelir terhadapnya. Mereka dengan ikhlas dan penuh cinta merawat Anyelir. Cinta kasih mereka tidak perlu diragukan lagi, pernah suatu ketika Anyelir jatuh sakit, Umi menitikkan air matanya ketika ia tidak mampu membawanya ke rumah sakit untuk berobat, berharap Ayah kandungnya membawanya berobat, namun sayang Ayah kandungnya tak kunjung membawanya pergi ke rumah sakit untuk berobat, ia hanya memberikan sekantung obat dan setelah itu pergi lagi.
"Umi yakin Anyelir anak yang kuat cepat sehat, ya neng," lirih Umi dengan air mata yang terus mengalir.
Berbeda ketika adiknya Anyelir sakit, maka Ayahnya akan segera membawanya ke rumah sakit. Adik baru dari Ibu yang baru. Meskipun Ayahnya memiliki kehidupan layak tapi Anyelir sama sekali tidak pernah dibawa tinggal bersamanya. Kembali Umi menitikkan air matanya, ketika terlihat jelas perbedaan kasih sayang yang diberikan kepada Anyelir dibanding adiknya yang baru.
"Mudah-mudahn Gusti Allah selalu melindungi neng, dimudahkan segala rizki untuk neng," ujar Umi seraya membelai puncak kepala Anyelir penuh kasih.
Kehidupan berjalan normal Anyelir tinggal di keluarga Umi dan Abah, sesekali Ayahnya akan menjenguknya dan memberikan sedikit bekal uang kepada Umi dan Abah untuk keperluan Anyelir. Anyelir tidak pernah mengeluh dan bertanya kenapa Ayahnya hingga saat ini tidak membawanya tinggal bersama keluarga barunya. Begitu pun Ibu kandungnya entah dimana rimbanya, hingga saat ini Anyelir berusia tujuh tahun ia sama sekali belum pernah bertemu dengan Ibu yang telah melahirkannya.
"Mi, Ibunya neng itu sekarang ada dimana? Apa Umi tahu?" tanya Anyelir dengan wajah polosnya. Seketika Umi menghentikan usapan pada puncak kepala Anyelir, Umi sedikit tidak suka ketika Anyelir bertanya tentang Ibu kandungnya, Ibu yang tega meninggalkan anaknya ketika dalam keadaan bayi merah.
"Neng, sekarang waktunya tidur, ayo cepat gosok gigi sama cuci kaki," Anyelir turun dari kursi bergegas pergi ke kamar mandi, tanpa bertanya lebih jauh lagi soal Ibunya. Abah dan Umi tidak pernah menuntut ayahnya Anyelir akan selalu berkunjung ke rumahnya, tapi seharusnya ia sadar bahwa buah hatinya saat ini tinggal bersamanya.
"Bah, gendong neng ke kamar," rengek Anyelir manja, meskipun tidak lagi muda Abah akan selalu menggendong Anyelir ketika Anyelir merengek minta digendong. Terlihat dari jauh Anyelir nampak bahagia tinggal bersama Umi dan Abah. Namun kebahagiaan itu hanyalah semu, Umi menderita penyakit diabetes, sebisa mungkin Umi tidak akan memakan makanan yang mengandung kadar gula tinggi termasuk nasi putih. Tapi nasib berkata lain meskipun Umi sudah membatasi makanan yang mempunyai kadar gula berlebih Gusti Allah berkehendak lain, Gusti Allah lebih sayang Umi dibanding Anyelir. Anyelir kembali ditinggalkan oleh wanita yang selama ini menggantikan surganya.
"Bah, kenapa Umi nggak bangun-bangun? Umi ayo bangun sisir rambut neng, kalau Umi nggak bangun siapa yang akan sisir rambutnya neng?" keluh Anyelir dengan air mata yang sudah berurai deras di pipinya, Abah tidak bisa berbuat apa-apa, ia menggendong Anyelir karena jenazah Umi akan segera dimakamkan.
Semenjak kepergian Umi, Abah tidak bisa mengurus Anyelir sendirian, Abah seorang laki-laki ia pun butuh ada yang mengurusnya, pada akhirnya Abah menyerahkan kembali Anyelir pada Ayahnya, Anyelir seperti sebuah barang yang terombang-ambing di lautan lepas, entah nasib seperti apa yang sedang menunggunya di depan.
"Anyelir harus ikut Ayah, Anyelir tidak bisa lagi tinggal di sini bersama Abah, karena Umi sudah nggak ada, anyelir paham?" Seketika Anyelir mengangguk pelan dengan tatapan sayu menatap Abah yang berdiri di daun pintu.
"Kalau ada waktu main ke sini, rumah ini akan selalu menunggu kedatangan neng," ujar Abah seraya menggendong Anyelir membawanya ke mobil. Mobil berwarna hitam meninggalkan pekarangan rumah sederhana yang penuh dengan kenangan dirinya bersama Umi dan Abah, setitik cairan bening menetes ketika mobil yang membawanya semakin menjauh dari rumah yang penuh dengan cerita masa kecil Anyelir.
"Kita mau kemana, Yah?" tanya Anyelir.
"Kita ke rumah Nenek, mulai sekarang Anyelir akan tinggal bersama Nenek."
Anyelir tidak memprotes ia membiarkan Ayah membawanya sesuai dengan keinginannya, tanpa banyak tanya lagi, tanpa banyak kata Anyelir hanya menatap keluar jendela melihat pemandangan yang ada di luar. Mobil berwarna hitam itu kini sampai di halaman rumah klasik jaman dulu.
"Nah, mulai sekarang Ayelir tinggal di sini, jaga Nenek!"
Anyelir mengangguk seraya tersenyum simpul, terakhir kali ke rumah Nenek tahun lalu ketika hari raya Idul Fitri, Ayahnya mengajak berkunjung ke rumah Nenek, itu pun dengan Abah dan Umi ikut juga. Anyelir mendorong kopernya membawanya masuk ke dalam kamar, Nenek menyambutnya dengan suka cita karena mulai saat ini wanita tua renta itu ditemani cucunya, ia tidak lagi tinggal seorang diri hanya ditemani pembantunya kini ada Anyelir yang akan membuat hari-harinya lebih cerah.
"Anyelir malam ini tidur sama Nenek, tidak apa kan?"
"Tidak apa Nek."
Hari-hari Anyelir sama seperti layaknya anak-anak yang lain pergi ke sekolah, bermain dan juga sering menemani Nenek menyiram tanaman yang ada di halaman rumahnya, terkadang Anyelir yang menggantikan Nenek menyiram tanamannya.
"Nek, dulu waktu Ayah kecil Ayah juga tinggal di sini?"
"Iya tinggal di sini, memangnya menurut Anyelir tinggal dimana?"
"Kenapa sekarang Ayah tidak tinggal bersama kita Nek?"
Pertanyaan yang membuat nenek bungkam, Anyelir masih kecil masih terlalu dini untuk mengetahui alasan orang dewasa memilih untuk hidup bersama dengan pasangannya.
"Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan di kota oleh Ayah, untuk menafkahi Anyelir dan juga Adiknya Anyelir."
Nenek hanya bisa menjawab pertanyaan Anyelir seadanya, membuat Anyelir tidak begitu merasa puas atas jawaban yang didapatkannya. Setahun tinggal bersama dengan nenek membuat Anyelir kembali melupakan sosok Ibu yang telah pergi meninggalkannya. Kehidupannya berjalan normal Anyelir tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang meskipun Ayahnya sangat jarang sekali mengunjunginya. Tapi kebahagiaan itu hanya berjalan setahun kembali Gusti Allah lebih menyayangi neneknya dibanding Anyelir, gadis kecil yang seharusnya mendapatkan penuh kasih sayang kini ia kembali terpuruk dalam kesedihan.
Ayahnya membawa Anyelir menginap di rumah bibinya, yakni adik kandungnya sendiri. Ia sengaja membawa Anyelir menginap di rumah adiknya agar Anyelir bisa terbiasa tinggal di sana. Tanpa curiga sedikit pun Ayahnya mulai pergi meninggalkannya di sana, ia hanya berpamitan pergi kerja hingga seminggu, sebulan bahkan berbulan-bulan. Anyelir mulai membiasakan diri tinggal bersama bibinya yang sama mempunyai putri seusianya, untuk pertama kalinya Anyelir mengeluh ketika melihat bibinya sedang menyuapi putrinya makan.
"Ibu ada dimana? Kenapa Ibu pergi?"
Anyelir sering merasa terintimidasi ketika tinggal bersama bibinya, ia sering kena omel bahkan bentakan selalu meluncur dari mulut bibinya.
"Kamu itu di sini cuma numpang, kalau habis makan piringnya dicuci. Ayah kamu memang keterlaluan sembarangan nitipin anak di sini, emangnya rumah ini tempat penitipan anak."
Kedua bola mata gadis kecil itu berembun, tapi ia dengan cepat menghapusnya agar bibinya tidak melihatnya. Kehidupannya terlalu banyak menyesakkan dada namun gadis kecil itu tidak pernah mengeluh kepada Gusti Allah atas nasib yang telah menimpanya. Beberapa bulan setelah Anyelir tinggal bersama dengan bibinya, suatu ketika di sore hari ketika langit sudah berwarna merah seorang wanita muda memakai sepatu heels, dres selutut berwarna merah dengan rambut panjang terurai berkunjung ke rumah dan kebetulan Anyelir yang membukakan pintunya.
"Apa kamu Anyelir?" tanyanya.
"Iya aku Anyelir," balas Anyelir seraya mengangguk pelan.
"P-putriku sayang, maafkan Ibu—" ucapnya dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, Anyelir membatu, aliran darah di dalam tubuhnya seolah berhenti, napasnya terasa tercekat, surganya kini ada di hadapannya, tapi mengapa hatinya merasa hampa, tidak merasakan debaran kerinduan. Di balik dinding bibinya sedang mengintip.
"Enak saja, ketika anak sudah besar baru dicari, pasti nanti ujungnya di suruh kerja dan bisa menghasilkan uang, dulu waktu masih bayi situ kemana aja!" gumamnya.
bukannya menghampiri tapi ia malah diam dan mendengarkan percakapan seorang ibu dan anak yang baru saja bertemu untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama dengan mendengus kesal.
"Mulai sekarang tinggallah bersama Ibu!"
Anyelir membatu, tidak ada balasan dari mulut Anyelir, hatinya sedang berusaha menerima apakah benar wanita yang ada di hadapannya sekarang adalah wanita surganya?
"Ayo Anyelir ikutlah dengan Ibu!"
Anyelir menggelengkan kepalanya pelan menatap sendu wanita yang sedang berjongkok di hadapannya dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak matanya.
"M-maaf Bu, Anyelir tidak bisa meninggalkan Ayah, selama ini Ayah selalu ada untuk Anyelir meskipun dia sibuk bekerja dan juga keluarga barunya, tapi Ayah tidak pernah pergi meninggalkan Anyelir tanpa pamit."
Tiba-tiba saja dari luar terdengar suara rengekkan seorang balita, suaranya sangat nyaring terdengar di telinga, memanggil-manggil nama Ibu. Anyelir mengedarkan pandangannya mencari balita yang sedang menangis mungkin saja anak tetangga yang mencari Ibunya ke sini.
"Ade cari siapa?" tanya Anyelir ketika anak balita itu ada di hadapannya, wajahnya sangat menggemaskan, pipinya yang bulat, bibirnya yang mungil, rambutnya keriting sama seperti Anyelir.
"Ibu!" panggilnya seraya memeluk wanita yang baru saja mengajak Anyelir untuk tinggal bersama.
Anyelir menatap lekat seorang wanita dan anak balita yang ada di hadapannya. Bukan hanya dikejutkan dengan kedatangan Ibunya, tapi ia juga dikejutkan dengan kehadiran anak balita yang memanggil wanita itu dengan sebutan Ibu.
"Anyelir ini adik kamu sayang, lihat wajahnya mirip sekali sama kamu."
"Dia adik Anyelir?"
"Iya dia adik kamu sayang."
Sekian lama tidak bertemu dengan Ibunya dan kini Anyelir juga harus menerima kenyataan jika ia mempunyai adik baru. Anak balita itu tersenyum hangat kepada Anyelir, membuat hati Anyelir sedikit mencair, baru saja ia akan bersikap tidak acuh terhadapnya karena ia belum bisa menerima kehadirannya, tapi melihatnya tersenyum polos membuat Anyelir tersentuh, ia merengkuh anak balita itu ke dalam dekapannya.
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top