Buldan Sukma


Langgam tersentak. Tersadar dia. Begitu hening dan pekat, tetapi matanya dapat menangkap kerangka kayu yang menyangga genting. Telinga pun masih menyerap derit dipan saat dia perlahan duduk. Lama dia terdiam sebelum beranjak ke bilik dekat dapur. Dalam gelap, bisa dilihat simbah di atas kasur. Telentang, masih tak bergerak. Enggan dia membangunkan, takut ditanya macam-macam dan simbah kembali kecewa. Simbah sudah lama pikun. Sudah lupa, kalau di rumah ini hanya ada mereka berdua.

Dalam pikiran simbah, mereka tinggal bertiga. Memang pernah kakak Langgam bersama. Bharep, namanya. Berbeda dengan Langgam yang kata simbok cetakan pas bapak mereka, Bharep merupakan duplikat simbok. Matanya belo. Rambutnya ikal acak-acakan. Hidungnya pesek. Pun tidak hanya mulut yang terus berkecumik kala dongkol, simbok turut mewarisi kegemaran sumpah serapah pada Bharep.

Meski sering Bharep mengumpat bahkan mencubit, Langgam tak pernah jera mengintil. Usia mereka terpaut delapan tahun, tetapi bagi Langgam Bharep adalah bapak mereka yang menurut kisah simbok, entah sudah mati atau punya istri lagi, merantau ke pulau orang dan tidak mungkin kembali. Ketika simbok akhirnya dilahap lahad, bukan ke simbah Langgam mengikis rindu melainkan pada Bharep. Bharep yang saban pagi membantu tetangga demi nasi, yang setiap siang pergi ke kebun-kebun orang mencari kayu bakar, dan kala Langgam jatuh, Bharep pula yang menggendong sekaligus membujuk agar reda tangisnya.

Dipikir lagi saat ini, meski masih menolak hati Langgam mengakui, benar keputusan Bharep pergi. Namun, apa Bharep semarah itu sampai tidak sekali pun menengok atau enggan sekadar mengirim berita lewat suara tetangga yang datang? Semakin direnungkan, bertambah pula rasa bersalah Langgam. Jika sore itu Langgam tidak memantik api, mungkin Bharep masih mau menjenguk barang sesaat. Langgam hanya tidak mampu menahan gejolak perasaan. Detak jantungnya jadi semakin cepat. Kala dilihatnya Bharep mengenakan celana kain hitam dan kaos putih, perutnya serasa diremas kuat. Seperti yang sudah-sudah, mungkin Bharep bakal kembali besok atau lusa. Tidak seperti biasa, Langgam memberanikan diri bertanya.

"Ada wayang di kelurahan sebelah." Bharep mulai sibuk menata rambut. Disisirnya rambut ikal itu ke belakang.

"Ikut, Kang."

Menggunakan alasan Langgam tidak bisa melek hingga dini hari, Bharep menolak secara tegas. Langgam masih bersikukuh. Setiap kali tatapannya menangkap gerak-gerik Bharep, hatinya semakin bergemuruh, mendorongnya untuk terus berani membujuk. Bharep tetap menolak bahkan membumbui alasan dengan kisah mistis. Sudah cukup setengah hari ini bersama, Bharep menambahkan. Langgam masih keras kepala. Mereka sudah seperti penjual dan pembeli yang sengit menawar, sementara simbah hanya memperhatikan sembari duduk di depan pintu bilik. Perdebatan itu mungkin sulit berhenti, kalau Bharep tidak membanting sisir dan mencaci maki. Seketika Langgam bungkam.

"Gam." Masih ketus Bharep memanggil.

Langgam mengusap mata. Tidak kuat menahan tangis. Denyut jantungnya masih menggila. Perutnya masih terasa diremas-remas.

"Ini, kan, sudah seperti biasa. Aku ke sana bukan buat main, tapi cari uang. Biar kamu sama simbah bisa makan. Kamu mau telur seperti kemarin, 'kan?"

Meski seharian kemarin dia berbicara soal telur rebus yang banyak, kali ini Langgam menggeleng. Dia mengiba agar Bharep di rumah atau turut serta membawanya. Langgam hanya mau bersama Bharep. Memang mengurus simbah bukan masalah besar, dia sudah terbiasa dengan bau pesing dan kotoran simbah. Namun, hari itu dia mau bersama Bharep. Bharep tetap tidak mengizinkan. Semakin menjadi Langgam meminta. Tidak hanya genggaman tangan yang kuat, Langgam juga mengungkit ucapan simbok yang menyuruh mereka agar selalu bersama. Kekukuhan inilah yang membuat Bharep semakin meledak. Bharep bersumpah serapah lagi dan ditimpali rentetan knalpot motor di luar. Bharep lekas beranjak. Langgam yang mulai meraung serta turut mengeluarkan ucapan kasar ditinggal tanpa sekali pun Bharep menoleh.

Langgam berkedip pelan. Kembali dia dari renungan. Duduk di lincak teras rumah sembari memikirkan yang sudah-sudah selalu membawa penyesalan untuknya. Biar begitu, masih ada rasa untung terselip di relung hati. Setidaknya, mungkin kini Bharep tengah hidup enak. Entah di kabupaten lain atau barang kali di kota. Mungkin juga sudah punya istri dan anak. Kemungkinan terakhir itu membuat Langgam meringis. Bukan karena iri, tetapi tidak bisa menghadiri pernikahan Bharep.

"Gam."

Langgam tersentak, lekas menyahut. Mbak Yun—tetangganya yang dulu kerap memberi Bharep pekerjaan—berdiri dengan berkacak pinggang.

"Lihat si Anton?"

Langgam menggeleng. Sambil berkomat-kamit Mbak Yun menjauh. Mendapati lagi pertanyaan Mbak Yun, Langgam menyadari waktu sudah banyak berlalu. Dia yakin yang lain juga tahu itu. Namun, mereka tidak bisa memastikan berapa tahun yang telah dihabiskan. Semua terlihat pekat dan terasa semakin pengap karena yang dinanti tak kunjung menyambangi. Hanya saja, bagi mereka yang merindu sulit untuk beranjak. Menghilangnya Mbak Yun dari jarak pandang, membuat Langgam masuk rumah. Kembali ditengoknya simbah yang masih belum berubah posisi. Dinaikinya lagi dipan dan rebahan. Dia akan terpejam sebentar dan kembali tersadar untuk menghadapi hal yang berulang. Menengok simbah, duduk di lincak, dan menjawab Mbak Yun.

Namun, baru mata tertutup Langgam terkinjat. Bukan decit dipan yang masuk telinga, tetapi derit pintu yang terbuka. Dalam pekat dia menangkap siluet. Berkali-kali mengusap mata, Langgam semakin yakin yang tengah berdiri di ambang pintu itu Bharep. Bharep sudah kembali. Kakaknya sudah pulang.

Bharep tidak mengharapkan satu pertemuan yang emosional. Dia yakin Langgam dan simbah tidak menunggu. Sudah lama dia di perantauan. Sejak kampung tertelan tanah, tak lagi dia ke sini. Banyak hal yang selalu disesali. Termasuk tangis Langgam sore itu. Dia hanya merasa Langgam semakin manja. Beralasan tabiat Langgam, ditolaknya firasat kuat yang menggelayut. Andai saja dia ikuti hati, paling tidak Langgam bisa lebih lama berada di sisi. Namun, apa dengan mengajak tetap bisa hidup? Menyatroni rumah seorang warga tentu bukan perkara mudah. Terlebih Langgam hanya tahu pekerjaannya halal. Maka, ketika pintu terbuka, pekat yang sudah menyebar sejak menutup mata tak dikiranya menampakkan sosok bocah yang ditinggal.

Bharep bisa merasakan getaran di sekujur badan. Langgam masihlah seperti dulu; bertubuh pendek dan berambut cepak. Bocah sepuluh tahun itu mendekat, makin kuat pula tubuh Bharep gemetar. Terakhir bertemu mereka berselisih. Meski setelah duduk di jok sempat Bharep berharap Langgam lari menyusul, tidak ada maaf yang terlontar bahkan setelah kampung mereka tertimbun tanah.

Hati Bharep tidak lagi mampu membendung gejolak yang datang, ketika hanya satu depa jarak mereka. Bharep lemas. Bersujud dia di hadapan Langgam. Ingin merengkuh si adik, tetapi sadar rupanya sekarang. Tubuhnya gosong. Satu matanya terbuka setengah, satu yang lain meleleh seperti separuh kepala dan tubuhnya. Dibanding Langgam yang bersih, Bharep tentu tak dikenali.

"Kang Bharep pulang."

Bharep mendongak. Masih enggan bertemu tatap dengan Langgam, tetapi Langgam yang ikut berlutut memeluk. Ditepuk punggungnya. Bisa dia hirup aroma tubuh si adik. Semakin bergumul perasaannya. Langgam tahu. Langgam masih mengenalinya.

"Maaf," terbata-bata diucapkan Bharep kata itu.

Langgam menangis. Setiap kali tersadar, memang yang diharap adalah Bharep. Namun, bukan kedatangan ini yang dia nanti. "Maaf. Maafkan aku juga, Kang."

Pelan-pelan Bharep melepas pelukan mereka. Dilihatnya wajah Langgam. Wajah itu selalu hadir di mimpinya. Kadang menampakkan senyum. Sering juga merintih dan menangis. Dan yang terakhir, dia ingat Langgam menyebut namanya; meminta ditemani.

"Kenapa kamu masih di sini?"

"Menunggu Kang Bharep berkunjung."

Tidak dapat menahan lagi, Bharep turut terisak. Dulu, sering dicubitnya Langgam. Diomeli sedemikian kasar. Bukan karena benci, tetapi itulah yang diserap dari simbok. Kini, semua yang pernah dilakukan menjadi sesal sepekat warna yang melingkupi mereka. Seharusnya, dia bisa lebih lembut. Semestinya, dia mampu melimpahkan kasih sayang. Toh, semasa dulu dia berjuang mati-matian untuk Langgam. Dan Langgam bahkan rela menunggunya.

Bharep menyentuh sebelah pipi Langgam yang putih. "Apa ada yang sakit?" ditanyai pelan si adik.

Langgam menyentuh lengan Bharep. Dielusnya lengan hangus itu. Dia menggeleng. Tidak sampai hati mengatakan bahwa selepas tangisnya hilang, dia tidak tertidur seperti biasa. Gerimis sudah menjadi rintik deras saat itu. Dia duduk di lincak teras, memperhatikan jalan kampung yang lenggang. Sekonyong-konyong Mbak Yun menghampiri, bertanya soal Anton. Lalu, wanita itu beranjak ke barat, ke sisi tebing curam. Tak lama, tebing itu runtuh. Bersama gemuruh petir, longsor melanda. Kontan, Langgam berdiri. Dilihatnya Mbak Yun berlari dan kemudian ditelan arus tanah. Gemetaran, dia berusaha masuk untuk membangunkan simbah. Namun, baru sampai ambang pintu, tubuhnya terdorong. Tidak hanya hantaman tanah dan bebatuan, badannya juga diremuk material rumah. Dia masih hidup di dalam gelungan tanah. Masih merintih dan memanggil Bharep dalam hati. Namun, Bharep tidak perlu tahu soal itu. Bharep tidak boleh menyesal lebih dari sekarang. Jadi, cukup paham bahwa dia tidur pulas setelah menangis.

"Kang Bharep selama ini ke mana? Apa sudah berkeluarga?"

Bharep menggeleng. Diceritakan pada Langgam, selepas bencana itu dia ikut salah satu temannya. Tinggal di lain desa dan memulai hidup sebagai pekerja lepas. Hingga dapat uang lumayan, dia hijrah ke kota. Pernah luntang-lantung, tetapi beruntung tak pernah sampai mencuri. Cukup itu yang dia ceritakan. Tidak tega dia berkisah sesudah habis modalnya, dijalani kembali apa yang dulu pernah ditinggal. Bergabung lagi dengan kawanan yang gemar menyatroni rumah dan sesekali menggesek motor.

"Aku kecelakaan. Hangus dalam bus." Begitu Bharep menutup cerita. Dia pulang karena kepergok dan dibakar.

Langgam memeluk Bharep lagi. "Keloni aku, Kang. Ceritakan yang Kang Bharep lihat di kota."

Ingin rasanya Bharep menggendong Langgam, tetapi fisik tidak lagi sempurna. Maka, diajaknya Langgam ke dipan; tempat dulu mereka berbagi mimpi. Langgam kembali rebahan bersama Bharep di sisi. Bharep menceritakan semua. Tentang gedung-gedung tinggi, kendaraan bermotor yang banyak, dan berbagai tempat wisata. Sementara Langgam mulai memejamkan mata, Bharep berharap rumah ini adalah tempat akhir mereka. Karena di sana mereka bisa bersama tanpa hisab dosa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top