Cinta Segitiga


Kamu sedang jalan-jalan saat sebuah nomor tak dikenal menghiasi layar beserta sembilan bentuk bulat yang hanya dua yang bisa kaupahami; bulat hijau untuk menerima telepon dan merah untuk menolak panggilan. Ujung nomor itu mengingatkanmu akan tanggal lahir kakakmu yang sekarang berada di penjara isolasi karena sebuah kasus menjerat yang sangat tidak mungkin dilakukan manusia normal. Kamu tidak ingin menjawab, sebelum teringat seorang yang kemarin berjanji akan lekas meneleponmu jika lamaran pekerjaanmu diterima. Kamu mengangkat, mengucapkan, "Halo." Jawaban di seberang bukan orang yang berjanji, melainkan orang yang nomor akhir teleponnya sama dengan tanggal lahir saudaramu. "Hai."

Kamu memang merindukan kakakmu, tapi jangan sekarang ini saat kamu diberi kesempatan menemuinya di luar penjara. Kamu bukan tipe yang memercayai seratus persen saudaramu itu terlebih setelah dia melakukan perbuatan yang kelewat batas wajar pada perempuan yang kaucintai.

Kaudengar dia kabur setelah 3 tahun mendekam, semuanya akan rumit. Tadi saat menelepon, dia telah memberitahumu lokasi untuk bertemu, tapi kamu tak mau ke sana. Kamu memilih berdiam di rumah. Terserah dia akan datang ke sana atau tetap menunggu di tempat yang ia janjikan.

Kamu memperhatikan musim yang mulai berganti. Badai petir hampir setiap malam. Seperti malam ini, kamu duduk di atas kasur yang dekat dengan jendela, memperhatikan butiran hujan merosot jatuh di kaca. Jam 11, tapi kamu tak berniat tidur. Kamu tidak lelah, juga tidak mengantuk. Jadi, kauputuskan untuk tetap terjaga sampai badai reda, entah kapan.

Hingga terdengar pintu kamar yang dibuka.

Kamu tinggal sendirian di rumah yang terletak di sebuah perumahan permai ini. Kamu jarang dapat tamu karena teman-temanmu merupakan orang yang sibuk. Sepupu-sepupumu juga tinggal jauh dari tempatmu.

Kamu sontak menoleh dengan bulu leher berdiri, menatap selidik benda itu, sebelum turun dari kasur dan mendekatinya. Kamu memegang kenop, membuka pintu lebih lebar, tak ada siapa pun. Mungkin faktor angin, batinmu. Kamu menutup pintu kamar dan kembali ke kasur.

Baru saja hendak ke kasur, kamu dikejutkan dengan jendela kamar yang dibuka. Tirai melayang-layang, beberapa bagiannya basah. Air hujan yang deras juga membasahi kasurmu yang kering dan hangat.

Kamu berlari panik, menutup jendela dan meraba-raba tirai serta kasur. Sialan! Bagaimana aku tidur nanti jika setengah bagiannya telah basah? Kasur kecil ini hanya cukup untukku. Tidak mungkin aku tidur di lantai.

Rupanya, kamu tetap bisa tidur di atas kasur karena seseorang menyekapmu dari belakang. Kamu memberontak keras dengan dua tangan digenggam seseorang. Tak menunggu lama, kamu jatuh 'tertidur' di kasur itu.

***

"Puas tidur?"

Kamu lekas membuka mata. Bangkit, bulir-bulir air di wajah merosot jatuh ke kasur. Dadamu naik-turun, napas berderu tak karuan. Kepala berdenyut, sesuatu mengalir dari hidung. Kamu menyentuhnya, mengendusnya, bau obat bius.

"Baik, jawabannya sudah ada."

Kamu lekas menoleh ke kanan, menemukan seseorang duduk di tepi kasur, bertelanjang dada. Beberapa bekas luka memanjang terpajang di punggung, rambutnya yang tergerai berusaha menutupi bekas luka itu. Melihatnya tak memakai baju membuatmu sadar kalau kamu tidak mengenakan atasan apa pun.

Kamu panik menutupi dadamu.

"APA YANG TELAH KAULAKUKAN, KAK REAN!" Kamu tak dapat menahan teriakanku.

Pria itu bergeming, hanya bersuara. "Jika kau mengingat apa yang kulakukan pada pacarmu, kau tidak akan bertanya."

Kamu melebarkan mata. Buru-buru kauperiksa leher, meraba-raba apakah ada bekas cupang. Setelahnya memeriksa celana, tidak ada tanda-tanda telah dilepas. "Aku serius," katamu. "Apa yang telah kaulakukan?" Rean menggerakkan kepala, menoleh hingga tampak satu sisi wajahnya. "Aku tidak ingin ini menjadi pertemuan yang hanya mempertanyakan apa yang telah kulakukan padamu. Aku datang ke sini bukan untuk itu."

"Lalu." Inilah yang kaubenci pada Rean, sejak dulu. Dia tidak pernah berbicara langsung ke inti, seakan waktu terus menoleransi keterlambatannya. "apa yang membawamu ke sini?"

Rean membuang napas. Ia menaikkan kedua kakinya di atas kasur, menghadapkan diri selaras dengan arah hadap dudukmu. "Aku merindukanmu, Dik."

Hatimu yang mulanya berdegup kencang karena bangun dalam keadaan telanjang dada, tenang dan menghangat. "Maaf karena tidak menjengukmu cukup lama. Kau tahu? Aku harus mencari pekerjaan lebih untuk membayar denda atas perbuatan biadabmu." Kamu membuang napas. "Syukurlah denda itu diringankan karena kau tidak terbukti melukai kemaluannya dengan gunting." Kamu ingat saat pacarmu ditemukan dalam keadaan dua tikaman di leher dan di dada, nadi leher putus yang mencuat, kemaluan terluka tak parah yang setelah diperiksa dilukai gunting. Saat itu, gunting dan kaca vas yang dipecahkan tengah dicurigai sebagai alat membunuh.

"Ya aku hanya membunuhnya, tidak sampai hati melukai kemaluannya meski aku ingin, tanpa gunting." Rean tersenyum. "Paham, 'kan? Melukai dengan milikku sendiri. Ah, jika saja dia bukan pacarmu, aku sudah akan menghamilinya." Dia tertawa. Kamu menatap datar, dengan tangan bergerak-gerak mencari keberadaan pisau lipat yang disembunyikan. Rean sedang pura-pura tak tahu kalau kamulah yang melakukan hal tersebut.

"Baik, pindah topik." Pandanganmu fokus saat kamu berhasil meraih pisau lipat dari bawah bantal. "Apa yang kauinginkan?"

Rean menoleh pelan. Matanya menatap nyalang, sama seperti mata saat kamu menyuruhnya menutupi kesalahanmu 3 tahun lalu. "Aku akan melakukan apa yang telah kaulakukan pada kekasihku." Wajahnya mendekat, kamu mengeluarkan pisah lipat dari sarungnya. "Akan kuberi kau waktu untuk mengakui diri, mulai dari sekarang. Jangan mencoba mengelak! Meski aku tak punya bukti untuk memenjarakanmu, aku bisa membuatmu tersiksa di luar sini. Jadi, jujurlah!"

Jarak antara wajahmu dan wajah Rean hanya beberapa sentimeter. Napasnya berhembus ritmis, mata tak dikedipkan. Dia benar-benar serius ingin membongkar kedokmu, padahal dia tahu kamu bukan lagi adik kecilnya yang bisa disuruh jujur untuk hal ini-itu. "Aku tidak mau dipenjara," katamu. Rean menjauhkan mukanya. Dia menatap sejenak ke arah lain sebelum berdecak. "Kau masih menyebalkan. Aku memberimu kepuasan batin karena bisa menghukum pacarmu itu dengan hukuman yang sama sekali tidak manusiawi, dengan aku mengaku sebagai pelaku—hingga buktinya keluar, menyatakan aku bukan pelakunya. Sekarang kau tidak ingin dipenjara?"

"Aku masih belum siap," jawabmu.

"Oh, benarkah?" Rean terkekeh. "Dasar jalang!" Secepat kilat, Rean meraih rambutmu dan menjabaknya. Refleks tangan yang memegang pisau lipat teracung, memberi peringatan. Jika Rean tidak sempat menghentikan tindakannya untuk melayangkan kekerasan kepadamu, matanya mungkin akan tertusuk ujung pisau.

"Licik," ucapnya dengan nada rendah, menatap sejenak pisau itu. "Aku sudah berkali-kali berkorban untukmu, mengiakan semua hal yang kaulakukan dengan aku sebagai pelaku, sekarang sudah lewat masa kontrak, kau tidak mau dipenjara? Rupanya kau ingin aku membujukmu dengan cara kasar."

"Kak Rean, aku tidak sengaja hari itu."

"Banyak sekali alasanmu." Rean sudah akan maju untuk menyakitimu saat kamu menempelkan ujung pisau ke lehernya, tepat di atas nadi yang dilapisi kulit. "Aku bisa melakukan hal yang sama pada Elzy saat ini juga, Kakak, padamu. Kumohon jangan buat aku melakukannya lagi."

"Terkadang aku menyesal membunuh Ibu sesuai keinginanmu." Tak peduli ada benda tajam di leher, Rean menarik rambut keritingmu ke bawah hingga kamu terbaring di atas kasur, dengan dia di atasmu Tanganmu ditahan di samping tubuh dengan tangannya yang lebar. Ujung rambutnya yang tajam menusuk mata yang membuatmu mengerang perih. "Kenapa aku tidak membunuhmu juga pada saat itu?" Rean merebut pisau lipatmu, secepat kamu mengedipkan mata. Ia menggigit pisau itu, menahan tanganmu dengan lutut, mencekikmu dengan tangannya. Satu tangannya menahan tanganmu yang lain, yang berusaha melepaskan diri agar bisa memberontak. Kamu mangap-mangap mengambil oksigen yang terasa menipis.

"Ka-Kakak ...."

"Aku tidak akan melepaskanmu lagi." Rean semakin kuat mencekik hingga nadi tangannya mencuat. Di bawahnya, kamu menggeliat-liat. Kamu tidak pernah menduga kalau seperti ini detik-detik kematian yang akan kauraih.

Namun, rupanya Tuhan masih menginginkanmu hidup. Pintu kamarmu didobrak, masuk orang-orang berseragam yang segera melayangkan peluru bius pada Rean. Kakak laki-lakimu itu terhuyung ke kanan, membentur keras jendela kaca sebelum merosot dengan pisau lipat lepas dari mulutnya. Tangannya meraba leher sambil mengerang, di mana di sana terdapat sebuah benda sejenis jarum menancap kuat. Kini ia tak memedulikanmu, maka kamu menjauh darinya dan turun dari kasur.

"Hei, Nona, tetaplah berdiri di sana!" Kamu tak menyadari kalau orang-orang berseragam itu juga sedang menodongkan pistol kepadamu. "Angkat tanganmu!" Kamu pun mengangkat tangan. Salah satu petugas menghampirimu dengan borgol di tangan.

Kamu sudah membaca keadaan, Rean pergi ke rumahmu agar polisi juga ke rumahmu. Kamu tak ingin dipenjara, kamu melawan dengan pisau lipat di tangan. Namun akhirnya tragis, kakimu ditembak, membuatmu berteriak dan terduduk menahan sakit. "Bawa dia!" Maka kamu di bawa oleh orang-orang itu, dengan Rean di belakang yang berjalan sempoyongan.

Keesokan harinya, kamu diberi kesempatan bertemu untuk yang terakhir kalinya dengan Rean. Kalian siap untuk ditembak mati karena terbukti bersalah; membunuh seorang wanita yang tidak tidak melakukan apa-apa yang serius pada kalian, melukai organ kelaminnya karena tidak suka ia dekat dengan orang lain, menggali kuburnya guna menjual jantungnya secara ilegal di pasar gelap untuk melunasi segala denda yang didapat. "Kau memenuhi janjimu, baguslah," kata Rean. Dia tersenyum, sedangkan kamu memasang wajah murung.

"Puas?" Pandanganmu datar dengan jantung berdegup kencang. Kamu tak bisa menebak kapan peluru akan bersarang di dada karena matamu dililit kain hitam tebal.

"Sangat puas," jawab Rean. "Aku bisa mati dengan tenang karena telah membuatmu mengaku kalau kaulah yang melakukannya."

Dor!

Kamu melompat. Kamu tak dapat bicara sejenak, memastikan apakah peluru sudah ada di dadamu atau belum. Ternyata tidak ada, itu berarti tembakannya pada Rean. "Kak Re?" Tidak ada sahutan. Habis sudah. Kamu yang selanjutnya.

Dor!

***

"Aku benar-benar tidak menjalin hubungan dengannya!"

Wanita blonde pirang itu mencium Rean, menyakinkan kalau ia tidak menjalin hubungan denganmu sekaligus berusaha meredakan amukannya. Di kamar kapal pecah itu, Rean bukannya tenang, malah semakin mengamuk dan mengambil vas kaca di atas sebuah nakas.

"Rean!"

"ENYAHLAH!"

Satu pukulan, vas hancur. Tanahnya berhamburan, bunga-bunganya jatuh bersama tangkai yang masih menyatu. Kepala Elzy terluka, darah keluar dari sana. Ia terduduk, mulai menangis. Rean mengambil serpihan kaca paling besar, mencengkeram leher Elzy dan menyandarkannya ke dinding. "MENGAKULAH!"

"YA! IYA! AKU MENJALIN HUBUNGAN DENGANNYA!" Elzy tak tahan. Ia akhirnya mengaku.

"Dengan siapa?" Rean menekan setiap kata-katanya dari tadi, membuat Elzy semakin enggan hendak jujur lebih banyak lagi. "Siapa, Elzy?"

Elzy tiba-tiba mengerang kesakitan, memegangi kepalanya. Rean tak menoleransi lagi keterlambatannya menjawab segala pertanyaan yang ia berikan. Maka lelaki itu mendorong kepala Elzy hingga menempel ke tembok, membuatnya mendongak, sebelum menghujamkan kaca vas pada lehernya.

Nadinya langsung putus. Elzy tak tertolong. Rean bangkit, membuang kaca di tangannya. Ia pergi ke luar kamar, pergi dari rumah Elzy, tanpa tahu adiknya, yaitu kamu telah menunggu lama di semak-belukar untuk melakukan hal yang sama pada Elzy, hanya saja sedikit tidak manusiawi.

Masuk ke dalam rumah, bau besi yang kuat telah tercium. Kamu masuk ke kamar Elzy, melihatnya bersandar tak bernyawa di kaki sebuah meja. Kamu melihat gunting di atas meja, meraihnya dengan tangan gemetar. Kamu mendekati kekasihmu itu dengan tatap ragu. Apakah ini hukuman yang cocok dengannya? Terlebih dia sudah tewas di tangan Rean?

Kamu mencintainya, tapi dia telah mengkhianatimu dengan menjalin cinta diam-diam dengan kakakmu. Kamu berlutut, meraih wajahnya yang mulai pucat. Kau mengecupnya dari dahi, hidung, turun ke bibir, lalu leher, menjilat segala darah yang menempel di wajahnya sebelum membuka segala bajunya. Matamu telah buta akan hasrat dan kemarahan. Maka tanpa pikir panjang, kamu mencabik tubuhnya dengan gunting di tangan sebelum menjadi gila: memotong kulit kemaluan pacarmu itu.

Setelah itu kamu pergi seakan semuanya tidak terjadi. Saat dibawa ke kantor polisi karena terbukti ikut serta pada pembunuhan Elzy, kamu berjanji akan masuk sendiri ke dalam penjara setelah berhasil melunasi segala denda akibat perbuatan Rean, Rean pun memercayai dan mengakui kalau ialah pelaku dari semua tindakanmu. Sayangnya, di luar penjara, kamu tanpa sadar menghabiskan uang itu untuk hal-hal yang tidak berguna. Rean nekat kabur dari jeruji besi untuk menagih janjimu akan uang denda itu. Dia sudah merasakan pengkhianatan dan akan membunuhmu jika saja ia lebih berpikir jeli akan tempat mengeksekusi. Jadinya, kalian mati bersama.

Mayat kalian dibereskan oleh petugas dengan darah yang masih tersisa. Kamu sempat bergerak sebentar, merasakan nyeri di dada akibat peluru; berusaha bertahan, hanya saja hasilnya tetap sama: tak bisa.

Pikiran konyol kalian yang saling memperebutkan satu wanita itu sudah menemukan penutup. Harap-harap kalian bisa berpikir dengan lebih baik jika ditakdirkan bereinkarnasi ke tubuh seseorang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top