Di Bawah Langit Orioya, Kita Bertemu dan Berpisah

Hari itu, langit berwarna biru cerah. Tanpa awan, tanpa pula burung-burung yang beterbangan di atas sana. Angin sejuk berembus pelan, meniupkan berbagai aroma dan benda-benda mengikuti ke mana sang bayu membawanya. Suara simfoni serangga, melengkapi hari tersebut seolah menebarkan keceriaan. Ombak-ombak berdebur tenang. Pasirnya yang putih seakan memberi warna kedamaian. Rasanya seperti berada di dunia dongeng. Namun, tidak demikian. Kenyataannya, para penduduk di kota pinggir laut bernama Orioya ini diliputi ketakutan dan kekhawatiran. Bukan kutukan yang melanda, bukan pula penyakit yang bertamu, bahkan bukan kemiskinan yang menyelimuti penduduknya, melainkan deklarasi perang yang berkumandang tiga minggu lalu. Akibatnya, penduduk kota Orioya yang merantau, harus kembali ke kota mereka, sebab letaknya sangat jauh dari medan perang. Akan tetapi, satu hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan, kepergian anggota keluarga mereka menghadapi kejamnya medan perang. Hal ini juga yang dirasakan oleh Garneshia.

Kereta kuda sewaan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah tingkat dua bercat putih dengan dihiasi bunga-bunga dalam pot berbentuk persegi panjang. Rumah tersebut dikelilingi pagar batu setinggi 100 sentimeter, dan jalan setapak dari bebatuan kotak terhampar dari gerbang pagar sampai teras rumah. Melihat bangunan di hadapannya, Garneshia tersenyum senang. Sudah lama sekali ia tak mengunjungi rumah putih yang menjadi saksi akan masa kecilnya. Semenjak tiga tahun lalu ia merantau ke utara negara, demi melanjutkan studinya, ia benar-benar rindu akan kehangatan rumah tersebut.

Sesudah membayar tarif, dengan langkah riang Garneshia menuju rumah. Dua tangannya sibuk menenteng koper, tetapi tak menyulitkannya ketika ia membuka pagar. Pintu kayu biru dengan karangan bunga mawar berbentuk lingkaran di tengahnya kini berada di hadapan perempuan itu. Sebelum benar-benar mengetuk pintu, Garneshia merapikan sejenak pakaiannya. Memastikan tidak ada bagian yang kusut. Setelah dirasa sudah rapi, tangannya hendak mengetuk pintu, tetapi diurungkan saat benda tersebut terbuka. Sosok pria paruh abad muncul di sana dengan wajah terkejut.

Tak ada yang mengira jika Garneshia akan pulang hari itu, tentu saja karena tadinya ia hanya ingin memberikan kejutan pada keluarganya. Namun, setelah melepas rindu pada orang tuanya, perempuan dengan rambut pirang gelap tersebut menyadari seseorang tidak ada di rumah. Seusai menanyakan keberadaan sosok yang ia cari, dengan langkah cepat Garneshia meninggalkan rumah. Sambil mengangkat rok biru tuanya yang sepanjang betis itu, lantas ia berlari. Katanya, sosok yang dicari Garneshia pergi ke pinggir pantai untuk pamitan dengan seseorang.

~o0o~

Pinggir pantai kota Orioya tak seramai hari libur atau akhir pekan. Di sana suara deburan ombak, burung-burung camar, dan kapal laut yang mendekat ke dermaga tak jauh dari posisi Garneshia, terdengar seakan saling bersahutan. Bak nyanyian khas pantai. Jalan raya yang dekat dengan pantai juga trotoarnya menjadi tempat perhentian perempuan berambut pirang gelap. Netra biru lautnya bergerak mencari-cari sosok yang amat ia rindukan.

Akhirnya, mata Garneshia terpaku pada dua sosok manusia yang berjalan pelan di atas hamparan pasir putih. Senyuman yang terlukis di wajahnya mendadak pudar kala mengingat sesuatu. Rasanya, Garneshia ingin merutuki kenyataan pahit.

Ditatapnya lama dua sosok manusia itu. Tak ada keinginan untuk bergerak meghampiri mereka, tetapi di dalam benaknya justru berkata sebaliknya. Lantas, Garneshia membalikkan badan, menghadap jalanan yang tidak terlalu ramai seraya menghela napas. Ia mempertimbangkan untuk menghampiri mereka, dan mencari tahu seperti apa reaksi keduanya. Mereka tidak tahu Garneshia pulang, mungkin saja mengira terjebak di perantauan akibat perang di utara.

Akhirnya, setelah mantap memilih keputusan, perempuan dengan surai pirang gelap memutar tubuh. Iris biru lautnya melihat ke arah hamparan pantai putih di bawah sana. alangkah terkejutnya ia bahwa sekarang hanya ada satu sosok yang berdiri memandangi laut. Sosok pria muda dengan warna rambut serupa dirinya. Sosok yang ia rindukan selama di perantauan, dan menjadi tempat saling bertukar surat. Tanpa pikir panjang, Garneshia langsung berlari menuruni tangga menuju hamparan pasir putih.

"Eleazar?!" pekik si perempuan.

Kini, di hadapannya, berdiri Eleazar dengan ekspresi terkejut. Warna mata pria itu sama seperti milik Garneshia. Bak pinang dibelah dua. Kedua wajah manusia itu benar-benar serupa. Orang-orang akan salah mengira kalau mereka kembar, sebab keduanya tidak kembar. Kakak beradik itu hanya terpaut empat tahun, dan tentu saja Eleazar yang lebih tua.

"Nesi, kau kembali? Kukira kau terjebak di utara," ujar Eleazar diiringi tawa pelan.

Garneshia memukul pelan lengan sang kakak. "Jahat sekali. Apa kau tidak merindukanku kalau aku tidak kembali?"

Senyum yang terlukis di wajah pria muda itu luntur, sorot matanya terlihat sedih. "Aku merindukanmu," ucapnya pelan.

Garneshia tahu, kepulangannya ke Orioya memang membawa kebahagian untuk keluarganya yang sudah lama tak bertemu, terutama Eleazar yang terus-terusan menyurati kalau perempuan itu harus pulang. Katanya, ia harus ingat rumah. Di sisi lain, perempuan itu beruntung masih bisa bertemu saudaranya, meskipun ia tahu tak lama lagi mereka akan berpisah.

"Aku tepat waktu bukan?" kata Garneshia. Kali ini nadanya terdengar bergetar.

"Hah?"

Garneshia memalingkan wajah, menatap pemandangan laut di depannya. "Kudengar, kau akan pergi besok. Entah kapan lagi kita bisa bertemu?"

"Hmm, jarang sekali kulihat kau tak semangat begitu," pungkas Eleazar yang masih memperhatikan wajah adiknya.

"Ya memang," jawab Garneshia sembari menoleh. Mata biru laut itu menatap lekat iris biru laut kakaknya. "Kenapa saat aku kembali justru kau yang pergi?"

"Nesi ...."

"Jangan pergi, Eleazar."

Eleazar mengembuskan napas keras. Ia mengerti maksud perkataan sang adik. Garneshia baru saja kembali setelah tiga tahun lamanya merantau, dan mereka hanya bisa saling mengirim surat demi bertukar kabar. Kini, perempuan itu ada di hadapannya, sang adik yang ia rindukan telah kembali. Namun, kenyataan begitu kejam, sebab giliran Eleazar yang harus pergi. Seakan takdir tak suka melihat kakak adik itu menghabiskan waktu bersama lebih lama.

"Sebenarnya ... aku juga tak mau pergi," ujar si pria sambil mengalihkan pandangan.

"Ya memang seharusnya kau tidak usah pergi saja. Kalau kau pergi, siapa yang bisa jadi sasaran jahilku?"

Sontak saja Eleazar membelalak, kemudian tertawa. Tak menyangka jawaban sang adik di luar ekspetasinya. Walau begitu, ia tetap percaya bahwa sebenarnya ada hal lain yang disembunyikan Garneshia di balik senyuman jahil. Si perempuan khawatir, perang bukan permainan anak-anak yang jika kalah, maka hukumannya beragam. Bisa saja mentraktir anak-anak lain, dilarang bermain sampai selesai, atau malah bertengkar. Tidak, semua orang tahu jika kalah di perang, maka nyawa jadi taruhannya.

"Seandainya aku punya sihir, aku ingin mengubahmu menjadi wanita tua supaya kau tidak pergi besok," imbuh Garneshia dengan senyum di wajah, tetapi mata menyiratkan kesedihan.

"Tidak, terima kasih. Kenapa aku harus jadi wanita tua, sih? Kau bisa mengubahku jadi anak-anak saja."

Garneshia menggeleng, lalu menjawab, "Kalau kau jadi anak-anak, lalu perang tak berakhir, tetap saja saat kau 19 tahun akan pergi perang juga. Kau ini tidak sayang adik, ya?"

Eleazar tertawa lagi sebelum berucap, "Kalau begitu, gunakan sihirmu untuk mengakhiri perang. Setidaknya itu lebih baik."

Mereka berdua berjalan menyusuri pantai, sesekali si perempuan memungut kerang yang ia temui dan melemparnya ke arah sang kakak. Keduanya, meski memiliki tubuh dewasa, terkadang mereka akan bertingkah seperti anak-anak saat bersama. Garneshia dan Eleazar menyadari itu, tetapi menikmati kekonyolan dan candaan bersama setidaknya mengingatkan mereka akan masa kecil.

Tiba-tiba, kala keduanya hendak memungut kerang, ide muncul di kepala si pria. "Nesi, kau tahu aku tidak bisa menolak untuk tidak pergi. Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhirku menghabiskan waktu bersamamu. Nah, sekalian saja, bagaimana kalau kita menyusuri kota? Melakukan semua hal yang pernah kita lakukan sewaktu kecil untuk acara—anggap saja—melepas rindu?"

Garneshia tak lekas menjawab, justru ia terkejut dengan usulan kakaknya. Namun, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya dengan anggukan kepala, Eleazar sudah paham bahwa si perempuan setuju.

Siang itu hingga larut malam, kakak beradik tersebut menghabiskan waktunya menyusuri kota. Menikmati buku, membeli makanan, bertukar cerita, dan segala aktivitas lainnya. Bagi keduanya, hari itu bukan hanya sekadar melepaskan rindu, tetapi menjadi kenangan yang akan terpatri di memori. Angin, langit, dan seluruh kota menjadi saksi bisunya. Jejak-jejak mereka berdua yang tertinggal di sana, akan tetap membekas dan sebagai pengingat kenangan. Sebab, semenjak kepergian Eleazar ke medan perang hingga detik ketika kisah ini dituliskan, Garneshia tak pernah lagi melihat sosok kakaknya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top