Another Nightmare
Semacam ... peringatan untuk tidak membawanya keluar rumah, apalagi mempertemukannya dengan pacarku.
Aku cuma .... Yah, kau tahu. Iri.
Nyaris sepuluh tahun kami tidak bertemu, tahu-tahu penyakit hati malah menghampiriku. Maksudku, bukan karena kesuksesannya yang mampu membuat para tetangga berubah menjadi ular yang berisik, tetapi karena penampilannya. Bayangkan aktor tertampan berbicara denganmu langsung. Kupastikan kau bakalan jadi agar-agar sampai menguap.
Aku sudah tidak lagi melihat rambut hitamnya yang berantakan, atau kumpulan jerawat di kedua pipinya. Dia berhasil menendangku dari hati ibu—dan kuharap namaku masih tertempel di kartu keluarga. Yang lebih parahnya lagi, dia berbicara layaknya seorang pria pengisi suara iklan biskuit yang diidolakan ibu.
Untuk sementara aku menjadi onggokan furnitur murah di pojok rumah sementara keluarga berkumpul mengagumi barang mahal dari Paris.
"Eh .... Aku harus berbicara dengan Harjun." Dia melirikku, berusaha melepaskan diri dari jerat maut para tante. "Cuma berdua. Maaf, Tante. Ini gawat banget." Akhir katanya membuatku bergidik karena diucapkan dengan aksen Prancis yang menjijikkan.
Inginnya aku kabur, membiarkannya tertimbun dengan banyak pertanyaan ibu-ibu, tetapi hati kecilku yang bersih ini menentang otak jahatku. Lagi pula, kasihan juga melihatnya terus tersenyum dan mengeluarkan banyak jawaban, lebih-lebih lagi dia baru saja sampai. Padahal ini kesempatanku untuk membuat wajahnya keriput.
"Sepertinya aku harus menanyakannya lagi. Apa kabarmu?" Dia bertanya setelah berhasil menyeretku ke dalam mobilnya, jelas menunjukkan bahwa dia begitu lega setelah terbebas dari ibu-ibu yang cerewet.
"Baik. Baik. Sampai kapanpun aku bakalan baik." Aku menjaga suaraku agar tidak terdengar ketus, tetapi sepertinya aku gagal.
Meski begitu, dia tersenyum, mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah. Aku tidak punya pilihan. Kesampingkan rasa iri. Keluar dengan mobil bagus oke juga, apalagi dia menawarkan makan siang gratis.
Setelah bertahun-tahun lamanya, aku tidak tahu betapa kerennya dia di balik kemudi, atau saat ia membenarkan letak kacamatanya. Perubahan besar terjadi sampai aku sempat mengira dia membuang-buang uang untuk wajah mulusnya. Namun, kenyataan bahwa dia hidup di lingkungan yang berbeda denganku, juga tekanan yang mengharuskannya bertahan demi mencapai tujuan, sesuatu dalam diriku melunak.
"Berapa lama?" gumamku tanpa sadar.
Saat lampu di depan berubah merah, dia memelankan laju mobilnya dan berhenti. "Apanya?"
Aku meliriknya sekilas, tidak menjawab. Namun, aku tahu, dia masih menungguku membuka suara sampai lampu berubah menjadi hijau.
Kami tidak lagi berbicara walau sesuatu mendesak diriku untuk melontarkan sebuah pertanyaan. Hingga akhirnya aku menyerah. "Berapa lama?"
"Apanya?" Ada sedikit nada jengkel yang kudengar darinya.
"Tinggal di sini. Apa kau harus ke—"
"Kakak, Harjun," koreksinya seraya memutar kemudi untuk berbelok. "Seminggu. Cuma seminggu. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal lama-lama."
Aku hendak bertanya lagi, tetapi kuurungkan. Mengingat betapa waktu sudah mengubah segalanya, dan aku membenci itu. Aku sudah bukan lagi bocah yang suka menyusahkan kakaknya. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Kakak sudah punya kesibukannya sendiri, mengharuskannya meninggalkan rumah dalam waktu lama.
Lantaran aku membenci keheningan yang memuakkan ini dan sesuatu yang terus menghalangi benakku, tanpa sadar aku bertanya, "Apa ... apa kau—Kakak akan pulang lagi? Maksudku, mengunjungi rumah?" Aku tidak yakin dia bisa mendengar suaraku yang kecil, dan bising kemacetan menambah fokusnya ke jalanan.
Namun, saat ia ketahuan melirikku, kemudian pura-pura fokus ke jalanan, aku tahu bahwa dia sedang menghindari pertanyaanku barusan. Hal itu telah membuat perutku mulas. Apa memang pekerjaan itu lebih penting dari keluarganya? Bahkan dalam sepuluh tahun ini, dia hanya mengunjungi kami sekali.
"Bukannya ... dokter juga bisa kerja di sini?" Aku menatapnya saat mobil kembali melambat di lampu merah.
Dia tidak langsung menjawab. Barangkali otaknya memikirkan jawaban yang tepat untuk meyakinkanku. "Harjun .... Kita bicarakan ini nanti."
"Kenapa?" Aku sudah tak tahan. Perutku terlalu mulas untuk menunggu jawabannya.
Dia membuat gerakan cemas di kakinya, hampir kukira pedal gas itu akan membawaku pada kematian hanya karena rasa penasaranku. Hingga kemudian dia menghela napas berat. "Banyak sekali yang ingin kukatakan padamu—"
"Katakan saja." Aku mendesak.
"Tidak di sini. Terlalu berbahaya."
"Bahaya? Apa aku bakalan jadi brokoli kalau aku mendengarnya sekarang?" Aku terlalu kesal, tetapi dia malah mendengkus. "Apa, sih, memangnya? Kau mau ikut semacam organisasi yang mempertaruhkan nyawa—" Pedal gas yang mendadak aktif membuatku nyaris memuntahi dasbor mobilnya.
"Kita bicarakan ini nanti." Dia menegaskan seolah jika aku memaksa, kursi yang kududuki akan melontarkanku ke langit panas.
Namun, rasa penasaran dalam kepalaku tidak bisa diajak berdamai. Aku malah berceletuk, "Kau memang ikut organisasi berbahaya. Makanya kau bersikap seperti ini."
"Harjun ...." Suaranya berat.
"Jadi itu benar?" Harusnya aku diam.
Dia—maksudku, kakakku, memejamkan mata, nyaris membuatku membentaknya untuk fokus ke jalanan, kemudian embusan napasnya terdengar panjang. Hingga beberapa menit kemudian, dia menyerahkan ponselnya yang menyala padaku.
Aku yang tak tahu apa maksudnya, hendak bertanya, tetapi kuurungkan. Di layar, hanya tampilan artikel yang malas kubaca. Atau itu bukan artikel. Yang pasti, semuanya tulisan, tak ada gambar.
"Baca." Kakak mendesakku, dan mau tak mau aku mulai membacanya dengan malas.
Di paragraf awal, hanya penjelasan tentang apa itu dokter. Haduh ...! Sampai kapan aku harus membaca hal yang tak penting buat—
Otakku mulai fokus pada setiap kata. Seolah mobil ini melaju dengan kecepatan penuh, jantungku bergemuruh, dan benakku dipaksa menolak arti dari tulisan yang telah kubaca.
"Ibu ...." Suaraku tercekat di tenggorokan, nyaris melempar ponsel ke depan menembus kaca mobil. "Apa ibu sudah tahu?"
Lengang. Sempat aku mengira dia tidak mendengar suaraku yang kecil, hingga sesaat kemudian dia berkata, "Aku ingin kau yang mendengarnya lebih dulu."
Perutku serasa diaduk. "Kenapa?"
"Karena kau—"
"Kenapa kau harus pergi? Kau bisa menolaknya. Daripada begini, lebih baik di Paris saja."
Aku tidak masalah jika dia hanya mengunjungi kami sepuluh tahun sekali. Setidaknya, aku masih bisa mengobrol dengannya lewat ponsel, dan membiarkan ibu pamer ke tetangga pasal anaknya yang membanggakan. Namun, jika harus menerimanya pergi ke medan perang ... aku tidak bisa.
"Harjun, kau tahu ... ini impianku sejak dulu." Mobil melaju pelan, melewati tempat yang ingin kukunjungi bersamanya. "Aku pernah cerita tentang ini padamu."
Benakku berusaha menggali apa yang diucapkannya, tetapi otak mungilku gagal mengingatnya. "Tapi, kan, kau pergi saat usiaku tujuh tahun."
Dia kembali mengembuskan napas berat. "Ibu tahu. Maksudku, tentang impianku ini." Seharusnya dia tidak menyebut aksi bunuh dirinya dengan "impian". Kulihat tangannya menggenggam erat kemudi sampai memutih. "Ibu bilang, asalkan aku senang."
Bibirku mengkerut, ingin meludahi dasbor mobilnya. "Kau—kau senang?" Bagaimana bisa dia senang terjun ke medan perang sementara keluarganya menanti cemas di rumah?!
"Saat di mana kau mencintai pekerjaanmu, sesuatu dalam dirimu tidak bisa melepaskannya." Dia berbicara seolah kata-katanya bisa aku mengerti. Dia menatapku sebentar sebelum fokus ke jalanan. Aku bisa merasakan kelembutan dari balik kacamatanya, dan aku bersumpah matanya berkilau, nyaris menangis. "Ayah ... mencintai pekerjaannya—"
"Tapi tidak mencintai keluarganya. Itu sebabnya ayah pergi. Begitu?" Aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Dadaku bergemuruh setiap kali diingatkan tentang ayah. Pria tua yang pergi demi mempertahankan pekerjaannya, meninggalkan rumah yang selalu memberinya kehangatan. Aku bahkan sudah lupa seperti apa suara dan wajahnya saat tersenyum, atau belaiannya di puncak kepalaku. Sekarang, apa aku harus menerima saudaraku pergi dengan alasan yang sama?!
"Harjun .... Ayah memang pergi demi pekerjaannya. Tapi kau harus tahu bahwa ... ayah sangat mencintai keluarganya." Suaranya tersendat, padahal aku yakin sekali dia berusaha membuatnya untuk tetap tenang.
Namun, kenyataan bahwa ayah pergi meninggalkan keluarganya, kebencian dalam diriku tidak bisa dihempaskan begitu saja.
"Begitu pun denganku." Mobil melambat, dan ia melepaskan kacamatanya yang berembun, pura-pura menggaruk sudut matanya padahal aku tahu dia berusaha menghilangkan air matanya. "Aku sangat mencintai kalian. Tapi, Harjun ... ada begitu banyak orang yang membutuhkanku. Mereka menunggu, dengan harapan bisa bertahan."
Tanganku mengepal. Bagaimanapun dia menjelaskannya, dengan harapan aku luluh, kenyataan bahwa dia akan pergi seperti ayah, aku tetap tidak bisa menerimanya. Dia saudaraku satu-satunya. Sepuluh tahun sudah cukup bagiku untuk membencinya. Sekarang, saat aku mulai menginginkannya berada di sini, dia justru memukulku dengan keputusan bodohnya.
"Kau bahkan tidak tahu, apa kau bisa pulang. Benar, 'kan?" gumamku.
Dia tidak menjawab. Mungkin tidak mendengarnya, atau memang dia tidak tahu jawabannya. Namun, sesaat kemudian dia membuka mulutnya. "Kami sudah dilatih untuk bertahan di medan perang. Kami, para dokter juga dilindungi. Jadi, jangan khawatir. Aku pasti akan pulang."
Hal itu sama sekali tidak membuatku tenang. Tetap saja dia akan pergi ke tempat berbahaya. Akan lebih baik kalau ia menjadi sukarelawan di tempat terpencil di Afrika sana. Biarpun tidak digaji dan pergi selama bertahun-tahun, setidaknya dia jelas bisa kembali ke rumah.
"Kau jelas tidak peduli dengan keluargamu." Aku tidak tahan. Emosi telah menguasai diriku, tetapi aku berhasil menahan diri untuk tidak berteriak sambil mencakar wajahnya.
"Harjun—"
"Kalau kau benar-benar peduli—apa katamu tadi? Cinta? Kau jelas akan memilih kami." Gigiku bergemeletuk, kembali melanjutkan sebelum dia membuka suara. "Ada banyak pekerjaan lain sesuai profesimu yang bisa membuatmu dianggap pahlawan. Kenapa kau justru memilih itu? Apa kurang adrenalin?"
"Kau tidak tahu."
"Aku memang tidak tahu. Aku masih pelajar, tidak bisa membedakan hati dan jantung. Tapi aku tahu apa itu keluarga." Pada akhirnya aku berteriak. "Asal kau tahu saja. Ibu sering kali menangis setiap selesai mengobrol denganmu di telepon. Kau tahu apa katanya? Dia merindukanmu. Sangat merindukanmu. Dia berencana untuk mengunjungimu di Paris, tapi aku meyakinkannya bahwa kau pasti akan pulang dalam waktu dekat. Dan sekarang ... kau akan meninggalkannya? Membuatnya menangis, dengan harapan kau bisa pulang ...."
Dia terdiam, mencerna kalimat panjangku dengan tatapan kosong padahal mobil masih melaju di jalanan.
"Turunkan aku!"
"Kita belum selesai bicara, Harjun."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!" tegasku, melepas sabuk pengaman.
Namun, mobil masih saja melaju. Dia berpura-pura fokus pada jalanan, berusaha mengabaikanku.
"Kubilang, hentikan!" Aku tak diacuhkan. "Apa kau tidak mendengarku?! Kubilang—"
"Jangan bersikap kekanakan?!" bentaknya.
Tanganku terkepal. Amarah menjalar dari perut menuju dadaku. "Aku memang seperti itu. Makanya aku—"
"HARJUN?!"
Aku mematung, bukan karena bentakannya. Namun, karena sebuah mobil bus melaju ke arah kami dengan kecepatan tinggi—atau mobil kami yang melaju seperti setan.
Kuingat itu sebagai hari terakhirku berbicara dengannya—maksudku, kakakku. Sesuatu tak kasat mata telah menekan kepalaku. Lalu aku tak bisa merasakan keberadaan kaki, tangan, bahkan seluruh badanku. Aku mati rasa. Lantas, perasaan itu menjalar sampai kepalaku.
*****
Aku terengah-engah. Peluh di sekujur tubuh membasahi kain di bawahku, dan air mata telah menambah kelembaban di wajahku. Tak hanya itu, rasa sakit di dadaku semakin bertambah di setiap helaan napasnya. Kemudian, baru kusadari masker oksigen dan selang di tanganku telah menghambatku untuk duduk.
Aku terbaring di rumah sakit. Entah sudah berapa lama. Yang pasti, aku sudah lama di sini, bersama kenyataan bahwa ... aku telah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan juga ... kakakku benar-benar telah pergi.
Air mata kembali menuruni pipiku, berteriak walau suaraku tak terdengar keras. Sesuatu mengiris dadaku sampai rasanya jantungku akan putus—dan kuharap memang begitu.
Sepuluh tahun. Aku terus berharap untuk bisa bertemu dengannya. Mengobrol, bahkan memeluknya. Namun, semua harapan itu pupus setelah mendengar kabar bahwa: kakakku sudah gugur di medan perang.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top