Pertama Kali
Warning!! Typo dan kesalahan menyakitkan mata, mode nulis kesurupan :v harap maklum :(
Semoga Happy Reading :(
Liburan berlalu dengan cepat, hari ini aku sangat sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa besok. Ya, besok adalah hari pertama aku masuk ke pondok pesantren An-Nur. Sudah ada beberapa kardus yang akan besok di bawa, sungguh sangat melelahkan saat harus memilah beberapa barang yang akan dibawa.
"Baju panjang, rok, jilbab, seragam sekolah, tas, alat mandi, alat tulis, dan cemilan yang tidak boleh sampai tertinggal."
Aku melihat sekeliling kamar, pasti aku akan rindu semuanya. Melirik sekilah ke arah jam dinding, jarum jam menunjuk angka dua pertanda sudah jam dua siang.
"Astaga!" seruku seraya berlari ke ruang tamu. Aku teringat episode terakhir drama korea yang aku tonton biasanya. Sejujurnya aku sering dimarahi ibu karena menonton drama, kata ibu aku masih terlalu kecil untuk menonton adegan percintaan tersebut. Namun, aku terlanjur menyukai alur ceritanya yang berbeda itu. Dan seringkali aku menonton diam-diam saat ibu sedang tak di ruang tamu tentunya.
Setelah berhasil menonton drama tersebut, aku melanjutkan membereskan barang-barangku lagi.
"Najwa, sudah salat ashar belum?" tanya ibu yang sudah berada di depan pintu kamarku.
Aku tersenyum malu menanggapi pertanyaan ibu, dan ibu melihatku dengan pandangan seperti "kebiasaan".
"Ya sudah cepet gih, salat dulu."
Aku mengangguk dan segera berdiri setelah ibu pergi dari depan pintu kamarku. Beruntung ibu tidak mengomeliku seperti biasanya.
***
Hari yang sudah ditunggu tiba, aku diantar oleh keluargaku dengan menyewa mobil untuk mengangkut barang bawaanku.
Seperti biasa perjalanan yang lumayan lama membuat aku mengantuk dan bosan, terlebih mengingat akan di sana sendiri tanpa ibu, bapak, dan adikku yang masih kecil itu.
Jarak menuju pesantren tersebut sekitar 2-3 jam perjalanan dengan hutan yang mengelilingi jalannya. Pondok Pesantren An-Nur terletak di Kampung Cemara, Kecamatan Muara Seberang tepatnya di ujung pemukiman warga dekat dengan hutan. Mengingat tempatnya yang dekat dengan hutan itu membuatku sedikit takut.
"Bu, kalau aku gak betah gimana?" tanyaku.
"In syaa Allah betah, katakan dalam hati bahwa kamu mampu menjalaninya," jawab ibu tenang.
Jujur aku sangat gugup mengingat kali pertama akan berpisah dengan keluargaku dalam waktu yang lumayan lama ditambah melakukan semuanya sendiri.
Aku terbangun setelah ibu berkata bahwa kami telah sampai di depan gerbang yayasan. Dan menuju ke kawasan pesantren. Saat turun dari mobil, ramai sekali orang-orang berlalu-lalang di sekitar gerbang. Aku melihat ada banyak perempuan-permpuan berjilbab dan berbaju seragam dan senada. Ada banyak orang tua yang duduk di aula dekat masjid putri.
"Assalamualaikum, Ibu. Nama saya Aini yang bertugas untuk mengantarkan santri baru ke kamarnya. Siapa nama anaknya?" tanya seorang perempuan yang tampak dewasa.
"Oh iya, anak saya bernama Najwa Humaira," jawab ibu.
"Sebentar ya saya lihat dulu dapat di kamar mana," balas perempuan tersebut tampak mencari namaku di daftar yang ia bawa.
Seringkali aku mendengar percakapan mereka yang menggunakan bahasa arab maupun inggris, yang kutebak pasti termasuk salah satu aturan di sini.
"Ayo, Bu saya antarkan ke kamar anaknya," ujar kak Aini.
Kamar yang aku tempati berada di Fatimah Zone yang isinya dalam satu kamar ada sepuluh santri.
Tentu saja aku berkenalan dengan teman-teman yang sekamar denganku. Ibuku juga berkenalan dengan orang tua mereka.
Mereka berasal dari banyak daerah, bahkan sebagian dari kota dan memilih sekolah di kampung seperti ini.
Aku berkenalan dengan Rina, Ayna, Rara, Zahra, Wanda, Wirda, Jihan,Nada, dan Dina. Mereka semua adalah teman sekamarku, ang akan menemaniku selama setahun. Karena menurut cerita kak Aini tadi, bahwa setiap kenaikan kelas maka akan diadakan lintas kamar atau pindah kamar.
Cukup lama aku menahan ibu, bapak, dan adikku untuk tidak langsung meninggalkanku. Masih belum rela ditinggal sendiri. Sampai setelah salat Ashar ibu dan bapak pamit untuk pulang. Terang saja aku menangis karena sudh akan ditinggal.
"Sudah sore, Nduk. Nanti kemalaman sampai rumah. Kasihan adikmu, betah-betah ya di sini. Balik jadi anak yang sholehah, aamiin."ujar ibu yang juga tak bisa menahan air mata. Bapak memelukku dan memberi beberapa nasihat.
Aku memandang kepergian ibu dan bapak masih dengan banjir air mata, rasanya sangat sulit berpisah dengan keluarga yang selalu bersamaku dan memperhatikanku.
Mulai saat ini aku harus belajar mandiri dan tidak menyusahkan orangtua.
***
Langit sudah gelap, para santri pun telah melaksanakan salat magrib dilanjut dengan dzikir bersama. Setelah itu aku melihat beberapa santri dari kompleks kamar lain berbondong-bondong menuju dapur. Yang kutebak pasti mengantri untuk mengambil makan malam.
Ada sebuah tandon atau tempat air besar yang dulu sempat ibu kira digunakan untuk wudhu, tenyata itu tempat air minum yang nantinya santri membawa tempat air apabila ingin minum.
Malamku terasa berbeda kali ini, ditemani dengan teman-teman yang baru kukenal hari ini. Kami bercerita tentang sekolah kami satu sama lain. Dan bercerita kenapa bisa masuk ke pesantren.
Cukup menyenangkan memiliki teman ngobrol. Aku pun terkadang curi-curi dengar dari kamar samping yang sama-sama saling bercerita. Sebelum shalat isya ada seorang kakak yang mendatangi kamar kami. Memberikan pengarahan bahwa setelah salat isya ada acara penyambutan santri baru di aula.
"Pakai baju bebas pantas, jangan memakai kaos ya adik-adik,"ujar kakak itu mengingatkan.
"Penyambutan santri baru nagapain aja kak?" tanya Wirda .
"Sambuatan kyai dan ustaz serta berdoa bersama agar kalian bisa betah di sini. Sekaligus pembacaan tata tertib," jawabnya.
Kami serempak mengangguk paham atas jawaban yang diberikan kakak tersebut.
Suara qiro'ah telah berkumandang dan santri-santri banyak menuju kamar mandi maupun tempat wudhu karena setelah qiro'ah pasti akan terdengar suara adzan.
Kami bersiap-siap berangkat ke masjid sambil menyerukan puji-pujian atau shalawat sebelum iqomah. Setlah shalat isya dan dzikir kami kembali ke kamar masing-masing dan bersiap-siap berangkat menuju aula untuk penyambutan santri baru.
Malam ini merupakan hal yang tak biasa sekligus cukup menyenangkan karena aku merasakan suasana baru yang damai.
"Ayo, Naj kita ke aula!" seru Dina.
Aku segera bersiap-siap untuk berangkat, cukup terkejut ternyata penyambutan gabung dengn santri putra yang duduk dibagian kanan, sedangkan kami di bagian kiri. Suasana penyambutan sangat ramai karena ratusan murid berkumpul dalam satu tempat.
Acara penyambutan di mulai dengan pak Kyai Abdul Mu'min memperkenalkan diri sebagai kepala pondok pesantren An-Nur dan sedikit berbica tentang sistem belajar di sini. Setelah itu dilanjut dengan perkenalan para ustaz-ustazah. Beberapa nasihat yang cukup lucu juga dilontarkan oleh pak kyai agar kami santri baru tidak tegang. Setelah selesai petugas atau PSP dari santri putra dan putri bergantian membacakan tata tertib peraturan sesuai dengan departemen yang dibagi. Aku cukup mengantuk karena ada sangat banyak peraturan dari hal kecil hingga besar. Dari kebiasaan hingga kewajiban dan setiap departemen memiliki lebih dari dua puluh peraturan serta sanksi yang didapat mulai dari sanksi ringan hingga sanksi yang besar.
Bukan hanya ketertiban, pakaian pun harus diatur sesuai dengan peraturan kebersihan.
"Sumpah ya, mbaknya ini gak selesai-selesai peraturannya," ujar Wirda berbisik. Aku hanya tertawa kecil karena perkataannya memang benar.
"Bisa jadi buku ini, dongeng yang horror hihihi," tambah Dina.
"Sssttt, jangan berisik nanti kita kena marah loh," ujarku mengingatkan mereka berdua. Terdengar lebih banyak bisik-bisik lain dari santri lainnya.
"Silent, please. Don't be noisy," ujar seorang kakak yang berwajah garang. Membuat semua bisik-bisik berhenti seketika.
Aku agak merinding karena takut kena marah, sedangkan Wirda dan Dina sudah terdiam setelah kakak berwajah garang itu berbicara.
Setelah selesai, kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk tidur sebelum besok sekolah.
Karena belum terbiasa dengan keadaan tidur tanpa keluarga banyak yang masih berceita hingga larut malam begitu pula aku yang tidak bisa tidur ikut dalam obrolan Wirda, Dina, Ayni, Rina, dan Rara.
Dan obrolan kami membawa ke petaka berupa bangun kesiangan sehingga telat sholat dan berakhir di hukum dzikir berdiri. Malu, tentu saja karena seorang santri baru sudah dihukum merupakan rekor.
Sebelum mengaji kami yang telat dikumpulkan oleh kakak PSP dan diberitahu untuk tidak mengulangi keterlambatan kami lagi.
Sebelum mengaji kami dites oleh para ustazah untuk dilihat tingkatan belajarnya sampai mana kemampuannya. Beruntung aku pernah mengaji di TPA sehingga aku lulus tes dan mulai mengaji dari Al-Qur'an. Ada beberapa teman yang mulai dari iqro' maupun juz 'amma.
"Ingat ya besok nanti dibuat bukunya untuk penanda kalian ngaji sampai mana, akhir semester akan dikumpul. Habis magrib kumpul untuk pembagian kelompok ngaji," ujar Ustazah Riza.
"Iya buu," ujar kami serempak.
"Ya sudah siap-siap buat berangkat sekolah, jangan sampai terlambat. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Bu Riza mengakhiri ngaji dengan salamnya.
"Wa alaikumssalam warohmatullahi wabarokatuh." Kami segera bersalaman dan berlarian keluar masjid.
Rasanya sangat berbeda menghirup udara pagi setelah mengaji membuat perasaan menjadi damai.
"Nanti buat buku ngajinya bareng ya," ujar Rina yang berjalan di sebelahku.
"Oke, pulang sekolah aja gimana?" tanyaku.
"Iya boleh tuh," jawabnya.
Kami bersiap-siap memakai seragam sekolah dan mengantri untuk mengambil sarapan pagi. Rara datang dengan wajah cemberut dan langsung duduk di depan lemarinya.
"Kenapa, Ra?" tanya Zahra.
Kami yang masih bersiap-siap hanya diam mendengarkan percakapan mereka.
"Aku kesal," jawab Rara masih cemberut.
"Kesal kenapa?" tanya Zahra lagi.
"Tadi aku habis dari kamar mandi terus waktu naik aku lihat mereka ambil makan. Makannya terong aku gak suka," jelasnya.
Dina dan Wirda juga heboh mendengar cerita Rara, yang kutebak mereka juga tak suka dengan sayur berwarna ungu itu.
"Masalahnya itu, cuma terong goreng, sambel, dan kerupuk aja. Kalau aku gak pakai terong berarti Cuma makan sama kerupuk dan sambel," tambah Rara sambil menampakkan wajah yang ingin menangis. Beruntung aku ingat ibu bawakan abon ikan, yang akhirnya aku bagi untuk mereka yang tak biasa makan terong itu.
Aku semakin sadar tinggal di pesantren adalah tentang kesederhanaan yang akan kita rasakan bersama dengan teman.
***
Terik matahari mulai meninggi jam menunjukkan sekitar pukul sembilan, para siswa-siswi baru masih berdiri dilapangan upacara. Padahal upacara sudah selesai sekitar dua puluh menit yang lalu. Dari yang aku dengar bahwa kami akan mengalami MOS atau MPLS yang akan dilaksanakan oleh anggota osis sebagai pembimbing dan dibina ole beberapa guru.
"Jangan lupa untuk membawa atribut yang telah dibagi dan jangan lupa untuk dipakai kalau melanggar kami pastikan kalian akan mendapat sanksi!" teriak salah seorang anggota osis yang tampak garang itu.
"Hufftt ... harus ada beginian juga lagi," gumam seorang gadis yang berdiri di sampingku. Ia menoleh kepadaku dan tersenyum tipis, aku pun membalasnya.
"Capek gak?" tanyanya padaku.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengangguk mengiyakan.
"Siapa namamu?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
"Aku Najwa, kamu?" tanyaku balik kepadanya.
"Aku Sarah, senang berkenalan denganmu."
Sarah mengakhiri dengan tersenyum lalu menunduk karena anggota osis di depan tampak sedang marah-marah.
Kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk kegiatan ini. Dan selesai sekitar pukul sebelas siang. Terik matahari yang menyengat membuatku bersama dengan Dina memutuskan untuk membeli es di warung milik bu Nyai. Es yang dijual hanya es teh, es jeruk, dan sirup saja tidak ada es yang sachet dengan berbagai merek. Dan yang yang lebih penting jika ingin membeli es, kita harus membawa gelas sendiri. Tujuannya untuk mengurangi populasi sampah plastik di pesantren. Walau hanya sedikit pilihannya tetapi tetap saja harus mengantri.
Setelah beberapa menit mengantri dan dapat membeli es, aku dan Dina kembali ke kamar. Di kamar yang lainnya sedang bersantai sambil berbaring. Kamar kami tidak besar, malah terkesan sempit karena barang-barang yang belum tersusun rapi semua. Terdapat dua jendela yang satu terletak di dinding belakang dan satunya ada di bagian depan.
Terdapat kayu panjang di atas dan beberapa paku, yang aku lihat dari kamar lain digunakan untuk menggantung pakaian, mukena, dan seragam sekolah. Cara menggantungnya menggunakan kayu panjang seperti galah untuk menaikkan baju yang sudah dipasang di gantungan baju atau hanger. Terdapat lampu dan satu kipas angin yang jadi rebutan di siang hari. Beruntung pondok pesantren ini masih memberikan fasilitas kipas angin unuk kamar yang lumayan panas di siang hari.
Rina datang dan mengajak kami untuk membuat buku ngaji seperti yang diminta oleh Ustazah Riza.
"Habis salat ashar kita ngapain ya?" tanya Rara.
"Tadi aku tanya kakak yang di depan, katanya kita pembagian kitab buat madrasah diniyyah," jawab Zahra.
Kami ber 'oh' ria sambil masih sibuk dengan buku ngaji kami.
"Ada berapa pelajaran kira-kira?" tanya Ayni yang semenjak tadi hanya diam.
"Mungkin sekitar 5-6 pelajaran kata mbakku sih," jawabku.
"Selesai, wudhu yuk. Jangan sampai telat lagi kayak tadi subuh," ajak Rina.
Kami segera merampungkan pekerjaan kami, terutama sudah terdengar suara qiro'ah dari masjid putra.
Kami berjalan naik untuk mencapai masjid yang sangat dekat dengan gerbang dan lumayan jauh dari Fatimah Zone. Terkadang aku seikit iri dengan mereka yang memiliki kamar di kawasan seberang masjid. Pasti jarang sekali yang telat salat berjama'ah dan tidak lelah mencapai masjid.
Di masjid juga ada banyak kipas angin, tak heran kalau sudah banyak yang menunggu azan salat dzuhur di masjid sambil mencari kesejukan. Masjid putri memiliki warna dominan hijau dan putih, lebar sekali meski banyak yang sudah berada di masjid tetapi masih tetap memiliki ruang yang lebar. Lantai keramiknya berwarna putih polos dan terdapat jam yang indah di depan tempat imam. Jam tersebut menggunakan kaligrafi dan angka arab, di depan juga ada pengeras suara dan rak khusus Al-Qur'an dan yasin yang tersusun rapi.
Aku dan Rina mencari tempat yang dekat dengan kipas berada di shaf depan. Aku sering mendengar kakak-kakak kelas yang berbicara menggunakan bahasa arab dan inggris membuatku penasaran dan bertanya kepad mereka.
"Mbak, di sini wajib pakai bahasa arab dan inggris kah?" tanyaku kepada kakak yang memilih tempat di sampingku.
"Iya, dek. Nanti setiap malam bakal ada pelajaran kosa kata, naik kelas dua kalian sudah wajib menggunakan bahasa tersebut saat berada di lingkungan kegiatan," jelas kakak tersebut.
Aku berterima kasih dan menyakhiri dengan senyuman. Setelah itu aku membayangkan pasti sangat seru jika bisa memakai bahasa arab atau inggris untuk bercanda bersama teman-teman.
***
1bk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top